Minggu, 28 Februari 2016

Menulis & Mereka Ulang Catatan Sejarah dengan Cara Berbeda!

 Kenangan GMT 1983 (Foto : Detik.com)

Setiap ada berita tentang munculnya fenomena gerhana matahari baik sebagian maupun total, pasti akan menuntun memori saya ke kampung halaman tempat saya lahir dan dibesarkan oleh kedua orangtua saya di daerah pedesaan yang asri dan subur di ujung utara Kabupaten Magetan, Propinsi JawaTimur. Mungkin semua akibat “rekaman keganjilan dan ketidakbiasaan” yang tertangkap indra dan logika kanak-kanak saya saat itu tentang sebuah fenomena alam langka yang terjadi pada hari Sabtu Pon, 11 Juni 1983 atau sekitar 33 tahun yang lalu, Gerhana Matahari Total! Hari itu, kampung saya menjadi salah satu daerah terdekat dengan pusat lintasan gerhana matahari total 1983 di daerah Tanjung Kodok Lamongan, Jawa Timur. Konon, kata tetangga-tetangga saya yang nekat melihat secara langsung fenomena GMT dengan berbagai alat bantu, GMT di daerah kami saat itu komposisinya begitu sempurna dan penampakannya begitu indah! Nah lho…..

Pagi hari Sabtu Pon, 11 Juni 1983 marupakan salah satu hari yang tidak akan pernah saya lupakan seumur hidup saya! Bukan hanya karena langit Kota Madiun dan sekitarnya yang khabarnya sebentar lagi akan gelap gulita sesaat karena Gerhana Matahari Total saja. Tapi karena berbagai kehebohan, keanehan, kejanggalan dan semua ketidak biasaan yang tampak pada lingkungan di sekitar saya yang terjadi pagi itu benar-benar aneh, tidak lazim dan terlihat membingungkan di mata saya, anak SD kelas 1 yang masih ingusan.
GMT 1983 melumpuhkan aktifitas ekonomi (Foto : Detik.com)

Warung nasi pecel Simbah Putri yang biasa buka pagi selepas Subuh, tiba-tiba hari ini tutup. Kata Simbah Kakung, “Hari ini Simbah Putri dilarang berjualan sama Pak Polisi!”. Entah benar-atau tidak jawaban Simbah Kakung, dalam benak saya hanya ada satu pertanyaan yang sangat mengganggu saat itu. “Lha pagi ini kita sarapan apa mbah?”. Simbah Kakung hanya tersenyum mendengar pertanyaan saya, entah apa maksudnya. Padahal saya benar-benar menunggu jawabannya, bukan tanpa sebab lho! Masalahnya, warung nasi pecel Simbah Putri ini bisa dibilang menguasai hajat hidup orang banyak. Kalau mendadak tutup bisa bahaya,  alamat orang sekampung tidak ada yang bisa sarapan pagi. Makanya, kalau mau tutup Simbah bisanya akan memberi woro-woro atau pengumuman jauh-jauh hari, minimal 2-3 hari sebelumnya. Harap dimaklumi, Warung nasi pecel Simbah adalah andalan sarapan pagi bagi orang sekampung yang rata-rata memang sudah kecanduan sama citarasa nasi pecel plus racikan kopi hitamnya Simbah Putri, begitu juga anak-anak kecil yang harus berangkat sekolah pagi-pagi seperti saya biar praktis bungkus saja…….! Tutupnya warung nasi pecel simbah Putri yang terkesan mendadak dan tanpa woro-woro, merupakan keanehan dan ketidaklaziman bagi saya dan orang sekampung.

Didalam rumah Simbah yang bersebelahan dengan rumah saya, saya melihat beberapa keanehan yang sampai sekarang masih saya ingat betul kronologinya. Saya melihat Paklik-paklik saya (adik-adik ibu saya) sedang sibuk menutup lubang dan celah baik yang ada di dinding kayu rumah Gebyog Simbah maupun lubang cahaya dari genteng kaca yang ada di langit-langit rumah yang biasa dilewati cahaya matahari untuk menerangi ruang dalam rumah ketika siang hari. Ketika saya tanya Simbah, “Kenapa di tutupi semua mbah?” Simbah hanya menjawab, “biar mata kita tidak buta!” Jawaban Simbah mengingatkan saya pada kata-kata Bapak dan Ibu saya beberapa hari yang lalu, “Le, nanti kalau pas Gerhana Matahari datang, kamu harus masuk dan sembunyi di bawah kolong tempat tidur ya! Biar matamu tidak buta!”
Cara aman mengamati fenomena GMT (Gambar : Detik.com)

“Laaaaah, hari ini kan seharusnya ada acara megengan, bu?” tanya saya pada Ibu yang sedang menutup sebagian jendela kaca yang terlihat tidak tertutupi korden dengan sempurna. Acara atau upacara megengan adalah salah satu tradisi indigenius atau khas muslim di Pulau Jawa dalam menyambut datangnya bulan Ramadhan yang dilaksanakan 1 atau 2 hari sebelum jatuh tanggal 1 Ramadhan. Kebetulan besok tanggal 12 Juni sudah ditetapkan oleh pemerintah sebagai awal bulan Ramadhan 1403 H. Tradisi acara megengan merupakan hari yang paling ditunggu-tunggu oleh sebagian besar anak-anak di kampung saya selain hari lebaran, karena anak-anak seusia saya biasanya di hari itu akan kaya mendadak! Naaaaah, begini ceritanya. Biasanya pada hari pelaksanaan acara megengan, orang tua kami akan memasak masakan lebih banyak dan lebih beraneka variasi, bukan untuk dimakan sendiri tapi untuk dihantarkan kepada para sesepuh, orang yang dituakan dan dihormati di kampung, keluarga besar bapak/ibu, juga para Bapak/Ibu Guru dan tidak ketinggalan kepada para tetngga di sekitar rumah. Biasanya anak-anak seperti sayalah yang disuruh menghantarkan masakan-masakan itu dengan menggunakan rantang susun dan biasanya setiap orang yang dihantari akan memberikan sangu atau uang sekedarnya untuk si penghantar alias anak-anak seperti saya. Ini yang saya sebut kaya mendadak ala kami! Tapi sayang, jadwal acara megengan hari ini sepertinya tidak jadi alias batal karena adanya GMT yang melintas di langit Kota Madiun dan sekitarnya. Walaaaah, betapa kecewanya saya! Hari itu tidak jadi kaya mendadak…

