Jumat, 18 Juli 2014

Kalimantan, Bagai Anak Ayam Kelaparan Dalam Lumbung Padi



“Bagai Anak Ayam Kelaparan dalam Lumbung” mungkin peribahasa itulah yang paling tepat untuk menggambarkan krisis pengelolaan energi, di Pulau Kalimantan khususnya Kalimantan Selatan, beberapa tahun terakhir. Pulau Kalimantan yang dikenal sebagai lumbung energi nusantara seperti kehilangan energinya sendiri untuk berdiri tegak bisa mandiri secara energi. Padahal semua tahu, hampir semua cadangan energi yang disediakan oleh alam melimpah ruah dalam kandungan bumi Pulau Kalimantan. Minyak bumi, gas, dan yang paling fenomenal adalah si emas hitam, batubara. Entah apa yang sebenarnya sedang terjadi, yang terhampar di depan mata semuanya adalah ironi semata, barisan truck dan kendaraan yang berbaris mengular ratusan meter di jalanan untuk mengantre BBM terutama jenis solar sudah menjadi pemandangan sehari-hari, kelangkaan minyak tanah dan gas berbagai ukuran yang memicu kenaikan harga yang tidak wajar sudah menjadi tradisi, instabilitas tegangan dan pemadaman listrik tanpa sebab yang jelas hampir menjadi sebuah rutinitas. Semuanya seperti lingkaran setan yang tidak ada ujung pangkalnya, semuanya terus terulang dari waktu ke waktu sampai sekarang. Situasi tidak biasa yang telah menjadi biasa ini, sangat mengganggu kehidupan sosial ekonomi masyarakat terutama rakyat kecil, karena membawa efek domino terciptanya ekonomi biaya tinggi yang sangat mempengaruhi ketahanan perekonomian mikro kelas menengah kebawah.  Kepada siapa, kami masyarakat kecil harus mengadu dan mempertanyakan semua permasalahan ini? Siapa sebenarnya yang harus bertanggung jawab atas semua situasi yang penuh dengan ironi ini?
Sebagai informasi dan catatan, Untuk permasalahan BBM, sekitar pertengahan tahun 2012 diberitakan di berbagai media masa bahwa cadangan BBM bersubsidi untuk Kalimantan Selatan tidak cukup sampai akhir tahun. Ditengah kebingungan dan kepanikan berbagai pihak, respon masyarakat bisa ditebak! Masyarakat Kalimantan Selatan bergejolak. Antrean kendaraan roda 2 dan 4 di SPBU langsung mengular tidak terkendali hingga ribuan meter sehingga menimbulkan kerawanan sosial. Titik-titik kemacetan dalam kota Banjarmasin muncul dimana-mana, pemandangan kota dan mobilitas masyarakat jadi terganggu, distribusi barang dan jasa jadi terhambat. Ujungnya jelas! Ekonomi biaya tinggi akan semakin kuat menancapkan taringnya di Kalimantan Selatan. Ditengah upaya peredaman gejolak dalam masyarakat oleh berbagai pihak, berita tanggapan pemerintah terhadap krisis BBM di Kalimantan Selatan sungguh mengejutkan. Pemerintah dan otoritas energy nasional memilih kebijakan yang tidak popular untuk masalah BBM di Kalimantan Selatan.  Kuota BBM Bersubsidi untuk Kalimantan Selatan justeru akan di kurangi kedepannya, karena menurut otoritas energi negeri ini kekurangan BBM bersubsidi di Kalimantan Selatan lebih dikarenakan adanya penyelewengan dalam proses distribusi, sebagian besar terserap secara tidak sah oleh industri pertambangan yang seharusnya memakai BBM non subsidi. Masyarakat akhirnya bereaksi, yang paling menarik perhatian adalah aksi yang dilakukan oleh kelompok “Forum Peduli Banua” yang nekat mencegat semua distribusi batubara melalui jalur Sungai Barito. Hasilnya? Aksi berani FBP ini memang cukup menyedot perhatian dunia, tapi permasalahan Kuota BBM untuk Kalimantan Selatan yang konon akhirnya dikoreksi dan direvisi, sampai sekarang tidak jelas. Antrean panjang truck-truck di SPBU masih terjadi sampai sekarang. Entah sampai kapan!?
Untuk permasalahan minyak tanah dan gas, setali tiga uang dengan BBM bersubsidi. Kelangkaan dan harga melambung adalah momok yang terus menghantui masyarakat Kalimantan Selatan. Proses monopoli dalam tataniaga dan tatakelola gas sangat tidak berpihak pada konsumen, dalam hal ini masyarakat kecil menengah kebawah. Pengelolaan yang cenderung tidak jelas dan tidak transparan, ditengarai memunculkan praktek hukum rimba dimana yang kuat akan menang sehingga bisa menguasai yang kalah dan yang lemah akan kalah dan tertindas hingga akhirnya mati perlahan-lahan. Situasi ini terus berlarut-larut tanpa ada upaya penyelesaian yang signifikan, akibatnya harga minyak tanah dan gas di pasaran tidak terkendali dan terkontrol secara optimal. Ujung-ujungnya jelas! Masyarakat kecil menengahlah yang akan menjerit. Kepada siapa kami harus mengadu?
Untuk energi listrik, sebenarnya kata ironis tidaklah cukup untuk menggambarkan kesedihan masyarakat Kalimantan Selatan atas kondisi per-listrikan di Kalimantan Selatan.  Selain distribusi-nya yang masih belum merata, stabilitas tegangan dan seringnya “byar-pet” tanpa sebab yang jelas selalu menjadi permasalahan yang berlarut-larut sampai sekarang. Padahal sudah menjadi rahasia umum Kalimantan Selatan adalah gudangnya batubara, sumber energi utama pembangkit listrik. Uniknya (sekaligus menyesakkan dada), konon Kalimantan Selatan adalah penyuplai batubara terbesar untuk pembangkit listrik di berbagai daerah diluar Kalimantan. Kemana larinya batubara kami? Ada apa dengan listrik di Kalimantan Selatan? Kemana lagi kami rakyat kecil harus mengadukan semua kebingungan dan kegundahan kami ini?     
(Banjarbaru, 15-01-2014. In collaboration with Hj. Hamida Yanti)

