Kamis, 26 Maret 2015

Belut Kuning, belut langka dari Banjarmasin

Belut langka yang berwarna kuning ini (diduga belut albino) berbeda dengan belut pada umumnya yang berwarna coklat kehitaman. Belut dewasa dengan panjang sekitar 72-75 cm dengan diameter layaknya lengan bayi ini ditemukan oleh sdr. Mudi, warga Jl. AYani Km.7,2 Gang Norjanah No.65 RT.01/RW.02, Kertakhanyar, Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan beberapa hari lalu di rawa-rawa belakang rumahnya. Belut eksotis ini secara tidak sengaja masuk dalam "hancau", yaitu salah satu alat penangkap ikan tradisonal khas suku Banjar Kalimantan Selatan yang terbuat dari semacam benang ayum-ayum (jaring/bahan kelambu), yang berbentuk rongga belah ketupat dengan ukuran 0,5 cm – 1 cm. Bentuknya jala segi-empat dengan luas sekitar 4 m2 sesuai kondisi tempat. Pada ke- 4 ujung sisinya diberi potongan bambu membentuk tanda tambah dan diberi tongkat dari bambu sebagai alat bantu mengangkatnya Alat biasa digunakan di daerah aliran sungai-sungai kecil dan rawa. Biasanya dipasang pada pagi hari saat aliran sungai deras. Sesudah beberapa saat ditaruh, hancau diangkat untuk mengambil ikan yang terperangkap. Hal ini dilakukan berdasarkan insting serta pengalaman.
Ada, kisah menarik dibalik penemuan belut oleh pengusaha nasi goreng asli Tuban, Jawa Timur tersebut. Begitu mengetahui, hancau yang diangkatnya terdapat belut dengan ciri fisik yang tidak lazim, sang istri malah ketakutan dan meminta sang suami untuk melepas kembali belut tersebut ke tempat semula. Tapi sdr. Mudi mempunyai pandangan berbeda dengan istrinya. Dia merasa ini adalah berkah dari Yang Maha Pemberi Rizki , maka sdr. Mudi berniat untuk memeliharanya di akuarium. Sehari-harinya, belut langka yang terlihat sehat dan agresif ini diberi makan anak kodok yang biasanya dipakai untuk umpan memancing ikan haruan (ikan gabus). Sampai saat ini Informasi mengenai belut langka ini memang masih sedikit didapat, apakah memang albino seperti dugaan sebagian orang atau memang ada species belut kuning yang endemik di rawa-rawa daerah ini?
Menurut Bapak Anang, ketua RT setempat yang sempat di mintai keterangan, sebagai penduduk asli daerah sini, seumur-umur baru kali ini beliau melihat ada belut berwarna kuning ditemukan di daerah sekitar sini.
Karena minimnya informasi tersebut, sdr Mudi mempersilakan pihak-pihak terkait seperti dinas perikanan atau mungkin kolektor yang faham dan tertarik dengan binatang langka ini untuk berbagi informasi dengannya untuk menggali lebih jauh informasi mengenai keberadaan belut langka ini. Tapi, tidak menutup kemungkinan bila kedepan ada pihak yang tertarik untuk membelinya, sdr Mudi akan merelakannya dengan mahar yang layak dan pantas.
Untuk kontak diskusi & informasi, silakan hub : 081251956501 (Mudi), 081933774877.(telp+WA), email : kaekaha.4277@gmail.com atau BBM di 2B8A903F.