 Ilustrasi Buto (Batara Kala) yang diabadikan dalam medali GMT 1983 (Foto : Detik.com)

Di seberang rumah, saya melihat Datik dan kawan-kawanya (Saat itu, lidah saya masih agak susah menyebut nama aslinya, Mbak Darti) sedang memukul-mukul kaleng bekas bersama bapaknya, Pakde Kukuh yang dikenal orang sekampung sebagai seniman karawitan yang jago memainkan instrument kendang itu, terlihat sedang menyusun kaleng-kaleng bekas di emperan depan rumahnya. Saya kira, kaleng-kaleng bekas itu buat mainan Datik, ternyata bukan! Kata Pakde Kukuh kaleng itu untuk mengusir buto (Batara Kala) yang nanti mau makan matahari biar tidak lama-lama dimakannya! 

Setelah matahari agak naik, kira-kira jam 7-an WIB, saya, adik-adik, Simbah Kakung dan Putri diajak Ibu kerumah Bude Surati, kakak tertua dari ibu yang rumahnya sekitar 500 meter dari rumah kami, sementara Bapak dan Paklik bertugas menjaga rumah. Sudah menjadi kebiasaan keluarga besar kami untuk berkumpul di rumah Bude Surati setiap ada acara keluarga seperti lebaran, lebaran haji dsb. Selain rumahnya besar dan luas, beliau juga jago masak. Tapi hari ini ada apa? “Kita sembunyi sekalian sarapan dirumah Bude Surati saja” Kata ibu saya saat itu.
Fenomena terjadinya Gerhana Matahari Total (Foto : Detik.com)

Singkat cerita, akhirnya sekitar jam 11 siang WIB (cerita ibu saya, karena saya masih belum bisa membaca jam), bumi di kampung kami benar-benar gelap gulita. Gerhana matahari total benar-benar datang. celah-celah genteng yang tadi masih membiaskan cahaya matahari, sekarang sama sekali tidak terlihat biasnya. Saya yang saat itu sedang sarapan nasi pecel buatan Bude Surati bersama saudara-saudara sepupu yang semuanya berkumpul di rumah Bude Surati langsung disuruh masuk ke kamar meninggalkan menu sarapan andalan kami. Dari kejauhan, sayup-sayup saya mendengar suara bunyi kaleng, kentongan bambu dan kentongan besar di gardu ronda dipukul orang bertalu-talu entah siapa dan apa maksudnya. Dari ruang tengah rumah bude Surati saya mendengar Pakde Sukirman menyalakan Televisi hitam-putih yang konon menyiarkan secara langsung proses terjadinya gerhana matahari total saat itu. Saya bilang “konon” karena saya tidak ikut menyaksikan nya sendiri, karena kami anak-anak kecil saat iru dikumpulkan di dalam kamar dan disuruh diam di ditempat tidak boleh kemana-mana.

Itulah sekelumit ingatan plus sedikit hasil interview saya dengan ibu yang Alhamdulillah masih seger waras dan masih menetap di Kampung halaman di Magetan Jawa Timur, mengenai fragmentasi GMT 1983 yang pernah saya alami 33 tahun yang lalu. Sebuah “rekaman” dimasa kecil yang awalnya saya anggap biasa tapi menjadi luar biasa setelah sekarang fakta-fakta ilmiah mencengangkan seputar GMT semakin mudah diakses seiring perkembangan revolusi teknologi informasi dan pemangku kebijakan yang juga telah “melek teknologi dan IPTEK”.

Yuk menjadi saksi GMT 2016 (Gambar : Detik.com)

Alhamdulillah! Sekarang di tahun 2016 Pulau Kalimantan, kampung halaman saya yang baru. Insha Allah tanggal 9 Maret nanti akan mendapatkan anugerah berupa fenomena alam bernama Gerhana Matahari Total (GMT). Tidak ingin mengulangi sejarah masa kanak-kanak saya 33 tahun silam yang dianggap sebagian orang sebagai domain kekuasaan yang sesat pikir, saya terus berdoa dan bertekad, semoga panjang umur dan diberi kesempatan untuk menjadi saksi indahnya fenomena alam langka bukti kuasa dan kebesaran Allah SWT, Pemilik Semesta Alam beserta isinya, dengan melihat langsung GMT 2016. Syukur-syukur bisa tergabung dengan “Laskar Gerhana detikcom”, bisa melihat langsung GMT 2016 di Bangka Belitung!….Ngareeeep banget!. …he…he…he….Amin.

 "Laskar Gerhana detikcom"


Tulisan ini diposting pertama kali di Detik.com dan Alhamdulillah membawa saya ke tanah Belitong....

