Selasa, 18 November 2014

Kampanye Test Buta Warna Sejak Dini



Di Indonesia, buta warna dan penyandang buta warna sepertinya harus berjuang sendiri mencari identitas dan proporsinya dalam bergelut dengan kehidupan. Masih banyak diantara kita yang tidak atau belum menyadari bahwa buta warna begitu penting dalam hidup dan kehidupan, bahkan dalam beberapa situasi posisinya menjadi “penentu” bagi perjalanan hidup seseorang dalam memilih jalan kehidupan.
Di dalam tatanan kehidupan masyarakat Indonesia, buta warna sepertinya jatuh dalam ranah pribadi (private) sehingga semua konsekuensi yang muncul sebagai akibat menyandang buta warna jarang ter-ekspos keluar, akibatnya gaung buta warna dan berbagai permasalahan yang mengikutinya sering luput dari perhatian masyarakat bahkan Negara yang seharusnya punya tanggung jawab atas pemberdayaan potensi seluruh rakyatnya, termasuk penyandang buta warna. Hal ini dibuktikan dengan tidak adanya sistem terpadu yang diterapkan oleh pihak berwenang (pemerintah)  dalam upaya memetakan potensi anak-anak Indonesia sejak dini sebagai salah satu element guna menyusun blueprint manajemen sumber daya manusia Indonesia kedepan.
Dalam kehidupan sehari-hari penyandang buta warna biasanya tidak akan tampak berbeda dengan manusia normal lainnya. Mereka tetap bisa berinteraksi bahkan beradaptasi dengan baik dalam lingkunganya, yang membedakan adalah kemampuan individual dalam adalah kemampuan individual dalam menganalisa dan mengenali warna, terutama untuk warna-warna turunan yang sifatnya tidak fullblock.
Berangkat dari pengalaman pribadi yang sangat menyakitkan karena “tidak terduga” menyandang buta warna, mengakibatkan saya “salah memilih cita-cita”. Sejak kecil saya bercita-cita ingin menjadi dokter dan sepanjang perjalanan hidup saya sudah saya persiapkan sesempurna mungkin untuk meraih cita-cita tersebut. Tapi sayang, kenyataan harus berkata lain, karena divonis menyandang buta warna saya harus merelakan cita-cita besar saya untuk menjadi dokter sirna lewat begitu saja justeru ketika satu kaki saya sudah menjejak dunia impian saya itu,.  Padahal sejak kecil saya sudah membangun tekad dan menyusun langkah guna merengkuh cita-cita untuk menjadi dokter. Sedih dan kecewa sudah pasti! Tapi yang paling menyedihkan bagi saya adalah kenapa kelainan bawaan (keturunan) yang terpaut sex itu baru sekarang terdeteksi? Kenapa tidak dari dulu, sehingga saya bisa menyesuaikan arah cita-cita  dan kemungkinan jalan hidup yang sesuai dengan kondisi saya. Kalau sudah begini, ibarat nasi sudah menjadi bubur! Waktu yang sudah berlalu tidak bisa di putar kembali. Semua harus saya mulai dari nol lagi, sehingga memerlukan perencanaan ulang yang memakan banyak waktu, tenaga dan biaya yang hasilnya masih tanda tanya besar.
Dari diskripsi singkat kisah diatas, saya bertekat untuk melakukan “sesuatu” bagi bangsa Indonesia, terutama bagi masyarakat pinggiran dan menengah kebawah yang masih minim akses informasi. Jangan sampai “tragedi” yang saya alami terulang pada generasi emas Indonesia selanjutnya. Jangan sampai potensi besar yang ada tidak di manage dan tidak mempunyai arah yang jelas ujungnya.