Jumat, 13 Maret 2015

Bank Waktu

Anda pernah berhubungan dengan dunia perbankan? Atau mungkin anda sendiri adalah nasabah dari salah satu bank yang ada?
Istilah bank dan dunia perbankan secara umum tentu bukan barang baru bagi sebagian besar masyarakat kita, selain karena realitas pertumbuhan dan perkembangan kuantitas bank-bank di daerah semakin banyak, secara spesifik ekspansi marketing dunia perbankan (khususnya untuk funding atau pembiayaan) sekarang ini telah merambah usaha mikro di daerah pedesaan yang relatif terpencil sehingga pada gilirannya secara bertahap akan mempertemukan masyarakat dengan berbagai seluk beluk dunia perbankan umum.
Berbicara tentang bank, kira-kira apa yang akan anda lakukan seandainya mendapatkan fasilitas dari bank berupa pinjaman modal Rp. 86.400,-/hari, dengan ketentuan anda ”hanya” diwajibkan untuk memanfaatkan uang tersebut sebaik mungkin (hanya) sepanjang hari itu saja tidak boleh kurang apalagi lebih karena pada malam harinya bank secara otomatis akan menarik dan menghapus semua uang tersisa yang tidak digunakan, sekaligus menerbitkan rekening baru untuk hari esoknya!? Sekali lagi, apa yang akan anda lakukan dengan fasilitas pinjaman modal Rp. 86.400,- /hari itu? Sebagai individu dengan kategori ”normal”, tentu banyak hal yang bisa kita lakukan dengan adanya fasilitas itu, karena seperti menjalani ”kutukan abadi”, hampir semua manusia dalam peradaban modern ini dari sebelum lahir sampai sekian tahun setelah meninggal-pun masih perlu uang! Sebagai simbol sebuah peradaban modern ( kecenderungan dunia kearah kapitalis) uang berhasil menempatkan dirinya di posisi tertinggi dalam hierarki kebutuhan manusia. Disini uang adalah tujuan utama, kalaupun berposisi sebagai sarana itupun sarana untuk mengeruk dan menumpuk uang lebih banyak lagi!. Begitu dan seterusnya seperti lingkaran setan tidak ada ujung pangkalnya.
Kembali ke masalah fasilitas pinjaman, sebenarnya kita tidak perlu menghayal apalagi berandai-andai dengan fasilitas pinjaman modal Rp. 86.400,-/hari, karena sejatinya sejak lahir di dunia fana ini, kita semua benar-benar telah mendapatkan fasilitas pinjaman itu setiap hari tanpa jeda apalagi berhenti, dari bank bernama ”Waktu”.  Bank Waktu secara otomatis setiap harinya selalu membuka rekening baru untuk kita dan secara otomatis pula men-debet saldo baru ke rekening kita sebesar 86.400 detik atau 1440 menit atau 24 jam per-hari. Bank Waktu tidak akan mengembalikan waktu yang tersisa dan juga tidak akan memberikan tambahan  kepada kita bila kekurangan, apalagi minta uang muka alias persekot untuk hari esok, tidak akan pernah dikabulkan!. Intinya, kita harus hidup dengan pinjaman hari ini saja.
Uang dan waktu, keduanya adalah modal riil sebuah kehidupan dalam peradaban manusia (modern). Hanya saja bila dibandingkan dengan uang, ”waktu” mempunyai skala posisi lebih tinggi. Logikanya, dengan naluri dan akalnya tanpa uangpun manusia masih bisa bertahan hidup, tapi tanpa waktu berarti manusia itu mati alias tidak hidup lagi. Waktu sebagai modal terbesar dalam hidup kita mempunyai sifat dan karakter yang sangat unik, tidak mungkin dapat diganti, disimpan tanpa digunakan, dibeli atau dicuri seperti layaknya uang. Walaupun dalam keseharian kita sering mendengar istilah mencuri waktu, menyingkat waktu atau bahkan mengganti waktu sekalipun, semua itu tak lebih dari sekedar ilusi dan proses dramatisasi verbal sebagai wujud ketidak pahaman manusia atas hakekat pergerakan waktu sebagai bagian dari Sunatullah. Alat penunjuk waktu kita apapun merek dan jenisnya, berapapun harganya dan dari manapun asalnya bisa mati dan berhenti berputar, tapi hakekat waktu akan terus berjalan, terus berputar karena tidak ada satupun yang sanggup menghentikannya, selain yang punya Bank Waktu itu sendiri. Allah SWT.  
Dalam Islam yang rahmatan lil alamin, aplikasi manajemen waktu yang efektif dan efisien didasari dengan mengetahui dan mempetakan, mana yang wajib, mana yang sunah dan mana yang mubah, yang secara linier berbanding lurus dengan indikasi derajat keimanan dan ketaqwaan seorang hamba kepada Tuhan-Nya. Allah SWT. Sekaligus sebuah tanda kesuksesan dan keunggulan seorang insan kamil, sebagaimana tersirat dalam firman Allah SWT, ”Dan Dia (pula) yang menjadikan malam dan siang silih berganti bagi orang yang ingin mengambil pelajaran atau orang yang ingin bersyukur” (QS. Al Furqan : 62) dan ” Sesungguhnya pada pertukaran malam dan siang itu dan pada yang diciptakan Allah di langit dan di bumi, benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan-Nya) bagi orang-orang yang bertaqwa.” (QS. Yunus : 6)
Tuntunan lebih detail  mengenai waktu terdapat dalam Surah Al-Ashr ayat1-3, “Demi masa, sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal soleh dan nasihat menasihati supaya mentaati kebenaran dan nasihat menasihati supaya menetapi kesabaran”, yang berkaitan erat dengan pesan Hadist ”lima perkara sebelum lima perkara”, sehat sebelum sakit, muda sebelum tua, kaya sebelum miskin, lapang sebelum sempit dan hidup sebelum mati.
Dari dunia barat, kita mengenal idiom aksiomatik yang cukup brilian time is money yang telah menjadi sumber inspirasi etos kerja terpenting bagi hampir semua bangsa-bangsa eropa. Walaupun sekilas kental rasa kapitalisnya, tapi dibalik makna sesungguhnya sebenarnya menyimpan filosofi bijak bagaimana memperlakukan waktu secara benar, efektif dan efisien yang jelas-jelas berakar dan bersumber dari Al Qur’an dan Al Hadist