Sabtu, 27 Februari 2016

Tradisi “Baayun Maulid”, Kearifan Konklusif Dialektika Agama dan Budaya Lokal Kalimantan Selatan



Prosesi Baayun Maulid
(Gambar : infobublik.id)

Baayun Tradisi Unik Cara Menidurkan Anak
Baayun atau maayun anak adalah salah satu cara tradisional ibu-ibu masyarakat suku Dayak dan Banjar di Kalimantan Selatan dalam usahannya menidurkan anak-anak (balita) dengan cara mengayun-ayunkannya pada ayunan yang terbuat dari tapih bahalai (Kain Jarik : Bhs.Banjar) yang ujung-ujungnya diikat dengan tali haduk (ijuk) yang umumnya diikatkan dengan cara digantung pada bagian-bagian rumah yang kuat seperti plafon dan kuda-kuda rumah. Pada sebagian masyarakat ada mengikatkan Surah Yasin, daun jariangau (Acorus calamus L), kacang parang dan katupat guntur pada tali ayunan dengan tujuan sebagai penghalau jin (mahluk halus)
Secara umum, dilihat dari posisi si-anak dalam ayunan, cara maayun anak pada masyarakat suku Banjar dibagi menjadi 2 (dua) macam, yaitu
1.    Dibaringkan, cara ini merupakan cara regular atau cara umum yang dipakai masyarakat Banjar. 
 Maayun

2.           Didudukkan atau di-pukung, cara ini biasanya dipakai bila si anak dalam keadaan rewel atau susah ditidurkan dengan cara baayun yang pertama (dibaringkan).  

 Bapukung
(Gambar : theasianparent.com)

Sedangkan, dari teknik mengayun juga di bagi menjadi 2 (dua) macam, yaitu
1.           Maayun lapas, (mengayun lepas ; Bhs Banjar) cara ini juga termasuk cara regular atau cara umum yang dipakai masyarakat Banjar. Disini pengayun akan menjaga intensitas ayunan, dengan cara menambah kekuatan ayunan setelah beberapa kali ayunan mengayun atau ketika ayunan semakin melemah. Disini, pengayun biasanya sambil melakukan aktifitas lain.

 Maayun Badundang
(Gambar : beritabanjar.com)

2.     Maayun Badundang, (mengayun sambil bersenandung ; Bhs Banjar) sambil berdendang, pengayun tetap memegangi tali ayunan yang digoyang-goyangkannya. Cara ini biasanya dipakai bila si anak dalam keadaan rewel atau susah ditidurkan dengan cara baayun yang pertama (dibaringkan). 

Baayun Maulid Tradisi Unik, Dialektika Agama dan Budaya
Baayun Maulid adalah sebuah prosesi tradisi maayun anak-anak (terkadang ada juga orang dewasa dan orang tua yang turut serta) khas Kalimantan Selatan yang diselenggarakan secara massal bertepatan dengan perayaan tasyakuran hari kelahiran Nabi Muhammad SAW atau biasa dikenal dengan Maulid Nabi, setiap tanggal 12 Rabbiul Awal penanggalan kalender hijriah. Tujuannya adalah sebagai salah satu bentuk ikhtiar dan doa bagi putra-putri yang dikutkan prosesi agar bisa meneladani kehidupan Rasulullah Muhammad SAW.
Ada 2 (dua) versi catatan terkait asal muasal dari tradisi Baayun Maulid di Kalimantan Selatan, yaitu

1.   Menurut tatuha Banjar (sesepuh Suku Banjar) yang secara turun temurun menyampaikan pesannya, upacara Baayun Maulid sebenarnya telah dikenal masyarakat Banjar sejak berdirinya Kerajaan Banjar yang ditandai dengan masuk Islam-nya Pangeran Samudra beserta semua pengikut dan rakyatnya dengan gelar Sultan Suriansyah. Dahulu upacara ini hanya diperuntukan pada anak-anak dari keluarga besar kerajaan yang lahir di bulan Safar. Mereka melaksanakan upacara ini dikarenakan bulan Safar dipercaya sebagai bulan yang penuh bala. Oleh karena itu untuk menghindari tertimpanya bala pada anak tersebut, maka sang anak wajib diayun sebagai bentuk ritual tolak bala.

2.     Tradisi  Baayun atau maayun sudah ada sebelum Islam masuk di Kalimantan Selatan. Pada masa pra Islam di Kalimantan Selatan tersebut, masyarakat memeluk kepercayaan Kaharingan yang sekarang dikenal sebagai kepercayaan atau agama asli Suku Dayak. Tata cara prosesi Baayun Maulid yang awalnya merupakan tradisi masyarakat Desa Banua Halat Kecamatan Tapin Utara, Kabupaten Tapin, Kalimantan Selatan ini sebenarnya bersumber dari tata cara prosesi bapalas bidan yang dilandasi kepercayaan Kaharingan masyarakat setempat dan ketika pengaruh agama Hindu mulai masuk dan berkembang, maka berkembang pula beberapa prosesi tradisi turunan uang menyerupai, seperti baayunwayang, baayun topeng dan baayun madihin. Seiring berdirinya Kesultanan Banjar yang mengakui agama Islam sebagai agama resmi kerajaan, sejak saat itu pengaruh ajaran Islam menyebar ke seluruh pelosok wilayah kekuasaan KesultananBanjar yang meliputi Negara Agung (wilayah sentral budaya Banjar yaitu wilayah Banjar Kuala, Batang Banyu dan Pahuluan), Mancanegara (daerah rantau: Kepangeranan Kotawaringin, Tanah Dusun, Tanah Laut, Pulau Laut, Tanah Bumbu, dan Paser) dan Daerah Pesisir (daerah tepi/terluar: Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur/Utara). 