Saya ingin mengkampanyekan sekaligus action lapangan perlunya tindakan “test buta warna sejak dini”, gratis tanpa dipungut biaya untuk anak-anak Indonesia secara bertahap. Tahapan kerjanya, dengan memperkenalkan seluk beluk kelainan buta warna dan test buta warna mandiri dengan memamaki alat test Ishihara manual maupun digital. Untuk tahap awal saya akan membuat area pilot project di Daerah Kecamatan Kertak Hanyar, Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan daerah tempat tinggal saya dengan sasaran anak SD kelas 4,5 dan 6. Saya pilih kelas 4,5 dan 6 karena saya anggap sudah cakap mengenali angka dan huruf (test ishihara tenisnya mengenali angka atau huruf dalam lembaran piring warna)  plus sudah bisa diajak untuk berkomunikasi verbal dengan baik.  Sebenarnya saya berharap, ide dan upaya saya mengkampanyekan perlunya tindakan “test buta warna sejak dini”, gratis tanpa dipungut biaya untuk anak-anak Indonesia ini mendapat apresiasi dari pemerintah melalui dinas terkait (pendidikan, kesehatan dan sosial) dan atau LSM yang bergerak di bidang pemberdayaan manusia. Harapannya suatu saat bisa  dijadikan agenda wajib oleh pemerintah. sehingga legalitas proses dan hasil dari project ini lebih valid, diakui, bisa dipertanggung jawabkan dan yang terpenting bermanfaat untuk semua pihak yang berkepentingan. Tapi kalaupun apresiasi itu tidak ada, tidak menjadi soal karena prinsipnya test buta warna bisa dilakukan secara mandiri dan project kampanye ini pada dasarnya justeru membantu tugas dan kewajiban  pemerintah yang mungkin terlewatkan.
Untuk masalah biaya dan pendanaan, saya akan mencari donatur dan sponsor independent untuk ikut serta membantu. Pengeluaran terbesar mungkin terserap untuk pengadaan software dan hardware alat test Ishihara yang harganya sekitar dua jutaan rupiah tapi bisa dipakai untuk selamanya. Untuk personil, pada prinsipnya sudah banyak teman-teman relawan yang siap untuk turut terjun ke lapangan setiap saat.
Menyandang buta  warna memang adalah takdir yang tidak dapat ditolak oleh siapapun. Sedih, galau, menyakitkan mungkin sesuatu yang wajar bagi penyandangnya. Tapi ingat, menyandang buta warna bukanlah akhir segalanya, tapi justeru awal dari segalanya. Mari berbagi harapan dengan saudara-saudara kita yang menyandang buta warna. Semoga semua langkah dan usaha kita menebar kebaikan di muka bumi Allah, mendapat ridha dan restu-Nya. Amin.

Jumat, 14 November 2014

Jual - Tukar



Banjarmasin!”
“Kalimantan!”
Kedua kata itu, sebelumnya tidak pernah terlintas sedikitpun dalam angan-anganku sampai tadi pagi jam 08.47 WIB.
“Hilal, ini SK promosimu dan ticket pesawat Surabaya-Banjarmasin berangkat lusa! Ada pertanyaan!? Pak Eka, HR&GA General Manager di kantorku pagi-pagi membawa kabar yang sangat mengejutkanku, sesaat setelah aku meletakkan pantatku di kursi yang ada di hadapannya.
“Uang saku, plus uang untuk segala keperluan yang berkaitan dengan promosimu ke Banjarmasin akan ditransfer ke rekening setelah kamu menandatangani berkas-berkas ini! Silakan dibaca dan kalau ada yang kurang jelas, Tanyakan!” Kata Pak Eka, sambil menyerahkan beberapa lembar kertas yang di ujung atasnya terdapat kop surat bertuliskan PT. KARTIKA SEGARA ARTHA, perusahaan tempatku bekerja.
“Maksudnya pak?” aku balik bertanya pada Pak Eka
“Intinya, per-tanggal 1 besok, kamu di mutasi sekaligus promosi ke Banjarmasin, Kalimantan Selatan untuk menempati jabatan baru sebagai Regional Office Manager Pulau Kalimantan!” Jawab Manajer muda yang sangat dekat dan akrab dengan semua karyawan itu.