Untuk lebih memahami dan merasakan arti penting waktu secara mendasar, riil dan konkrit, coba renungkan dan kalau perlu benar-benar tanyakan!
Untuk memahami arti pentingnya waktu setahun, coba tanyakan pada siswa yang  tidak naik  kelas.
Untuk memahami arti pentingnya waktu sebulan, coba tanyakan pada seorang ibu yang baru saja melahirkan prematur.
Untuk memahami arti pentingnya waktu seminggu, coba tanyakan pada editor tabloid mingguan.
Untuk memahami arti pentingnya waktu sehari, coba tanyakan pada sopir ekspedisi paket dan logistik.
Untuk memahami arti pentingnya waktu satu jam, coba tanyakan pada kekasih hati anda yang sedang menunggu di taman.
Untuk memahami arti pentingnya waktu satu menit, coba tanyakan pada seseorang yang baru saja ketinggalan pesawat terbang.
Untuk memahami arti pentingnya waktu sedetik, coba tanyakan pada seseorang yang baru saja terhindar dari kecelakaan.
Untuk memahami arti pentingnya waktu semili detik, coba tanyakan pada peraih medali perak olimpiade.
Untuk itu, mari hargai waktu yang kita miliki, dengan mengelola waktu sebaik mungkin dengan harapan mendapatkan optimalisasi hidup dan kehidupan yang sesungguhnya. Bukankah motto ideal seorang abdullah adalah ”Hayatuna kulluha Ibadah” atau Hidup seluruhnya untuk ibadah!? Wallahu ’alam.

Kamis, 12 Maret 2015

Kayuh Baimbai, Waja Sampai Kaputing (Refleksi Hari Bahasa Ibu Internasional, 21 Pebruari)