Aku anak Indonesia, “mutu manikam” diantara dua samudra dan dua benua…



Sejak jaman kerajaan pra – kemerdekaan, Nusantara sudah menjadi magnet bagi banyak negara asing untuk datang dan berlomba-lomba menguasai kedaulatannya. Mulai dari Inggris, spanyol, portugis, Belanda dan terakhir Jepang semuanya sangat berambisi untuk menguasai Nusantara! Ada apa dengan Nusantara?! Setelah merdeka, Nusantara dengan nama resmi “Indonesia” tetap menjadi bunga yang harum, cantik dan menawan yang sanggup menarik kumbang-kumbang mancanegara yang tetap saja haus untuk menghisap manisnya madu-madu bunga Indonesia! Ada apa dengan Indonesia!? Indonesia mempunyai segalanya! Itulah jawabnya. Indonesia adalah surga dunia, Indonesia adalah mutu manikam dunia, zamrud khatulistiwa yang tiada duanya!

“Hutan belantara, banyak tersebar, Nusantara…”
“Semua harta yang tak terhingga milik kita…”
”Disana tempatnya tanah idaman kita semua…”
“Tanah yang kaya, bagai permata, Nusantara…”
“Semua kagum olehnya, tanah di Khatulistiwa…”
“Bagi yang telah melihat hati terpikat, nusantara…”          