Lambang Kesultanan Banjar


Dalam menyebarkan Islam ke seluruh pelosok wilayah kekuasaan Kesultanan Banjar, salah satu strategi jitu para ulama saat itu adalah melalui pendekatan budaya dan tradisi. Tradisi leluhur yang berlandaskan kepercayaan Kaharingan tidak serta merta dihapus tapi dirubah esensi-nya (maksud dan tujuan, prosesi, perlengkapan, waktu pelaksanaan dan perlambang atau simbol yang dipakai) untuk disesuaikan dengan ajaran Islam. Semisal, upacara Aruh Ganal setelah panen hasil bumi, terutama padi hasilnya melimpah. Sebelumnya upacara ini diisi dengan ritual pesta adat dengan tari-tarian dan bacaan-bacaan balian (pemuka agama Kaharingan) yang berisi mantra-mantra, doa dan persembahan kepada para dewa, leluhur dan nenek moyang yang diselenggarakan secara besar-besaran selama beberapa hari di Balai adat, akhirnya digantikan dengan pembacaan doa kepada Allah SWT, syair-syair yang berisi sejarah, perjuangan, dan pujian terhadap Allah SWT dan Nabi Muhammad SAW yang dilaksanakan di masjid. Begitu juga dengan berbagai syarat ritual yang biasa di sebut dengan piduduk (sesaji), kalau sebelumnya dimaksudkan untuk persembahan kepada para dewa, leluhur dan nenek moyang, dirubah makna esensi-nya dengan sedekah yang diakhir acara nantinya bisa dimanfaatkan kembali baik secara individu maupun komunal. Kalau piduduk berupa makanan, maka bisa dimakan bersama-sama, kalau berupa barang tentu bisa dimanfaatkan kembali sesuai kebutuhan. Begitu juga dengan prosesi ritual adat bapalas bidan yang juga disesuaikan dengan tuntunan ajaran agama Islam yang pada akhirnya melahirkan sebuah budaya baru bernafaskan Islam yang sekarang dikenal dengan Baayun Maulid.  

 Bayi tertidur pulas dalam ayunan, prosesi Baayun Maulid konklusi dialektika agama dan budaya

Inilah yang dimaksud Baayun Maulid sebagai kearifan konklusif dialektika agama dan budaya lokal di Kalimantan Selatan, dimana budaya yang diwakili oleh tradisi baayun dan agama diwakili oleh peristiwa maulid bisa bersatu dalam sebuah local genius. Budaya berjalan seiring dengan agama dan agama datang menuntun budaya. Baayun Maulid merupakan simbol pertemuan antara ajaran agama Islam dengan tradisi budaya lokal Kalimantan Selatan dengan cara yang elegan dan damai. Keduanya tetap bisa hidup bersama dengan saling mengisi layaknya simbiosis mutualisma, agama akan memberikan spirit pada kebudayaan, sedangkan ragam kebudayaan dalam naungan konsepsi ajaran Islam semakin menunjukkan konsepsi ajaran Islam yang Rahmatan Lil ‘Alamin. Rahmat untuk seluruh alam beserta isinya.

Baayun Maulid, Local Genius yang Harus di Lestarikan
Prosesi Baayun Maulid hanya bisa ditemui di Kalimantan Selatan dan sebagian kecil komunitas masyarakat Suku Banjar yang ter-diaspora ke beberapa daerah seperti Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah, Kalimantan Utara, Kalimantan Barat, Tembilahan-Riau dan Semenanjung Malaysia. Prosesi Baayun Maulid, memang tidak lagi menjadi domain dari masyarakat Desa Banua Halat Kecamatan Tapin Utara, Kabupaten Tapin saja, tapi telah menjadi bagian budaya dari masyarakat suku Banjar secara umum. 

 Masjid Keramat Al Mukarromah, Banua Halat, Tapin, Kalimantan Selatan
(Gambar : Gorden 313)

Setiap tanggal 12 Rabbiul Awal atau bertepatan dengan hari Maulid Nabi Muhamad SAW, hampir semua daerah di Kalimantan Selatan menyelenggarakan prosesi Baayun Maulid. Hanya saja, prosesi paling meriah dengan peserta paling banyak tetap dipegang oleh daerah asalnya, yatu Desa Banua Halat Kecamatan Tapin Utara, Kabupaten Tapin. Disini, penyelenggaraan Baayun Maulid dipusatkan di area Masjid Al Mukarramah atau yang lebih dekenal masyarakat sebagai Masjid Keramat Banua Halat dengan maksud agar anak-anak yang diayun nantinya terpaut terus dengan masjid sebagai pusat kegiatan umat Islam. Masjid Al Mukarramah dibangun sejak yahun 1840, merupakan salah satu Masjid tertua di Kalimantan Selatan dan termasuk situs cagar budaya yang dilindungi oleh pemerintah.