Pada tanggal 17 Nopember 1999 dalam sidang umum UNESCO di Paris Prancis, lembaga PBB yang mengurusi pedidikan, ilmu pengetahuan dan kebudayaan itu menetapkan tanggal 21 Pebruari sebagai Hari Bahasa Ibu Internasional (International Mother Language Day), yaitu hari yang secara khusus didedikasikan untuk mengingatkan bangsa-bangsa di dunia akan perlu dan pentingnya menjaga serta melestarikan bahasa ibu yang dimiliki sebagai bagian dari kekayaan budaya bangsa penuturnya.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), bahasa ibu artinya adalah bahasa pertama yang dikuasai manusia sejak lahir melalui interaksi dengan sesama anggota masyarakat bahasanya, seperti keluarga dan masyarakat lingkungannya. Secara umum, bahasa ibu di identikkan dengan bahasa daerah.
Sayang di Indonesia yang kekayaan bahasa daerahnya menempati urutan ke-2 (741, data UNESCO tahun 2008) terbanyak di dunia setelah Papua New Guinea (820), gaung dari momentum Hari Bahasa Ibu Internasional  sepertinya nyaris tidak terdengar. Padahal menurut penelitian Edi Subroto, guru besar fakultas sastra UNS Surakarta, laju kepunahan bahasa daerah di Indonesia adalah yang tertinggi di dunia sehingga diperlukan langkah-langkah strategis yang konstruktif dan berkesinambungan untuk menjaga keberlangsungannya dan momentum peringatan Hari Bahasa Ibu Internasional yang jatuh setiap tanggal 21 Pebruari sebenarnya bisa dijadikan sebagai titik pijak bagi upaya itu.
Menurut data UNESCO tahun 2008,  bahasa ibu di dunia yang terdata ada 6.912 bahasa yang tersebar di seluruh dunia. Dari jumlah bahasa ibu yang terdata itu 52% penuturnya dibawah 10.000 orang, 28% dibawah 1000 orang dan 10% penuturnya tidak sampai 100 orang. Padahal, menurut para ahli bahasa diperlukan minimal 100.000 penutur aktif  agar bahasa ibu bisa tetap eksis. Dari data ditas bisa dihitung berapa banyak bahasa ibu yang akan segera lenyap dari muka bumi?
Bagaimana dengan bahasa Banjar? Dari data yang muncul dalam Summer Institute of Linguistic tahun 2006 Bahasa Banjar menduduki peringkat ke-7 penutur terbanyak di Indonesia, dengan penutur kurang lebih 3.500.000 orang (Data Sensus Penduduk tahun 2000), Bahasa Banjar memang masih tergolong aman dari kepunahan. Tapi jangan salah! Menurut data Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa tahun 2013, laju kepunahan Bahasa Banjar sebesar 2,5%. Artinya dalam setahun ada 2,5 persen orang Banjar yang tidak lagi menggunakan bahasa Banjar sebagai bahasa ibu dan angka ini menempati urutan ke-6 terbesar diantara bahasa daerah yang ada di Indonesia.
Seperti data di awal, permasalahan semakin menurunnya penutur bahasa ibu tidak dialami oleh bahasa Banjar saja, tapi semua bahasa daerah di dunia. Hanya saja, sebagai masyarakat Banjar tentu kita tidak ingin salah satu identitas budaya kita pelan-pelan hilang dan punah karena ego kita sendiri yang tidak adil memperlakukan kekayaan budaya sendiri.
Kalau kita cermati, bahasa Banjar seperti halnya bahasa daerah lainnya di Indonesia, nasibnya berbanding lurus dengan produk budaya berupa kesenian tradisional, keduanya sama-sama terancam punah.tergusur oleh serangkaian budaya baru yang lebih nge-pop. Tanda-tandanya semakin jelas terlihat, terutama di kota-kota besar seperti Banjarmasin, Banjarbaru dan kota-kota yang prosentase asimilasi antar suku dan budayanya tinggi seperti Batulicin dan Tanjung.
 kaos hymunk
sumber gambar : Kaos Hy-Munk
sumber gambar : Kaos Hy-Munk
Di Kota besar seperti Banjarmasin, penutur bahasa Banjar dari waktu-kewaktu semakin berkurang dan otomatis berbanding lurus dengan intensitas penuturannya di lapangan. Kondisi ini memang sulit terelakkan seiring semakin terbukanya akses komunikasi dan interaksi sosial di Kota Banjarmasin yang mengakibatkan terjadinya proses asimilasi dan akulturasi budaya didalamnya (termasuk bahasa), baik dengan budaya suku lain maupun budaya pop yang dibawa oleh media informasi modern yang begitu cepat, ringkas dan tanpa batas. Situasi ini diperparah oleh, sikap media massa baik cetak maupun elektronik yang hanya memberikan sedikit ruang untuk etalase bahasa ibu atau bahasa daerah dalam ruang besar yang dimiliki. Sehingga ruang interaksi masyarakat dengan bahasa daerah hanya terfokus pada ruang verbal yang dari hari-kehari juga semakin menyempit  akibat imperialisme bahasa asing yang dianggap lebih modern dan berkelas