Anda mengenali untain kata yang menggambarkan nusantara diatas?  Bagi penggemar grup band legendaris Koes Plus, tentu tidak asing dengan lirik lagu yang berjudul “Nusantara” tersebut. Itulah gambaran Nusantara, Indonesia kita! serangkaian gugusan kepulauan layaknya “mutu manikam” nan eksotis yang terbentang dari Sabang di ujung barat sampai Merauke di ujung timur yang terangkai oleh jutaan mil perairan laut yang kaya akan berbagai sumber daya bernilai ekonomis tinggi yang akan membius siapapun yang pernah melihatnya! Inilah yang mendasari saya sangat mencintai Indonesia, tanah air tempat tumpah darah beta! Sampai kapanpun!
Indonesia kita, sampai kapanpun tetaplah Nusantara kita yang dulu yang dipertahankan kedaulatannya oleh para pendahulu kita dengan taruhan harta dan nyawa! Selanjutnya, menjadi kewajiban kita semua, generasi penerus bangsa untuk menjaga kedaulatan dan keutuhan bangsa dan Negara Indonesia! Hati saya, cinta saya tetap untuk Indonesia apapun yang terjadi, , karena sejatinya Indonesia adalah  

1.      Pengikat, pengendali dan penjaga stabilitas emosional dan spiritual,
 Sebagai anak Indonesia yang lahir dan dibesarkan di Indonesia sudah tentu saya mempunyai ikatan batin dan  emosional yang sangat kuat dengan Indonesia. Udara pertama yang saya hirup di dunia adalah udara Indonesia, air yang pertama kali saya minum adalah air Indonesia, nasi yang pertama kali saya makan tumbuh dari bumi ibu pertiwi Indonesia, tanah yang pertama kali saya injak di muka bumi ini adalah tanah Indonesia, kata-kata yang pertama kali bisa saya ucapkan adalah kosakata bahasa Indonesia, bangsa pertama kali yang saya kenal adalah bangsa Indonesia, tatanan budaya hidup dan berkehidupan yang pertama kali saya kenal juga tatanan budaya Indonesia! Semua serba Indonesia! surgaku di dunia!

2.     Pemangku adat istiadat, seni dan budaya bermartabat, warisan dunia.
Indonesia adalah Negara yang kaya dengan kazanah adat istiadat, seni dan budaya. Keragamannya tidak hanya sekedar pengisi ruang dan waktu masing-masing komunitas kesukuan saja, tapi keberadaannya merupakan sebuah manifestasi keluhuran bathin dan peng-ejawantahan estetika kolektif dari kecerdasan sikap, mental dan pola pikir yang bermartabat dari berbagai suku bangsa yang ada di Indonesia.
Kita mengenal istilah ramah-tamah, gotong-royong, pelagandong, ngaben, methil, nyadran, petik laut, bersih desa, ritual perkawinan Adat Banjar, Arsitektur Toraja, Arsitektur Minangkabau, Candi Borobudur, Candi Prambanan, jamu, keris, batik, sasirangan, kain songket, tari serampang 12, tari cakalele, Ukiran Jepara, Ukiran Suku Asmat yang mendunia, Angklung, kolintang, sasando, panting, syair gurindam12, lagu bungong jeumpa dan lagu Anging Mamiri semuanya hanyalah sebagaian kecil dari sekian banyak karya cipta estetis anak bangsa. Inilah Indonesiaku, surganya estetika dunia!


3.      Tempat ragam kuliner bercitarasa tinggi
Semua tentu mengenal Soto Banjar dari Kalimantan Selatan!? Soto Banjar adalah salah satu dari sekian banyak produk kuliner khas Indonesia bernama ”Soto” yang bertebaran di seluruh Indonesia, yang semuanya mempunyai karakter dan ciri khas yang berbeda-beda sesuai dengan daerah asalnya. Pernah merasakan rawon  nguling Jawa Timur, Mi Aceh yang gurih dan pedas, Tinutuan/Bubur manado yang ramai, atau Umbut Rotan/Juhu Singkah dari palangkaraya? Semuanya hanyalah sebagaian kecil dari ragam kuliner pusaka nusantara hasil olah rasa anak-anak bangsa Indonesia! Satu lagi yang luar biasa dan istimewa, semua pasti pernah mendengar tentang pamor masakan rendang dari Sumatra Berat, nasi goreng dan sate (tiap daerah juga mempunyai karakter dan cirri khas yang berbeda juga) yang pernah di tahbiskan sebagai makanan terlezat se-dunia dari CNNgo.com, web kuliner dengan kredibilitas tinggi di dunia. Inilah Indonesiaku, surga kuliner dunia! 