“Bagaimana Hilal, ada pertanyaan atau pernyataan!?” Pak Eka melanjutkan pertanyaannya yang membuatku semakin panik. Jujur, saat ini aku merasakan kebahagiaan yang luar biasa. Loyalitas dan dedikasiku terhadap pekerjaan di bayar lunas oleh perusahaan. Aku diangkat sebagai Regional Office Manager Kalimantan, sebuah prestasi luar biasa untuk ukuran karyawan seusiaku! Hanya saja, aku masih merasa gamang kalau harus berkelana sampai ke Banjarmasin. Selain masih asing dan jauh, bagiku berbagai peristiwa konflik antar suku yang sering terjadi di sana masih membuatku bergidik kalau membayangkannya……
“Menurutku, selagi kamu masih bujang, sendirian! Ambil kesempatan luar biasa ini! Ini kesempatan besar untuk hidup dan kehidupanmu ke depan!...... Kamu tentu masih ingat dengan hijrah Rasulullah dari Makkah ke Madinah untuk menyelamatkan aqidah umat saat itu…!?” Belum sempat aku menjawab berbagai pertanyaan Pak Eka terdahulu, asupan  advice  Pak Eka sudah mulai mengaduk-aduk logikaku.
“Maaf relevansinya apa ya pak, antara hijrah Rasulullah dengan wacana mutasi saya ini!?” Tanyaku polos kepada Pak Eka yang sedari tadi sepertinya ingin membujukku habis-habisan agar mau ber-hijrah ke Kalimantan.
“Hilal! Aku melihat potensi besar dalam dirimu yang tidak akan bisa kamu munculkan jika kamu hanya berkutat dalam zona nyamanmu di sini, di kantor ini! Dan…. saya kira ini relevan dengan hijrahnya Rasulullah, mungkin seandainya Rasulullah dulu tidak hijrah ke Madinah mungkin cahaya kebesaran Islam tidak akan nampak seperti sekarang…….” Pak Eka kembali memberikan argument yang menurutku cukup brilliant untuk meluluhkan hatiku.
“Manfaatkan masa mudamu untuk berhijrah kemanapun yang kamu anggap memberikan manfaat terbaik untuk hidupmu! Dengan berhijrah, InshaAllah caramu memandang dan memperlakukan dunia bisa lebih lengkap dan bijaksana. Itu yang akan membawamu kejalur kesuksesan dunia dan akhirat!” Sekali lagi mental, spiritual dan logika akalku diaduk-aduk dengan cara yang brilliant oleh salah satu master trainer hebat di kantorku itu. Untuk yang terakhir ini rasanya aku tidak bisa lagi berkutik. Rasanya tidak ada lagi alasan kuat bagiku untuk menolak tawaran mutasi sekaligus promosi itu.

“Perhatian, perhatian! Dalam waktu sepuluh menit lagi pesawat akan mendarat di Bandara Syamsudin Noor, Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Ada perbedaan waktu satu jam antara Surabaya dengan Banjarmasin. Semua penumpang diminta untuk tetap tenang, tetap duduk di kursi masing-masing, tegakkan sandaran dan tetap mengenakan sabuk pengaman, terima kasih.” Terdengar suara pramugari memberi penjelasan dari speaker yang membuat jantungku berdegup semakin kencang karena sebentar lagi aku akan memulai hidup baru, menginjakkan kaki dan menghirup udara segar dari pulau terbesar di nusantara yang disebut-sebut sebagai paru-paru dunia tersebut.