Kehadiran bahasa Indonesia sebagai pemersatu bangsa, juga punya andil terhadap bergesernya bahasa ibu masyarakat Banjar. Sebagai bukti awal, anak-anak usia sekolah yang sebagian besar lahir dan besar di Kota Banjarmasin lebih memilih Bahasa Indonesia bahkan bahasa inggris sebagai bahasa Ibu dan pergaulan sehari-hari daripada Bahasa Banjar. Secara umum, alasan utamanya adalah lingkungan sosial Kota Banjarmasin yang semakin heterogen dan kebutuhan pendidikanSituasi ini diperparah oleh kenyataan bahwa setting kurikulum dunia pendidikan kita masih belum bisa mendukung eksistensi bahasa daerah secara proporsinal. Buktinya,  kurikulum pendidikan kita masih terlihat berat sebelah. Pelajaran bahasa daerah seperti tidak mendapat porsi yang layak bila dibanding dengan bahasa asing. Faktanya, di Kota Banjarmasin tidak semua sekolah dasar atau yang setingkat mengajarkan muatan lokal berupa pelajaran bahasa Banjar. Kondisi ini mungkin sejalan dengan hasil penelitian Prof. Arif Rahman, salah seorang pakar pendidikan Indonesia. Di Jakarta, 72% siswa SMA tidak menggunakan bahasa daerah dalam pergaulan sehari-hari baik dalam kelurga maupun dengan sesama teman. Mereka lebih cenderung memakai bahasa asing dan bahasa prokem, alasan utamanya adalah biar terlihat lebih modern atau tidak terlihat ndeso dan sebagian karena pandangan “orang rumah” yang menganggap bahasa daerah memang tidak penting untuk masa depan generasi sekarang.
Mengutip pepatah Jawa witing tresno jalaran soko kulino, bagaimana anak-anak kita dan generasi mendatang bisa mengenali apalagi mencintai dan melestarikan bahasa ibunya, bahasa daerahnya masing-masing kalau kulino atau sering bersentuhan saja tidak pernah? Di sini, peran lingkungan dan keluarga juga sangat diperlukan sebagai katalisator terdekat dalam penanaman pembiasaan berbahasa daerah dalam alam bawah sadar anak-anak kita yang masih mudah untuk dibentuk, karena lingkungan dan keluarga adalah ruang yang paling intensif dan efektif bagi semua anggota keluarga untuk membangun sebuah kebiasaan berkomunikasi memakai bahasa ibu-nya sendiri.
Mungkin bangsa ini, khususnya kita masyarakat Banjar perlu menjadikan semboyan “kayuh baimbai, waja sampai kaputing” sebagai tagline motivasi untuk menyelamatkan nasib berbagai produk seni dan budaya daerah (termasuk bahasa) di Indonesia. Pepatah atau semboyan dalam bahasa Banjar diatas sangat familiar bagi masyarakat Kota Banjarmasin dan Kalimantan Selatan. Selain tersemat dalam lambang resmi daerah, keduanya merupakan roh dari perjalanan panjang perjuangan masyarakat Kota Banjarmasin dan Kalimantan Selatan dalam membentuk tatanan kehidupan yang bermartabat dan berbudaya luhur. Makna literal dari “kayuh baimbai” adalah kayuh (sampan) bersama-sama/berbarengan. Ungkapan semboyan ini merupakan pengejawantahan dari harmoni yang tercipta dalam aktifitas mendayung perahu di sungai sebagai bagian dari budaya perairan, identitas masyarakat Kota Banjarmasin dan suku Banjar secara umum. Sedangkan “waja sampai kaputing” artinya, (benda yang terbuat dari) baja dari pangkal sampai ujung. Diadopsi dari semboyan haram manyarah lawan walanda, waja sampai kaputing” milik Pangeran Antasari, (Pahlawan Nasional dari Kalimantan Selatan) dalam perang Banjar melawan kolonial Belanda tahun 1859-1905. Secara umum makna filosofis dari “kayuh baimbai, waja sampai kaputing”  adalah mari berasama-sama, bekerja keras pantang menyerah sampai titik darah penghabisan.
Apakah ini berlebihan? Saya kira tidak, karena bahasa ibu, bahasa daerah kita adalah identitas kita, simbol harkat dan martabat kita yang harus terus dijaga dan dilestarikan keberadaannya.