4.      Pemilik Sumber daya manusia dan alam yang melimpah
Jumlah penduduk Indonesia saat ini sekitar 260 juta jiwa, menempati urutan ke-3 terbesar se-dunia setelah China dan India. Dengan Sumber daya manusia yang cukup melimpah Indonesia mempunyai modal besar untuk kembali merajai perekonomian regional maupun internasional, sebentar lagi julukan“macan asia” bahkan “macan dunia” tinggal menunggu waktu saja!
Selain SDM yang melimpah, Indonesia juga dianugrahi sumber daya alam (SDA) yang tak kalah melimpahnya! Berupa migas, mineral, logam mulia dan bahan tambang lainnya! Semua bernilai ekonomi tinggi, semua ada di Indonesia! Satu lagi, Indonesia juga mempunyai jutaan spesies flora dan fauna eksotis khas Indonesia! Bunga Bangkai di bengkulu, Harimau Sumatra, Badak bercula satu di Ujung kulon, Orang utan dan bekantan di Kalimantan, Anoa dan Burung Maleo di Sulawesi, Burung Cendrawasih dan Kasuari di Papua dan yang paling fenomenal adalah Komodo, salah satu icon keajaiban dunia, sisa-sisa binatang purba yang masih hidup di muka bumi! Hanya di Indonesia! surga dunia!   

5.      Fungsi, peran dan Posisi strategis Indonesia dalam percaturan dunia internasional
 Secara geografis, Indonesia mempunyai posisi yang unik dan strategis, berada diantara dua benua (Asia dan Australia) dan dua samudra (Samudra Indonesia dan Samudra Pasifik). Kondisi ini menempatkan Indonesia sebagai pintu gerbang sekaligus jembatan bagi proses komunikasi dalam segala bidang diantara masyarakat kedua benua dan samudra dimaksud.
Di era pemerintahan Presiden Sukarno, Indonesia dikenal sebagai salah satu pemrakarsa gerakan Non Blok yang berhasil menjadi inisiator dan inspirator perdamaian dunia, yang ditandai dengan berkurangnya dominasi masing-masing blok (barat dan timur) dalam percaturan politik dunia.
Indonesia dan beberapa negara penghasil minyak dunia berhasil menjadikan OPEC (Organisasi Negara penghasil minyak ) sebagai organisasi yang kuat dan solid dalam mengendalikan stabilitas tataniaga minyak dunia, bahkan menjadi bargaining power untuk melawan dominasi negara-negara maju dalam mengatur tatanan dunia.
Bersama OKI (Konferensi Negara Islam) peran Indonesia selalu di nantikan dunia Internasional, terutama berkaitan dengan dunia sosial ke-Islaman dan krisis perdamaian di negara-negara berpenduduk mayoritas muslim.