Memang sejak aku menerima tawaran mutasi ke Banjarmasin, hari-hariku lebih banyak kupakai untuk browsing tentang segala hal yang berkaitan dengan kota “Seribu Sungai” tersebut. Mulai dari budaya, wisata, kuliner sampai kondisi geografis, demografi bahkan potensi ekonominya juga tak luput dari perhatianku. Aku tertarik satu artikel yang ditulis oleh bos PARA Grup, Chairul Tanjung yang mengatakan bahwa pulau Kalimantan adalah Pulau Masa depan bagi bangsa dan Negara Indonesia, benarkah? Mungkin, ini ada benang merahnya dengan wacana Bung Karno yang jauh-jauh hari, sudah memberi isyarat akan kemungkinan Kota Palangkaraya, Ibu kota Kalimantan Tengah menjadi ibu kota Negara Indonesia suatu saat nanti. Konon letak Kota Palangkaraya tepat di tengah-tengah Kepulauan Nusantara. 
“…Aaaaaghh lega rasanya! Akhirnya, sepasang kakiku sukses juga menginjak tanah Kalimantan, tanah seberang yang konon menyimpan sejuta exotism yang masih banyak terselimuti oleh tebalnya kabut misteri!” Batinku dalam hati.
Jam di tanganku menunjukkan pukul 08.35,  berarti di sini, di Banjarmasin sudah pukul 09.35 WITA. Aku segera bergegas keluar area ruang pengambilan bagasi yang menyatu dengan ruang kedatangan penumpang. Aku sengaja belum membawa semua ”perabotan-ku” pada  penerbangan pertamaku ke Banjarmasin kali ini. “Melihat sikon  dulu…..”.
Seperti layaknya bandara-bandara lain di Indonesia, di pintu keluar banyak armada taxi argo warna biru langit yang antri menunggu penumpang. Tetapi ada yang unik dan berbeda disini! Setelah kuperhatikan, nama-nama armada taksi argo disini tidak satupun yang aku kenali artinya. Sepertinya semua memakai bahasa lokal, Bahasa Banjar, seperti Taksi Banua, Taksi Saurang, Taksi Bujur, Taksi Bungas dan sebagainya. “Hmmmmm…..! Menarik! Cara yang cerdas dan jitu untuk melestarikan bahasa daerah”. Pikirku, sambil berdecak kagum.
Di sebelah kanan area parkir atau di samping pintu masuk area parkir bandara, aku melihat satu area rest & relax yang lebih mirip dengan area bazar kuliner dan souvenir khas masyarakat Banjar. Dari backdrop besar yang terpampang ada Soto Banjar, Katupat Kandangan, Laksa Banjar, Nasi Kuning, Sate Itik Gambut, Haruan Papuyu masak Habang, Iwak baubar, Gangan Asam dan berbagai wadai khas Banjar yang terkenal legit di lidah seperti wadai lam, bingka berendam, klelepon buntut dan lain-lain. Sekali lagi, di tempat ini aku menemukan hal-hal unik yang tidak aku temukan ditempat lain. Seperti halnya nama taksi, disini nama stand penjual kuliner maupun souvenir semuanya memakai bahasa Banjar. Salah satu yang menarik perhatianku adalah stand kuliner masakan Banjar yang bernama “karindangan”. Aku jadi teringat salah satu lagu campursari milik Didi Kempot yang berjudul sama, karindangan yang kalau tidak salah bercerita tentang kisah-kasih pemuda dari Jawa dengan pemudi asli Kalimantan…..hmmmmm romantis! Setelah kutanyakan pada pemiliknya, ternyata karindangan itu artinya kangen dan ternyata benar, rasa soto banjar disini memang bikin kangen siapapun yang pernah merasakannya….! Maknyussssss! Setelah menuntaskan hajat dengan melahap satu porsi Soto Banjar plus segelas besar teh manis hangat, aku langsung bergegas  menuju kasir untuk membayar semua pesananku tadi. Ketika aku akan meninggalkan kasir, tiba-tiba kasir mengucapkan satu kalimat dalam bahasa Banjar yang kurang begitu jelas di telingaku, sampai membuatku terbengong-bengong dibuatnya. Karena penasaran, aku berbalik lagi….