 Turis asing sedang menikmati tradisi Baayun Maulid di Banua Halat Tapin
(Gambar : kalsel.prokal.co)

Seiring dengan ditatapkannya prosesi Baayun Maulid di area Masjid Al Mukkaramah Desa Banua Halat Kecamatan Tapin Utara, Kabupaten Tapin dalam kalender pariwisata oleh Pemkab Tapin dan Pemprov Kalimantan Selatan, popularitas Baayun Maulid  semakin menanjak. Turis dan wisatawan baik lokal maupun mancanegara selalu membanjiri Desa Banua Halat saat pelaksanaan prosesi Baayun Maulid. Begitu juga antusiasme masyarakat dalam mengikuti prosesi, dari tahun ke tahun pesertanya terus bertambah dan berkembang, tidak hanya anak-anak bahkan banyak orang dewasa dan manula yang mendaftar untuk mengikuti prosesi Baayun Maulid dengan berbagai tujuan dan puncaknya ketika MURI (Musium Rekor Dunia dan Indonesia) pada tahun  2008 memberikan piagam pengakuan rekor yang tercipta pada prosesi Baayun Maulid di Masjid Al Mukarramah Banua Halat dengan kategori penyelenggara Baayun Maulid denganpeserta terbanyak, dengan rincian peserta sebanyak 1.544 orang terdiri dari 1.643 anak-anak, dan sisanya 401 orang dewasa. Piagam dengan register No 30311/R.MURI/III/2008 yang ditandatangani langsung oleh Jaya Suprana tersebut diserahkan oleh Manager MURI Paulus Pangka kepada Bupati Tapin (saat itu) Drs H Idis Nurdin Halidi MAP dan Ketua Panitia Kegiatan H Nafiah Khairani, disaksikan Gubernur Kalimantan Selatan (saat itu) H Rudy Arifin dan Guru Riduan atau Guru Kapuh, serta para pejabat di Propinsi Kalimantan Selatan. Pada akhir tahun 2015, Upacara Baayun Maulid di Kabupaten Tapin mendapat pengakuan sekaligus penghargaan dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Anies Baswedan, sebagai warisan budaya Tak benda Indonesia.

 
Penyerahan piagam oleh Asisten Tiga Pemprov Kalimantan Selatan Kepada Bupati Tapin

Prosesi Baayun Maulid Banua Halat, Tapin, Kalimantan Selatan
Ayunan untuk prosesi Baayun Maulid dibuat dari tiga lapis kain, yakni kain kuning pada bagian luar, kemudian kain putih dan bagian dalam tapih bahalai (Jarik ; Bhs Jawa). Sedangkan pada tali-tali pengikat ayunan tersebut diberi identitas berupa nama anak yang akan menempati ayunan tersebut plus dihias anyaman kembang dan janur yang dibentuk dengan berbagai kreasi, seperti burung, bunga, lipan, rantai, keris dan sebagainya. 

 Macam-macam piduduk dalam prosesi Baayun Maulid

Di bawah jajaran ayunan-ayunan tersebut, masing-masingnya terdapat piduduk atau syarat upacara, yaitu piduduk dalam piring makan yang diisi wadai 41 yaitu berbagai macam kue khas Banjar berjumlah 41 macam dan berbagai syarat lainnya, seperti lakatan (olahan ketan), apam, kue cucur, inti kelapa (adonan kelapa dengan gula merah), telur ayam rebus, papari, pisang, dan tapai ketan. Sedangkan dalam ember ukuran kecil diisi dengan beras, buah kelapa yang sudah dikupas, garam, dan gula merah. “Piduduk” juga ditempatkan di setiap tiang utama Masjid yang diletakan pada dua buah piring makan, yaitu berisi beras ketan putih yang di tengah-tengahnya dihiasi dengan inti kelapa. Piring satunya berisi beras kuning yang di tengah-tengahnya juga diletakkan inti kelapa. Ketika prosesi Baayun Maulid selesai,  semua piduduk  akan dimakan bersama-sama dan selebihnya bisa dbawa pulang untuk dimakan bersama di rumah.

 Rangkaian ayunan yang dipakai untuk prosesi Baayun Maulid

Bagi keluarga peserta prosesi Baayun Maulid, yang menghadiri dan menyaksikan acara tersebut memadati bagian sisi jajaran ayunan tersebut. Untuk laki-laki berjajar pada bagian depan ruang utama mesjid, tepatnya di barisan depan jajaran ayunan. Sedangkan yang perempuan berada di sisi kiri-kanan dan belakang ayunan.
Prosesi acara Baayun Maulid  dimulai dengan pembacaan Syair Maulid yang dipimpin oleh seorang Tuan Guru (Ulama) dengan diiringi rebana. Syair-syair Maulid yang umum dibawakan pada acara Baayun Anak seperti Syair MawludBarjanzi, Mawlud Syaraf al-Anam atau Mawlud al-Dayba’i. Pada saat yang bersamaan, Ulama yang memimpin pembacaan Syair Maulid berjalan ke arah ibu-ibu untuk memberikan “tapung tawar” pada masing-masing anak tersebut.

 Prosesi tapung tawar dalam Baayun Maulid

Tapung tawar adalah prosesi memberi doa yang ditandai dengan mengusap jidat setiap anak dan mencipratinya dengan air “tatungkal” yang terdiri dari campuran air, minyak buburih dan rempah-rempah. Setelah selesai, semua hadirin dan pengunjung duduk kembali selanjutnya dibacakan doa khatam al-mawlud dan dilanjutkan dengan pembacaan ayat-ayat suci Al-Quran serta tausiah yang disampaikan oleh pemuka agama atau ulama yang memang diundang. Setelah semua rangkaian acara dilaksanakan, biasanya ditutup dengan acara silaturahmi dan makan bersama.