6.      Surga dunia tiada duanya!
Indonesia mempunyai banyak gunung dan pegunungan yang semuanya sanggup memberikan jalan keberkahan dan kemakmuran hidup bagi penghuni “negeri-negeri diatas awan” yang penuh dengan kedamaian dan ketentraman hidup, seperti  masyarakat di dataran tinggi dieng, masyarakat suku tengger di lereng pegunungan Bromo, masyarakat desa Malino di lereng gunung Bawakaraeng, Sulawesi Selatan, masyarakat Tanah Karo Simalem di lereng gunung Sibayak, Sumatra Utara, Masyarakat Suku Dani di dataran tinggi pegunungan Jaya Wijaya, Papua, masyarakat adat haruyan dayak, di lereng gunung Tindihan, Pegunungan Meratus, Kalimantan Selatan dll. Di dalam “negeri-negeri diatas awan” ini,  harmonisasi antara alam dan manusia begitu kental terasa, sinergi keduanya telah menciptakan tata kelola kehidupan yang berbudaya luhur, dengan prinsip Simbiosis mutualisma. Adakah jalinan harmoni yang seindah ini, diluar sana?
Indonesia mempunyai kawasan hutan hujan tropis yang keberadaanya sangat strategis sehingga selalu menjadi perhatian dunia Internasional, karena fungsinya sebagai paru-paru dunia dan lahan konservasi bagi suku terasing dan binatang yang dilindungi. Coba bayangkan, paru-paru dunia ada di Indonesia…! Bukankah ini bukti keberadaan surga dunia di Indonesia?! Sebuah fungsi strategis yang sangat penting bagi kelangsungan kehidupan semua makhluk hidup di dunia.
Indonesia juga mempunyai “surga di bawah air/laut!” diantaranya Bunaken di Sulawesi Utara yang sudah mendunia dengan spot terindahnya underwater great walls yang sangat indah. Selain itu, ada Taman Nasional laut Teluk Cendrawasih-raja ampat yang lagi naik daun, taman laut Kepulauan seribu, Wakatobi, Taman Laut Takabonerate, Taman Laut Karimun Jawa dan Taman Laut Banda yang siap menyajikan fragmen keindahan negeri bawah air layaknnya negeri khayalan. Inilah Indonesiaku, Sepenggal tanah surga yang  jatuh ke muka bumi!

      Jayalah negeriku, Indonesia Raya!!!

Banjarmasin, Apa Kabar 1000 Sungaiku!?



Banjarmasin, Ibukota Kalimantan Selatan selama ini dikenal luas dengan julukan “Kota 1000 Sungai”. Seperti layaknya kebiasaan orang Indonesia khususnya orang Jawa, kata bilangan 1000 (seribu) disini bermakna  banyak, kurang lebih sama seperti makna pada istilah kepulauan seribu, gedung lawang sewu, atau air terjun cemoro sewu dan grojogan sewu yang semuanya memakai kata bilangan 1000 untuk menggambarkan kata banyak, baik untuk jumlah maupun ukuran tinggi atau panjang. Jadi, makna julukan Kota 1000 Sungai, secara umum dipahami sebagai kota yang dialiri oleh banyak sungai. Walaupun data resmi dari dinas terkait, jumlah DAS sungai kecil maupun besar yang membelah Kota Banjarmasin sebenarnya tidak sampai 1000 sungai.
Mungkin bagi yang belum pernah mengunjungi Kota Banjarmasin akan membayangkan Banjarmasin seperti Kota Venezia di Italia yang kotanya di belah oleh kanal-kanal besar dan kecil yang bisa di lewati oleh perahu-perahu berbagai ukuran, tergantung ukuran kanalnya!?
Tapi sayang, Kota Banjarmasin memang bukan Kota Venezia dan Indonesia juga bukan Italia yang begitu peduli dan sadar akan potensi besar yang dimiliki oleh alam lingkungannya.  Eksistensi fungsi dari sebagian besar sungai-sungai di Kota Banjarmasin, saat ini sudah sangat jauh terdegradasi, tidak lagi utuh dan normal seperti dulu lagi.  Hal ini tarjadi seiring dengan melesatnya jumlah penduduk yang otomatis membutuhkan ruang untuk tempat tinggal dan mobilisasi warga plus konsep tataruang kota yang belum berpihak pada keseimbangan alam, khususnya kelestarian sungai. Sekarang ini banyak sungai yang telah berubah fungsi bahkan ada juga yang mati atau hilang baik secara fisik maupun fungsi. Walaupun belakangan, upaya normalisasi sungai sudah mulai tampak dilakukan, tapi keseriusan dan kesungguhan untuk membangun kembali konstruksi budaya sungai milik suku Banjar dan masyarakat Kota Banjarmasin oleh para pemangku kebijakan dirasa masih kurang maksimal. Kalau di era tahun 80-an, rumah masih banyak yang menghadap ke sungai, sekarang hampir semua membelakanginya dan lebih memilih menghadap ke jalanan ber- aspal. Kalau dulu sungai di depan rumah bisa dilewati jukung atau kelotok penjual kerajinan tangan, sayur-sayuran dan berbagai buah-buahan hutan dari daerah pedalaman yang setiap hari menjajakan dagangannya, sekarang jangan berharap bisa melihat itu semua. Seperti kata pepatah, memiliki anugrah alam yang sempurna adalah sebuah keniscayaan bagi bumi Indonesia, termasuk Kota Banjarmasin, tapi untuk menjaga dan merawat kesempurnaan itulah yang sangat sulit untuk dilakukan. Terkesan klise memang, tapi memang inilah adanya! Jangan sampai anak cucu kita kelak hanya mendengarkan dongeng-nya saja akan kejayaan dan keunikan budaya perairan darat, budaya sungai milik Suku Banjar dan Masyarakat Kota Banjarmasin semuanya.