Mutassim Shaath



Mutassim Shaath….
Bocah mungil tak berdosa
Tubuh mungilnmu tak lagi bergerak
Jantungmu tak juga berdetak
Hanya sesungging senyummu saja yang tersisa, anakku!
Dentuman bom membabi buta telah meluluhlantakkan dinding rumahmu!
Mengubur tubuh nungilmu
Didalam pelukan ibumu yang syahidah
Anakku…….!
Air susu ibumu bahkan masih menetes di bibir mungilmu
Saat sakratul maut menjemputnya

Air susu terakhir itu untukmu nak!
Untuk kehidupanmu!
Untuk bekal perjuanganmu
Demi kebangkitan bangsamu
Demi tegaknya\agamamu yang rahmatan lil alamin, anakku!

Mutassim Shaath….
Apa yang kau rasakan nak…?
Kepedihan luka di badanmu?
Kegetiran hati bangsamu?
Atau kegelian bathinmu melihat keserakahan setan di bumimu, Palestina?

Mutassim Shaath….anakku!
Janganlah cemas dengan masa depanmu
Karena janji Tuhanmu adalah pasti!
Bangunlah anakku,
Bangkitlah anakku!
Demi Rabb Agung yang selalu menjagamu, menjaga kita
Dunia akan melihat besarnya jiwamu
Dunia akan membuktikan sucinya perjuanganmu
Dunia akan menjadi saksi ikhlasnya pengorbananmu
Demi menjaga kebesaran daulah Tuhanmu,
Rabb yang Maha Agung,
Rabb yang Maha Kekal
Rabb yang Maha Melihat
Rabb yang Maha Mendengar
Allah SWT

Subhanallah…….
Maha suci engkau ya Allah
Kumohon……..
Gerakkan lagi tubuh mungilnya
Detakkan lagi jantungnya
Rekahkan kembali senyum manisnya
Biar dunia melihat dengan kesadarannya
Bahwa kuasa-Mu untuk Palestina melebihi apapun dan siapapun
Allahu Akbar
Allahu Akbar

Allahu Akbar



Banjarmasin, 25 Agustus 2014
Saat zionis israel mengangkangi nilai-nilai kemanusiaan, saat pembesar-pembesar bangsa arab sedang terlena dengan buaian dunia....hingga menjadi bisu dan tuli, saat pemimpin dan rakyat Malaysia, Bolivia, Venezuela dan negara amerika latin lainnya begitu "tidak tega" melihat penderitaan saudara-saudaranya di Palestina! 



Mutassim Shaath, sebuah catatan "puitis" mengharukan, dari seorang bocah yang Alhamdulillah akhirnya selamat meskipun harus menjadi yatim piatu diusia yang masih balita. Serangan dan gempuran membabi buta kaum zionis Israel "laknatullah" di bumi Allah, Palestina! telah menghantarkan kedua orang tuanya menjadi syahid dan syahidah. Semoga diberi umur panjang dan bisa melanjutkan perjuangan para leluhurnya membebaskan Palestina dari penjajahan Israel, laknatullah. Amin!