Referensi   :



















 

Selasa, 23 Februari 2016

Djulak Larau, Perawat Seni Tradisi dan Budaya Banjar


 "Djulak Larau" aka Drs. Mukhlis Maman (Gambar : facebook Mukhlis Maman)

Awal perjumpaan saya dengan “Djulak Larau” nama panggung dari budayawan  dan seniman Banjar yang dikenal serba bisa Drs Mukhlis Maman, sekitar pertengahan tahun 2000-an. Diawali ketika kami sama-sama mengisi beberapa program acara budaya di Radio NIRWANA FM, Banjarmasin, yaitu jaringan radio swasta terbesar di di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah. Di Radio dengan tagline “Radionya Urang Banjar” yang saat itu begitu getol menampilkan tema budaya dalam berbagai programnya itu, beliau dengan beberapa rekan main di acara budaya “Warung Bubuhan” yang secara reguler ditayangkan TVRI Kalimantan Selatan sampai sekarang, seperti Bang Irwan, Bang Ariel dan Bang Sukur secara reguler membawakan tema acara budaya Banjar dengan konsep semi dialog dalam acara surung sintak dan Lanting Kai, sedangkan saya saat itu mengisi acara dengan latar belakang tema  budaya Jawa dengan konsep yang kurang lebih sama dalam acara Tombo Kangen. Khusus pada hari Minggu, dalam acara Dialog Budaya yang berkonsep dialog interaktif dengan pendengar, beberapa kali kami sempat berpasangan untuk mengisi acara yang lebih banyak mengungkap dan mengangkat tema kekayaan, keberagaman dan keunikan budaya dari hasil akulturasi budaya masyarakat di seputar Kota Banjarmasin dan Kalimantan Selatan yang secara riil memang sangat heterogen alias multi etnis. Dari beberapa kali bertemu dan berdiskusi baik on air maupun off air saya baru menyadari bagaimana pola dan cara kerja dedikasi sidin (beliau ; Bhs Banjar) terhadap seni dan budaya Banjar yang sangat luar biasa.

 Warung Bubuhan TVRI Kalimantan Selatan (Gambar : facebook Mukhlis Maman)




Ada satu pernyataan sidin saat kami membawakan salah satu acara dialog budaya, secara live atau on air di Radio NIRWANA yang sampai sekarang masih saya ingat diluar kepala. Pernyataan yang saya terjemahkan sebagai konsep berkesenian sidin ini, begitu menginspirasi pendengar dan gerak langkah serta pola pikir saya dalam menjalani kehidupan, "berkesenian itu jangan asal mengikuti arus, kita harus punya ciri (tredemark) sendiri agar karya kita lebih mudah dikenali orang dan tidak membosankan, sehingga akan awet dan abadi. Contoh : Kalau kebanyakan pencipta lagu Banjar lebih banyak mencipta lagu Banjar dengan tema sungai, karena Banjarmasin dan Kalimantan Selatan identik dengan sungai dan budaya sungai, tapi kalau aku tidak! Aku lebih suka membuat lagu Banjar dengan tema gunung, bukit atau sawah yang hijau. Mungkin sedikit tidak lazim, tapi jangan salah obyek itu juga ada di Kalimantan Selatan! Jadi tidak melenceng dari fakta tentang Kalimantan Selatan sendiri"

"Djulak Larau” yang juga Pamong Budaya Madya ini dikenal sebagai budayawan Banjar sekaligus seniman multitalent. Dalam aktifitas berkesenian, beliau dikenal sebagai penyair, koreografer, sutradara, komedian, musisi, pencipta lagu dan banyak lagi yang lainnya. Selain sebagai pelaku seni, sidin  juga tercatat sebagai salah satu penulis dokumentasi seni dan budaya Banjar yang cukup produktif. Beberapa buku karya sidin yang kesemuanya mengangkat tema budaya Banjar, seperti Wayang Gung kalimantan Selatan (2012), Gamelan Banjar Kalimantan Selatan (2007) dan Topeng Banjar di Barikin (2012) sampai sekarang masih menjadi rujukan bagi semua pihak yang ingin mempelajari eksotisnya seluk beluk berbagai seni dan tradisi Banjar.


 "Djulak Larau" dan rekan-rekan (Gambar : facebook Mukhlis Maman)


Era globalisasi menghadirkan revolusi teknologi, khususnya teknologi informasi dengan berbagai produk turunannya yang telah berhasil melipat dimensi ruang dan waktu menjadi semakin linier tanpa sekat dan batas, menyebabkan munculnya era dunia baru yang ditandai dengan mulai bergesernya tata budaya masyarakat dunia, khususnya negara-negara berkembang seperti Indonesia. Derasnya arus informasi global tidak hanya menambah wawasan dan pengetahuan secara umum, tapi juga mulai merubah pola pikir, sikap,  perilaku, gaya hidup dan etika sosial yang secara perlahan tapi pasti juga akan merubah tata nilai dan tata laku budaya masyarakat. Banyaknya asset seni dan budaya bangsa dari berbagai suku di Indonesia yang mulai punah, ditengarai sebagai salah satu bukti riilnya. Di Kalimantan Selatan sendiri, kesenian tari, teater rakyat dan sastra tutur yang dulu pernah merajai panggung hiburan rakyat seperti tari baksa kambang, japin, dammar ulan, wayang gong, wayang kulit banjar, mamanda, mamanda tubau, bapandung, balamut dan madihin sekarang sudah sangat jarang bahkan tidak ada yang memainkannya. Bisa jadi orang Banjar generasi sekarang justeru asing mendengar nama-namanya.