(...mengenang kembali) Hikayat, ” Cicak dan Buaya”



Menjelang berakhirnya bulan Ramadhan 1430 H, Bangsa Indonesia kembali disuguhi drama kehidupan yang silih berganti tampil ”menawan” dalam pentas panggung sandiwara bertajuk hidup dalam kehidupan, yang masih fresh from the oven adalah pementasan fabel  dengan lakon Cicak dan Buaya atau tepatnya yang dianggap cicak dan yang merasa buaya yang ternyata membawa bola api panas dan menggelinding liar tak beraturan menerobos batas-batas logika dan etika, sungguh dramatik!. Drama bermula dari keberanian ”cicak” mengusik ”Buaya” yang lagi asyik berbasah-basah ria di habitatnya yang memang ”super basah” dan puncaknya saat ”cicak” dengan suksesnya menangkap bahkan memenjarakan mantan ”Jendral Buaya” yang memang terbukti bisa ber-metamorf menjadi ”tikus”. Celakanya keberanian ”cicak” ini tidak disikapi secara gentle bahkan dinilai oleh sebagian anggota ”Korps Buaya” sebagai upaya ”cicak” untuk meruntuhkan pamor dan eksistensi ”Korps Buaya” sebagai frontman dalam urusan penegakkan ”Hukum Rimba” di negeri ini dan akhirnya, perseteruan dimulai. Psy war terbuka antara keduanya di media massa, selalu syarat dengan luapan emosi sehingga sering lost control yang otomatis menunjukkan kegagalan me-manage ke-tidakdewasaan dan ke-tidakprofesionalan sebagi individu yang seharusnya memang dewasa dan profesional dalam berfikir, bersikap, berperilaku dan bertindak. Kondisi ini jelas menggelikan sekaligus memprihatinkan, apalagi kalau memandang latarbelakang ”ketokohan” yang mereka sandang selama ini. Pokoknya sekarang ini cicak dan buaya-lah yang menguasai rating pemberitaan media baik cetak maupun elektronik, entah sampai kapan!.  Begitulah dunia, semua serba mungkin, sekali lagi mungkin, mungkin dan mungkin! Mungkin juga disini buaya berpikir drama perseteruan dengan cicak yang ”notabene” memang kecil ini akan semakin meningkatkan ”citra” ke-besarannya! (Buaya dibilang besar karena faktor pembandingnya adalah ”cicak”, coba kalau faktor pembandingnya godzilla atau Dinosaurus pasti semua jadi terbalik!) atau jangan-jangan semua hanyalah sekedar games untuk menunjukkkan eksistensi, terutama eksistensi keberadaan naluri ke-buayaannya! Karena menjaga stabilitas eksistensi di dalam proses ber-kehidupan hukumnya adalah fardhu ain demi menjaga probabilitas keberlangsungan dan kelestarian hidup! Tapi bila benar, komunitas atau korps buaya tetap harus berhati-hati, karena bermain games itu layaknya candu yang mamabukkan, apalagi bila games bisa diatur dan dikendalikan untuk kepentingan dan keuntungan pribadi dan atau kelompok.sendiri. Terlebih lagi lawan bermain games adalah saudara yang ”ditakdirkan” memang lebih kecil! Seperti ”Cicak” (Sudah menjadi rahasia umum, semua yang tergolong kecil relatif mudah untuk diajak bermain-main bahkan juga untuk dipermainkan). Apabila benar bahwa ”cicak dan buaya” merupakan simbolisasi dari sebuah ukuran fisik (kecil dan besar) entah itu tubuh, badan, kekuasaan atau yang