“ Ya mbak….?” Tanyaku kepada mbak kasir yang berseragam sasirangan ungu cerah itu.
“ Jual seadanya pak”, kata si mbak kasir mengulangi kalimat yang tadi diucapkannya.
“ Jual seadanya? Maksudnya mbak?” Tanyaku lagi pada si mbak kasir semakin penasaran.
“Maksudnya, saya minta ikhlas dan minta ridho atas transaksi jual  beli yang kita lakukan tadi mas…eh…pak!” Sambil tersenyum, si mbak kasir memeberiku sedikit penjelasan dengan logat banjar yang relative cepat, sehingga terdengar unik di telingaku.
“Oooooooo ! Terima kasih ya mbak!” jawabku sambil mengangguk-anggukkan kepala. Tanda sudah paham dengan penjelasan si mbak kasir? Bukan! Aku benar-benar tidak paham maksud ucapan si mbak kasir tadi.
“Apa ya maksud  si mbak kasir mengucapkan kalimat tadi itu?” Sambil berjalan, aku terus berusaha menerka-nerka maksud ucapan si mbak kasir tadi
Karena semakin penasaran aku mencoba membandingkan, dengan masuk ke stand yang menjual souvenir khas Banjar. Aku pilih stand yang bernama “takurihing art shop” . Aku tertarik pada sebuah alat musik mirip gitar gambus berdawai 4 tapi berukuran lebih kecil.
“Lumayan untuk hiburan …”, pikirku, karena kebetulan gitar kesayanganku tidak termasuk dalam list bawaan trip pertama penerbangan ke Banjarmasin.
Menurut SPG yang berjaga, alat musik tradisonal khas Suku Banjar ini biasanya dimainkan secara lengkap dengan instrument lain seperti biola, babun, gong dan seruling bambu, tapi sekarang ada yang sudah memodifikasi dengan menambahkan instrument baru, seperti gitar accoustic/elektric, gitar bass bahkan seperangkat bedug Inggris alias drum layaknya sebuah band. Harmonisasi indah yang tercipta didalamnya biasa disebut dengan musik panting. Akhirnya orang menyebut instrument utama yang mirip gitar gambus itu dengan sebutan gitar panting yang artinya dalam bahasa Indonesia adalah  petik atau dipetik.
“Baru saja aku menyadari, Indonesia memang kaya dengan tradisi dan budaya eksotis. Kalau begini, rasanya bakalan betah aku tinggal di Banjarmasin!” Sambil tersenyum sendiri aku berusaha terus membangun keyakinan atas pilihanku, hijrah ke Banjarmasin.
Setelah mendapat tutorial singkat cara memainkan gitar panting dan kurasa cocok dengan harga yang ditawarkan, aku langsung menuju kasir untuk membayar alat musik yang akan menemaniku selama aku berada di Banjarmasin itu. Setelah selesai membayar, aku sengaja tidak langsung pergi. Kali ini aku menunggu sampai semuanya benar-benar selesai. Aku menunggu ucapan kasir seperti di kasir stand kuliner tadi. Benar juga, setelah menyerahkan uang kembalian si mbak kasir mengucapkan “ Terima kasih, atas kunjungannya! Dijual seadanya ya pak! Berelaan”. Untuk kali ini aku berhasil merekam dengan jelas ucapan si mbak kasir. Tapi tetap saja, aku masih tidak mengerti apa maksudnya.
Sepertinya si mbak kasir membaca raut mukaku yang penuh tanda tanya, tidak mengerti dan penasaran.
“Maaf, ada yang bisa dibantu pak!?” Tanya si mbak kasir sambil tersenyum manis kepadaku.
“ Eh…nggak mbak, terima kasih!” Jawabku singkat sambil meninggalkan si mbak kasir yang terlihat agak bingung.