Menggagas Destinasi ”Kota Wisata Buku” (Oleh-oleh dari Banjarbaru Book Fair, 2015)

Sekitar lima tahun yang lalu, secara tidak sengaja saya menemukan sebaris kalimat sesanti yang tidak biasa,  “Banjarmasin Kota Wisata Buku”, terpampang di salah satu pilar Toko Buku Gramedia Banjarmasin. Selain tidak biasa, sesanti “tidak umum” ini memang asing di mata dan telinga. Jadi wajar kalau memunculkan pertanyaan dalam benak siapapun yang sempat membacanya. Entah, apa maksud Toko Gramedia memajang sesanti yang sama sekali tidak familiar tersebut, sekedar kalimat promotif biasa atau memang ada maksud tertentu yang terkandung di dalamnya? Selama ini Kota Banjarmasin tidak mempunyai latar belakang hubungan yang signifikan dengan dunia per-bukuan, sehingga diantara keduanya sama sekali tidak menunjukkan ke-identikan satu sama lain. Apalagi dalam balutan kata wisata! Semakin tidak connect! Apa mungkin Kota Banjarmasin bisa menjadi “Kota Wisata Buku?”
Meskipun pada dasarnya merasa apatis dengan sesanti “Banjarmasin Kota Wisata Buku”, tapi pesan tersirat dalam sesanti tersebut sebenarnya sebuah lompatan ide atau gagasan yang sangat brilliant dan visioner untuk perkembangan dan kemajuan Kota Banjarmasin kedepan, khususnya sektor pariwisata dan perbukuan yang kebetulan saat ini menjadi PR paling aktual pemerintah kota Banjarmasin dan Propinsi Kalimantan  Selatan secara umum.
 Segenap warga Kota Banjarmasin, tentu sangat bangga seandainya ide brilliant Toko Buku Gramedia tersebut benar-benar menjadi kenyataan. Menyandingkan Kota Banjarmasin dengan buku dalam sebuah wahana berkonsep pariwisata, selain akan menambah destinasi wisata (edukatif) baru bagi masyarakat Kota Banjarmasin dan sekitarnya, tentu juga akan membawa dampak yang sangat positif bagi pertumbuhan budaya baca masyarakat banua  yang tergolong masih rendah. Bahkan tidak menutup kemungkinan, multiplier effect-nya juga akan membangkitkan produktifitas dunia tulis menulis dan kesusastraan banua yang sedang mati suri, alias hidup segan mati tak mau dan yang tidak kalah pentingnya, kehadiran wahana wisata buku diharapkan bisa menjadi wadah penyaluran kreatifitas semua unsur masyarakat, terutama bagi para pemuda banua sehingga bisa membantu mengurangi keterlibatan mereka pada tindak kriminal, sex bebas dan narkoba yang semakin mengkhawatirkan dari ke hari.
Berkaca dari diskripsi diatas, gagasan besar menjadikan “Banjarmasin Kota Wisata Buku”, sangat layak untuk diapresiasi dan ditindaklanjuti secara bijak oleh semua pihak yang berkepentingan. Tapi, sepertinya gayung tidak bersambut. Setelah menunggu sekian lama ide segar yang tersirat dalam sesanti “Banjarmasin Kota Wisata Buku” tersebut sepi dari apresiasi publik dan pihak-pihak terkait terutama para pemangku kebijakan di banua.  Buktinya, selain tidak ada progress  yang nyata, spanduk kecil yang memuat tagline “Banjarmasin Kota Wisata Buku” di Toko Gramedia bukannya semakin diperbesar dan diperbanyak agar menjadi trending topic dalam isu regional, justeru sudah menghilang sejak lama dari tempatnya.
Syukurnya, ketika Kota Banjarmasin tidak juga tertarik dengan godaan daya tarik serta pesona dunia perbukuan, tidak terduga justeru tetangga sebelah Kota Banjarbaru yang jeli membaca dan menangkap celah dari ruang kosong dunia perbukuan di banua dengan membangun sebuah event perbukuan bertajuk Banjarbaru Book Fair (BBF), yaitu gelaran pameran buku terbesar di Kalimantan Selatan yang di selenggarakan sejak tahun 2013. Artinya tahun ini penyelenggaraan BBF telah memasuki edisi yang ke-3. Hebatnya, dari tahun ke-tahun kualitas dan kuantitas event ini terus bertumbuh disetiap penyelenggaraannya. Salah satu indikatornya adalah kehadiran beberapa penulis ternama Indonesia yang mau berbagi ilmu kepenulisan dan tentunya liku-liku jalan sukses yang telah mereka pilih dan jalani untuk menjadi seorang penulis sukses. Mungkinkah gelaran BBF bisa menjadi pondasi sekaligus batu loncatan bagi lahirnya sebuah destinasi “Kota Wisata Buku” di Banjarbaru? Sebuah destinasi wisata (edukatif) buku yang sifatnya permanen tidak seperti gelaran BBF yang lebih bersifat insidental?
Jika mengacu pada animo masyarakat dan komitmen pemerintah kota Banjarbaru selaku pemangku kebijakan yang selama ini selalu all out menjadi penyelenggara, sepertinya bukan hal yang mustahil jika kedepan Kota Banjarbaru bisa melahirkan sebuah destinasi wisata baru dengan genre edukatif yang berkualitas, pertama di Pulau Kalimantan, “Kota Wisata Buku”.
Kota Banjarbaru mempunyai modal awal yang memadai untuk menumbuhkan kembangkan destinasi Wisata Buku, selain event BBF yang terbukti sukses,  kota Banjarbaru mempunyai lembaga pendidikan dari tingkat SD sampai perguruan tinggi, baik negeri, swasta bahkan kedinasan yang tentunya sangat membutuhkan ruang ekspresi edukatif untuk menumpahkan gejolak kreatifitas yang representatif sebagai wadah interaktif dengan “taste” berbeda yang lebih luas dan komprehensif dari sekedar bangku sekolah, bangku kuliah maupun dunia maya, guna mendukung pengembangan pengetahuan dan wawasan baik individu maupun komunal. Selain itu, lahan Kota Banjarbaru yang masih luas plus tata kota Banjabaru yang sangat mendukung (rapi, terencana dan teorganisir dengan baik)  sangat memungkinkan untuk memberi ruang  permanen yang representatif bagi tumbuh kembang wahana edukatif yang bisa menampung semua aktifitas kreatif masyarakat, terutama yang berkaitan dengan dunia perbukuan.