lainnya! Maka yang terjadi adalah praktik arogansi yang sembrono, karena terlalu naif mengukur segala sesuatu hanya berdasarkan wujud fisiknya saja. Faktanya dalam kehidupan nyata ukuran fisik tidak bisa dijadikan satu-satunya parameter untuk membaca fakta dan realitas materi (kekuatan) yang sebenarnya. Masih ingat sejarah Perang Khandaq atau Perang Parit! pasukan Islam yang jumlahnya hanya sepertiga dari pasukan musuh ternyata bisa menjugkirbalikkan perhitungan akal secara umum. Ini fakta! Ada faktor lain dalam kehidupan ini yang tidak terjangkau oleh akal dan pikiran kita yang mempunyai pengaruh aplikatif tidak kalah besar dibanding wujud fisik. Contoh lain yang lebih familiar, tentu anda masih ingat dengan permainan pingsutan atau suit  yaitu permainan tradisonal yang biasa dipakai untuk menentukan urutan dalam permainan!. Dalam permainan yang menggunakan jari-jemari sebagai alat, yaitu jari jempol dinisbatkan sebagai gajah (simbol besar dan kuat), telunjuk  sebagai manusia (simbol sedang) dan kelingking sebagai semut (simbol kecil) ini dalam aturan bakunya menentukan semut mati/kalah oleh manusia, manusia akan mati oleh gajah dan seperti lingkaran setan gajah justru mati dari semut!! Menakjubkan bukan?! Konsep permainan pingsutan diyakini bukan sebuah kebetulan belaka tapi memang ada pesan yang terkandung dibalik permainan ini,  khususnya pada anak-anak yang paling sering memainkannya  (hebatnya lagi, semua pasti pernah mengalami masa ana-anak dan mudah-mudahan lagi pernah bermain pingsutan )?! Pesan yang paling mudah untuk ditangkap adalah pesan moral untuk tidak mudah meremehkan apapun dan siapapun! Dan jangan pula melihat segala sesuatu dari bentuk dan ukuran fisiknya saja!!!
Cicak, kadal, tokek, mungkin bunglon, biawak, komodo dan buaya konon masih berkerabat satu sama lain yang artinya mereka masih sekeluarga dengan clan bernama reptil, atau lebih luas lagi keluarga sesama binatang. Coba, perhatikan secara visual (umum) bentuk badan dan cara mereka berjalan! Semuanya sama! Sama-sama ”merayap” hanya saja karena ukuran tubuh mereka berbeda-beda maka memungkinkan habitat mereka berbeda pula! Ukuran cicak paling besar tidak akan lebih besar dari buaya yang paling kecil atau bahkan buaya yang baru menetas sekalipun. Sungguh, perbandingan yang sangat kontras dan teramat timpang! Atau barangkali memang tidak layak untuk dibandingkan! (seharusnya, buaya malu kalau dibanding-bandingkan ”hanya” dengan cicak, mau ditaruh dimana harga diri ke-buayaannya). Tapi  semua sudah terlanjur, fabel Cicak dan Buaya saat ini sudah menjadi drama yang paling ditunggu sekuel­-nya oleh masyarakat penikmat dan pecinta drama di seluruh pelosok negeri. Cicak sebagi salah satu aktor utama tampil dengan sosok kecil, mungil dan ramping, makanya manuver pergerakan ”cicak” terlihat cerdas, efektif, efisien karena didukung kebiasaan mangkal ditempat yang strategis, diatas atau di samping mangsa bukan dibawah (juga bagian introspeksi dan strategi dalam