Kehadiran sosok-sosok dedikatif seperti “Djulak Larau” dan kawan-kawan dalam lingkungan masyarakat yang sedang mengalami euphoria transisi budaya yang sekarang sedang membius sebagian besar masyarakat Indonesia, termasuk Kalimantan Selatan akibat serbuan aneka budaya pop yang terlihat lebih renyah, simple  dan menggoda merupakan hembusan angin segar sekaligus setetes harapan bagi eksistensi  seni budaya khas daerah Kalimantan Selatan.

  Alat musik Unggut (Gambar : facebook Mukhlis Maman)

Berbagai usaha dan upaya pelestarian seni budaya khas suku Banjar telah dilakukan oleh seniman serba bisa yang juga jagau (jago : Bhs.Banjar) dalam bermain catur ini. Bersama-sama dengan rekan-rekan seperjuangan di markas “Taman Budaya Kalimantan Selatan’, yang sudah dianggap sebagai rumah kedua bagi sidin lahir ide-ide kreatif dan konsep “format” menuju titik ideal untuk melestarikan dan merawat seni tradisi dan budaya Banjar.  Salah satunya adalah melalui karya tulisan dokumenter tentang seni dan budaya. Karya tulisan sidin tidak hanya dalam bentuk buku seperti tersebut diatas, tapi juga dalam bentuk artikel yang tersebar di berbagai media baik cetak maupun online. Selain itu, sidin juga aktif menjadi pengisi acara bertema budaya di TVRI Kalimantan Selatan, baik yang berkonsep drama seperti dalam acara “warung bubuhan” maupun dialog interaktif.

  "Djulak Larau" memainkan "tartar" (Gambar : facebook Mukhlis Maman)

Di luar itu, sidin juga sering berbagi pengetahuan dan pemahaman tentang budaya Banjar dengan menjadi pembicara dalam berbagai seminar dan sarasehan budaya baik tingkat lokal maupun nasional, menjadi koreografer sekaligus pengajar tari di beberapa sanggar seni Banjar. Khusus untuk yang satu ini sidin juga masih sering turun untuk melakukan pentas seni baik di tingkat lokal maupun nasional   dan yang paling menarik adalah upaya sidin untuk melestarikan beberapa alat musik tradisional Kalimantan Selatan yang sudah lama terkubur dan terlindas jaman seperti  kuriding. Melalui tangan dingin sidin alat musik khas Indonesia yang di Kalimantan Selatan telah lama hilang dan tenggelam oleh waktu itu, sekarang mulai mewabah lagi di kalangan anak muda Banjarmasin. Begitu juga dengan alat musik unggut, alat musik khas pedalaman Kalimantan Selatan yang mirip dengan panting ini kembali diperkenalkan sidin kepada masyarakat Kalimantan Selatan dan yang paling baru, sidin kembali berimprovisasi dengan menciptakan alat musik baru kombinasi antara gitar dan tarbang (terbang/rebana ; bhs. Banjar) yang dinamai sidin  “tartar” alias singkatan dari gitar dan tarbang.

Seorang Djulak Larau alias Drs Mukhlis Maman dan semua rekan yang aktif menggerakkan seni tradisi dan buadaya Banjar di Taman Budaya Kalimantan Selatan tentu tidak bisa sendirian berjuang mempertahankan eksistensi seni tradisi dan budaya Banjar. Peran sidin dan rekan-rekan sebagai katalisator pelestarian seni tradisi dan budaya Banjar harus mendapat support dari semua elemen masyarakat Banjar. Apalagi kalau melihat banyaknya seni tradisi dan budaya Banjar yang memerlukan langkah restrukturisasi dan reaktualisasi karena keberadaanya yang terancam punah. Idealnya, untuk menjaga dan merawat kelestarian seni tradisi dan Budaya Banjar harus bersifat kolektif. Artinya, kelestarian seni tradisi dan Budaya Banjar harus menjadi tanggung jawab semua masyarakat Banjar.


Artikel pertama kali di publikasikan do Indonesiana.Tempo.com

Senin, 22 Februari 2016

Melestarikan Rumah Adat Banjar dengan Miniatur


Salah satu kekayaan budaya dan tradisi yang dimiliki oleh Suku Banjar yang mendiami sebagian besar wilayah Propinsi Kalimantan Selatan adalah seni arsitektur rumah adat, yang biasa disebut Rumah Adat Banjar. Menurut situs resmi Kesultanan Banjar, ada 10 (sepuluh) jenis rumah adat banjar, yaitu bubungan tinggi, gajah baliku, gajah manyusu, balai laki, balai bini, palimasan, palimbangan, cacak burung/anjung surung, tadah alas, dan lanting. Sebagian lagi ada yang menambahkan jenis joglo gudang dan joglo bangun gudang yang konon sudah dipengaruhi oleh arsitektur rumah adat joglo dari Pulau Jawa. Seluruh ornament dan elemen rumah adat Banjar, seperti halnya rumah adat dari daerah lain di Indonesia, semuanya terbuat dari bahan kayu dan sebagian besar diantaranya memakai kayu ulin atau kayu besi (Eusideroxylon zwageri) kayu khas Pulau Kalimantan yang terkenal kuat dan tahan lama. Maka tidak heran jika sampai sekarang masih banyak ditemukan berbagai jenis rumah adat Banjar berusia ratusan tahun yang masih tegak berdiri di berbagai kota di Kalimantan Selatan, minimal kerangka utama berbahan kayu ulin yang masih tersisa, sehingga jenis dan tipe rumah masih bisa dilacak dan dikenali.