Untuk konsep teknis destinasi “wisata buku” di lapangan, pada dasarnya tidak ada konsep baku yang harus dijadikan acuan standarisasi. Sampai pada point ini yang berlaku adalah hukum “pasar”, dimana kejelian dan kreatifitas membaca kebutuhan segmen pasar yang dibidik, kemasan (packaging) destinasi wisata yang di jual dan nilai lebih (benefit) yang bisa di berikan kepada pasar akan mempengaruhi daya jual, daya saing dan eksistensi sebuah destinasi wisata. Intinya, sejauh mana pengelola bisa menerapkan strategi jitu untuk membangun dan mengembangkan sebuah destinasi wisata yang berkualitas dan bernilai jual tinggi.
Melihat soliditas dan keseriusan Pemko Banjarbaru dalam membangun hajatan BBF dari awal sampai akhir, rasanya memang layak kalau harapan besar lahirnya sebuah destinasi “Kota Wisata Buku” kita mandatkan kepada Kota Banjarbaru. Mudah-mudahan, kegelisahan “positif” masyarakat banua yang merindukan sebuah destinasi wisata edukatif yang inovatif, menghibur, mendidik dan tentunya berbiaya relatif murah segera terwujud guna memancing kembali gairah dunia pariwisata dan perekonomian Kalimantan Selatan. Ayo, Banjarbaru bisa.....!!!