mengantisipasi ancaman pemangsa). Selain itu ”cicak” bisa menclok alias hinggap disana-sini sekehendaknya, sehingga terkesan lebih cepat, akurat dan memuaskan (mungkin ini yang dinamakan profesional)! Habitat cicak kurang lebih sama dengan manusia, yaitu tempat yang relatif kering. Hanya sesekali dan seperlunya saja berbasah-basah ria. Kondisi ini berbanding terbalik dengan ”Buaya”, sebagai aktor utama berikutnya! dengan ukuran tubuh yang relatif ”jumbo” pergerakannya jelas lebih lamban sehingga kesan efektif dan efisien semakin jauh, kecuali bila berada di habitatnya sendiri yang dikenal ”super basah” seperti di muara laut, rawa dalam dan danau. Disitu ”buaya” memang bisa bergerak efektif dan mungkin efisien. Hanya saja, prasyarat habitat yang harus ”basah” inilah yang bikin repot! Karena tidak semua di wilayah ”Hukum Rimba” negeri ini punya tempat ”basah” yang layak untuk ”menghidupi” Buaya. Akibatnya sudah jelas, Eksklusifitas! keterbatasan itu membuat buaya tidak begitu dikenali oleh lingkungannya sendiri! Jangankan bercengkerama sekedar melihatpun harus dari balik pagar berjeruji besi, itupun kalau ada kesempatan! Karena hanya di tempat dan kalangan tertentu saja yang bisa dan diijinkan untuk ”memelihara” buaya, karena selain masalah habitat yang harus ”basah”, birokrasi legalnya sangat njelimet  dan biaya untuk ”pemeliharaan-nya tergolong sangat tinggi karena konon buaya sekarang  tidak hanya tergolong sebagai Carnivora (pemakan daging) saja tapi sudah banyak yang bermutasi menjadi Omnivora (pemakan segala). Ini jelas beda dengan cicak yang menjalani aktivitas hidupnya dari lahir sampai mati memang sudah berdampingan dengan manusia. Hebatnya lagi, tanpa dipeliharapun cicak akan berkembang biak dengan sendirinya alias mandiri!
Dengan segala kelebihan dan kekurangannya cicak dan buaya telah menjadi fenomena! Fenomena yang fenomenal dengan mengumbar ketidakharmonisan secara vulgar (yang sejujurnya cukup sadis dan sangat abnormal) dan eksplisit kepada seluruh negeri.. Sekarang giliran penonton untuk mengapresiasi pementasan fabel cicak dan buaya ini (untuk proses ini, tidak harus menunggu pementasan berakhir!), sebagai bagian penting dari sebuah komunikasi efektif dalam kerangka ber-demokrasi, kalau perlu kita bantu untuk menemukan ending yang berkualitas dan dapat dipertanggungjawabkan secara hukum, moral, logika bahkan secara budaya sebagai  bangsa timur yang beradap dan bermartabat. Perbedaan adalah berkah, sedangkan persamaan adalah anugerah! Perbedaan dan persamaan adalah wilayah yang dipisahkan oleh olah persepsi naluriah yang sifatnya sangat alamiah. Kepada yang dianggap cicak dan yang merasa buaya, mari kita kembali kepada fitrah kita menjadi manusia lumrah, manusia yang senantiasa memuliakan manusia lainnya sebagai sesama makhluk-Nya. Sungguh, negeri ini sangat membutuhkan kembalinya manusia-manusia berjiwa dan berhati besar, untuk meraih kembali kejayaan sebagai negeri beradab dan  bermartabat di muka bumi ini.