Keluar dari area kuliner dan souvenir aku bergegas keluar area parkir bandara. Seperti dugaanku semula,  Bandara Syamsudin Noor memang tidak terlalu besar, karena begitu keluar area parkir aku langsung menemukan rumah-rumah penduduk yang berdampingan dengan mess dan perkantoran TNI AU. Aku mencoba menyusuri akses jalan beraspal di depan Bandara yang kiri kanannya berjejalan kios, warung makan, toko, minimarket dan hotel serta penginapan itu. Iseng mencari jawaban atas rasa penasaranku, aku berniat untuk bertransaksi di warung dan minimarket atau toko-toko kecil yang ada di situ. “Sekalian melengkapi barang-barang kebutuhan sehari-hari”, pikirku.
Aku memasuki sebuah mini market yang kebetulan pagi itu terlihat masih sepi, setelah memilih beberapa barang yang aku perlukan, aku langsung menuju kasir. Seorang ibu-ibu setengah baya dengan hijjjab coklat yang menurut perkiraanku adalah pemilik minimarket tersebut, tampak duduk di meja kasir.
“Pagi mas…!” Sapa si Ibu menyapaku duluan. Dari logat bicaranya sepertinya si ibu ini bukan penduduk asli, sepertinya  pendatang dari Jawa, sepertiku.
“Pagi ibu….!” Jawabku singkat sambil tersenyum ke si ibu.
“Ada lagi maaas…!? Tanya si ibu kepadaku dengan logat jawanya yang semakin medok
“Ooooh sudah ibu!” Jawabku pada si ibu sambil menyerahkan uang pembayaranku.
Benar saja dugaanku setelah ngobrol sebentar dan mengetahui aku pendatang dari Jawa yang baru pindah, akhirnya kami saling memperkenalkan diri. Ibu Suminah namanya, asli dari Magetan, Jawa Timur dan sudah puluhan tahun menetap di Banjarbaru, saudara muda dari Kota Madya Banjarmasin.
Bandara Syamsudin Noor, sebenarnya tidak terletak di Kota Banjarmasin, tapi secara administrasi terletak di Kota Madya Banjarbaru. Posisinya tepat di tengah-tengah antara Kota Banjarmasin dan Kota Banjarbaru. Sekitar 30 menit perjalanan atau berjarak sekitar 23 km dari pusat kota Banjarmasin.
Tidak terlalu lama bagiku untuk menunggu moment yang aku tunggu-tunggu. Setelah menyerahkan kembalian, ibu Suminah mengucapkan “Jual ya mas!”
 “Iya bu sama-sama” Jawabku sekenanya.
“Bukan begitu mas menjawabnya! Harusnya tukar atau tukar seadanya! Ditambah dengan berelaan bagus lagi!” Kata bu Suminah memberi penjelasan.
“Maksudnya apa ya bu kalimat-kalimat itu tadi? Terus terang saya penasaran, karena dari tadi setiap selesai membayar, semua pasti mengucapkan kalimat yang kurang lebih sama dengan yang ibu ucapkan tadi!?” Tanyaku pada Ibu Suminah yang terus mengumbar senyum kegelian mendengar pertanyaan polosku.
“Jadi begini mas Hilal, dari yang saya ketahui sebenarnya yang saya ucapkan tadi itu bagian dari rukun jual beli seperti yang disyariatkan dalam Agama Islam…! Dan di sini, di Banjarmasin dan Kalimantan Selatan bahkan mungkin dimana saja tempat orang Banjar berada, itu sudah menjadi tradisi atau budaya yang melekat. Sepertinya ini sudah menjadi ciri khas dan identitas suku Banjar!” Ibu Suminah menjelaskan lebih detail mengenai semua yang dari tadi membuatku penasaran.
“InshaAllah bertansaksi dimanapun, di pasar, kios, warung, toko, minimarket  bahkan supermarket sekalipun mas Hilal pasti akan menemukan itu.”
