Minggu, 28 September 2014

Kayuh Baimbai, Waja Sampai Kaputing




 
Kota Banjarmasin, ibu kota Propinsi Kalimantan Selatan, dikenal orang dengan julukan “Kota Seribu Sungai” karena memang banyak sungai yang membelah kota Banjarmasin, dari yang kecil sampai yang besar. Konon, kalau dilihat dari udara, Kota Banjarmasin lebih mirip gugusan pulau-pulau kecil yang disatukan oleh liukan sungai sungai yang membelahnya. Keberadaan sungai-sungai di kota Banjarmasin menjadikan kota yang posisinya 60 cm dibawah permukaan laut ini sebagai kota yang sangat kental budaya perairannya. Hampir seluruh denyut nadi kehidupan masyarakatnya tidak bisa dipisahkan dengan air dan  sungai. Pasar terapung sebagai salah satu ikon pariwisata di Banjarmasin merupakan salah satu bukti nyata produk budaya perairan, dimana tempat bertemunya penjual dan pembeli yang lazimnya di atas daratan, di Pasar Terapung tempatnya di atas sungai. Unik bukan!?
Selain pesona seribu sungai dan pasar terapung, Kota Banjarmasin sebenarnya masih mempunyai banyak aset yang “layak jual” ke publik, baik berupa alam lingkungan, sejarah, kuliner juga seni dan budaya. Salah satu produk budaya Kota Banjarmasin adalah Bahasa Banjar, bahasa ibu dari Suku Banjar penduduk asli Kalimantan Selatan.
Bahasa Banjar seperti halnya bahasa daerah lainnya di Indonesia, nasibnya berbanding lurus dengan produk budaya yang berupa kesenian tradisional, keduanya sama-sama terancam punah.tergusur oleh serangkaian budaya baru yang lebih nge-pop dan up to date.
Di Kota besar seperti Banjarmasin, dari waktu-kewaktu penutur bahasa Banjar semakin berkurang dan otomatis berbanding lurus dengan intensitas penuturannya/pengucapannya di lapangan. Kondisi ini memang sulit terelakkan seiring semakin terbukanya akses komunikasi dan interaksi sosial di masyarakat Kota Banjarmasin sehingga mengakibatkan terjadinya proses asimilasi dan akulturasi budaya didalamnya, baik dengan budaya suku lain maupun budaya pop yang dibawa oleh media informasi modern yang begitu cepat, ringkas dan tanpa batas. Sehingga yang muncul ke permukaan sekarang ini bukan lagi budaya banjar secara utuh, tapi budaya baru sebagai bentuk kompromi dari proses asimilasi dan akulturasi lintas budaya.
Jujur! Sebagai warga Kota Banjarmasin, sebenarnya saya sedih ketika melihat dan mendengar fenomena terdegradasinya bahasa daerah termasuk bahasa Banjar akhir-akhir ini. Sebagai bukti awal anak-anak usia sekolah yang sebagian besar lahir dan besar di Kota Banjarmasin lebih memilih Bahasa Indonesia dan bahasa inggris sebagai Bahasa Ibu dan pergaulan sehari-hari daripada Bahasa Banjar. Secara umum, alasan utamanya adalah lingkungan sosial Kota Banjarmasin yang semakin heterogen.  Situasi ini diperparah oleh kenyataan bahwa setting kurikulum dunia pendidikan kita masih belum bisa mendukung eksistensi bahasa daerah secara proporsinal. Buktinya,  kurikulum pendidikan kita masih terlihat berat sebelah. Pelajaran bahasa asing masih menjadi prioritas utama daripada bahasa daerah. Faktanya, di Kota Banjarmasin tidak semua sekolah dasar atau yang setingkat mengajarkan muatan lokal berupa pelajaran bahasa Banjar.
Mengutip pepatah Jawa witing tresno jalaran soko kulino, bagaimana anak-anak kita dan generasi mendatang bisa mengenali apalagi mencintai dan melestarikan bahasa daerahnya masing-masing kalau kulino atau sering bersentuhan aja tidak pernah? Diposisi ini, peran lingkungan dan keluarga juga sangat diperlukan sebagai katalisator terpenting dalam penanaman pembiasaan berbahasa daerah dalam alam bawah sadar anak-anak kita yang masih mudah untuk dibentuk, karena lingkunan dan keluarga adalah ruang paling intensif dan efektif bagi semua anggota keluarga untuk melakukan pembiasaan komunikasi verbal memakai bahasa daerah.
Mungkin bangsa ini perlu menjadikan semboyan “kayuh baimbai, waja sampai kaputing” sebagai tagline motivasi untuk menyelamatkan nasib berbagai bahasa daerah di Indonesia. Pepatah atau semboyan diatas sangat familiar bagi masyarakat Kota Banjarmasin dan Kalimantan Selatan. Selain tersemat dalam lambang resmi daerah, keduanya merupakan roh dari perjalanan panjang perjuangan masyarakat Kota Banjarmasin dan Kalimantan Selatan dalam membentuk tatanan kehidupan yang bermartabat dan berbudaya luhur. Makna literal dari “kayuh baimbai” adalah kayuh (sampan) bersama-sama/berbarengan. Ungkapan semboyan ini merupakan pengejawantahan dari harmoni yang tercipta dalam aktifitas mendayung perahu di sungai sebagai bagian dari budaya perairan darat, identitas masyarakat Kota Banjarmasin dan suku Banjar secara umum. Sedangkan “waja sampai kaputing” artinya, (benda yang terbuat dari) baja dari pangkal sampai ujung. Diadopsi dari semboyan haram manyarah lawan walanda, waja sampai kaputing” milik Pangeran Antasari, (Pahlawan Nasional dari Kalimantan Selatan) dalam perang Banjar melawan kolonial Belanda tahun 1859-1905. Secara umum makna filosofis dari “kayuh baimbai, waja sampai kaputing”  adalah mari berasama-sama, bekerja keras pantang menyerah sampai titik darah penghabisan.
Apakah ini berlebihan? Saya kira tidak, karena bahasa daerah kita adalah identitas kita, penjaga harkat dan martabat kita sebagai sebuah entitas yang beradab dan berbudaya tinggi.



      “Tulisan ini disertakan dalam kontes GA Sadar Hati – Bahasa Daerah Harus Diminati