“MashaAllah…!!!.Jadi itu ya maksudnya! Berkah banget ya bu jadinya!” Aku mencoba mengurai ujung dari simpul yang mulai terbuka pesan dan maknanya. Aku benar-benar dibuat terkagum-kagum oleh sebuah kearifan lokal yang bersumber dari syariat Islam tersebut. Mungkin terlihat sederhana bahkan sepele tapi dibalik itu semua membawa harapan keberkahan yang begitu nyata. Luar biasa! 
“InshaAllah, Mas Hilal….! Bukankah itu yang kita cari dalam kehidupan ini! Hidup yang penuh keberkahan dari Yang Maha Memiliki hidup, Allah SWT” Jawab ibu Suminah.
“InshaAllah, Ibu….” Jawabku pelan penuh arti.
Setelah saling bertukar kartu nama, akhirnya aku mengucapkan salam sekaligus pamitan kepada Ibu Suminah.
Baru beberapa langkah meninggalkan meja kasir Ibu Suminah, tiba-tiba handphone-ku berbunyi, dilayar muncul sebaris nomor telepon asing yang tidak aku kenal
“Halo!?” Jawabku sambil mengaktifkan perangkat headset-ku
“Selamat pagi Pak! Maaf pak, ulun Khairul. Driver dari kantor! Tadi ulun disuruh jemput pian di Bandara, tapi ban mobil tadi sempat bocor di jalan jadinya ulun terlambat……! Jawab seseorang dari seberang dengan logat banjar-nya yang cepat.
“Oooo gitu, nggak papa Pak Khairul….. Lagian saya sudah pesan taksi kok!. Jadi ga usah dijemput Pak!” Jawabku .
“Tapi pak, ulun ni sudah di bandara! Pian ada dimana?” Jawabnya lagi, dengan logat banjar yang semakin cepat
“Saya lagi belanja di minimarket dekat pintu keluar bandara pak!” Jawabku sambil mencari-cari kalau saja si Pak Khairul ada didekat-dekat sini.
“Baik Pak!, pian tunggu ja disitu, biar ulun yang ke wadah pian !” Jawab Pak Khairul lagi dari seberang sana.
Tidak berapa lama muncul Pak Khairul, dengan senyuman ramah khas seorang bapak yang lama tidak bertemu dengan anaknya. Setelah bersalaman dan saling memperkenalkan diri, kami ngobrol sebentar. Akhirnya kami putuskan, aku tetap naik taksi dan Pak Khairul akan mengiringi dari belakang.
Keluar dari bandara kami menyusuri jalanan beraspal hotmix yang menurut sopir taksi bernama Jalan Ahmad Yani. Satu-satunya jalan lintas Kalimantan yang menghubungkan 5 Propinsi di Pulau Kalimantan. Akhirnya, di sebuah kios kaki lima di pinggir jalan Ahmad Yani inilah, aku menuntaskan semua rasa penasaranku. Sekali lagi aku membuktikan indah dan nikmatnya menyatu dengan kearifan lokal yang terlihat begitu sederhana tapi membawa kedamaian dan ketenangan yang luar biasa. Sebuah jalan keberkahan yang diajarkan Rasulullah dan dihidupkan terus oleh saudara kita suku Banjar di Kalimantan Selatan. “Jual-tukar! Banjarmasin, Aku datang!”.   


Keterangan Bahasa Banjar :

Banua                 :     Kampung
Saurang              :     Sendiri
Bujur                   :     Benar
Bungas                :     Cantik
Karindangan      :     Kangen
Sasirangan          :     Kain khas Banjar
Takurihing          :     Tersenyum nyengir
Tukar                  :     Beli
Pian                    :     Anda (untuk orang yang di hormati)
Berelaan             :     Minta kerelaan
Wadah                :     Tempat

NB : Segera terbit dalam "Antologi Cerpen Nuansa Kearifan Lokal" penerbit FAM Publishing