Nasib rumah adat Banjar di Kalimantan Selatan, tidak jauh berbeda dengan saudara-saudaranya rumah adat di berbagai daerah di Indonesia. Pertumbuhan tidak ada alias nol, sementara pemeliharaan pada obyek yang tersisa terkesan seadanya (rata-rata dimiliki dan dihuni oleh kaum lanjut usia yang tidak mempunyai kemampuan memelihara dan merawat secara maksimal), menyebabkan menurunnya total populasi dari waktu kewaktu. Beruntung, tahun 2015 yang lalu bersama 10 (sepuluh) kota lain di Indonesia, seperti Kota Banda Aceh, Sawah Lunto (Sumatera Barat), Palembang (Sumatera Selatan), Semarang (Jawa Tengah), Bogor (Jawa Barat), Yogyakarta, Karangasem (Bali), Denpasar (Bali) dan Bau-bau (Pulau Buton, Sulawesi Tenggara), Kota Banjarmasin ditetapkan sebagai Kota Pusaka, yaitu Kota yang mempunyai warisan budaya baik dalam bentuk benda maupun bukan benda. Penetapan Kota Pusaka oleh pemerintah pusat dalam Program P3KP (Program Penataan dan Pelestarian Kota Pusaka) ini, bertujuan untuk terciptanya Kota Pusaka berkelanjutan yang dapat meningkatkan kesejahteraan bagi penduduknya dengan “Quality of Space” seimbang dan memadai dengan harapan tercapainya “Quality of Life” yang terbaik. Dengan masuknya Kota Banjarmasin sebagai salah satu Kota Pusaka di Indonesia, diharapkan adanya kontribusi serius, nyata dan maksimal terutama dari pemerintah, baik pusat maupun daerah dalam menjaga, melestarikan dan sekaligus memberdayakan semua asset warisan budaya di Kota 1000 sungai secara baik dan benar untuk kesejahteraan dan kemaslahatan bersama, termasuk diantaranya pelestarian berbagai jenis rumah adat Banjar, baik yang didalam Kota Banjarmasin maupun yang ada di wilayah lain di Kalimantan Selatan yang diatas kertas sangat berpotensi menjadi destinasi pariwisata dan pendidikan yang tentunya juga bernilai ekonomis tinggi.


Wacana penyelamatan dan pelestarian berbagai jenis rumah adat Banjar oleh berbagai pihak, sejauh ini masih banyak berkutat dalam bentuk konsep dan wacana yang belum menyentuh pada solusi aplikatif dan konklusi riil di lapangan, kecuali pada Rumah Anno 1925 yang kebetulan karena lokasinya berada satu paket dengan “etalase Kota Banjarmasin” yaitu destinasi wisata menara pandang di Komplek Siring Sungai Martapura.
Langkah nyata penyelamatan dan pelestarian berbagai jenis rumah adat Banjar “tanpa suara bergema” justeru sudah lebih dulu dilakukan oleh seorang pemuda dari Kota Martapura, Rusman "Suryanata" Efendi. Sejak tahun 2012, melalui “Gerakan Melestarikan Rumah Adat Banjar dengan Miniatur” yang digagasnya dalam website pribadi Suryanata.com. Pemuda  kelahiran Amuntai, Hulu Sungai Utara ini telah memulai melakukan serangkaian penelitian sekaligus inventarisasi terhadap hampir semua asset rumah adat Banjar di seluruh Kalimantan Selatan secara mandiri. Dari data primer hasil penelitian dan inventarisasi yang sekarang masih dalam proses pemutakhiran data ini, Rusman Suryanata Efendi bertekad dan bercita-cita ingin menjadikan semacam bank data yang suatu saat bisa di terbitkan dalam bentuk buku, ebook dan sejenisnya dengan konsep ensiklopedi yang bisa dijadikan rujukan bagi siapa saja yang berkepentingan.
Selain melakukan penelitian dan inventarisasi mandiri, Rusman "Suryanata" Efendi juga menawarkan sebuah solusi cerdas untuk melestarikan berbagai jenis rumah adat Banjar melalui sebuah produk kreatif dan inofatif hasil karyanya berupa “miniatur rumah adat Banjar” yang berbahan dasar kayu agatis dan berbagai produk sampingan lainnya seperti kaos, kalender, flashdisk dan berbagai produk lainnya yang kesemuanya mengangkat tema rumah adat banjar. Kejelian Rusman "Suryanata" Efendi memilih media pelestarian rumah adat Banjar dalam bentuk miniatur dan produk sampingan lainnya, mungkin memang bukan yang pertama, tapi setidaknya upaya nyata yang dibalut dengan tekad, keseriusan dan dedikasinya berkiprah dalam penyelamatan serta pelestarian rumah adat banjar dengan berbagai metode, cara dan terobosan yang sebelumnya mungkin dianggap sebagai khayalan dan mimpi di siang bolong, belum ada yang menyamai sampai detik ini!


Produk yang layak disebut kreatif dan inovatif berupa rumah adat Banjar beserta produk sampingan lainnya karya Rusman "Suryanata" Efendi, setidaknya mempunyai 3 (tiga) nilai fungsi strategis, yaitu fungsi pelestarian, ekonomis dan ideologis. Untuk fungsi pelestarian, sudah jelas! Upaya kreatif pemuda kelahiran 1979 ini tidak sekedar mendokumentasikan saja tapi juga mewujudkan dalam bentuk wujud fisik berbagai jenis rumah adat Banjar dengan  skala presisi dan otentisitas yang bisa dibilang 100% otentik dengan aslinya. Ini sangat penting, mengingat dalam wujud aslinya tidak semua rumah adat Banjar yang tercatat dalam berbagai literature masih ada bentuk dan wujud fisiknya. Jadi kehadiran bentuk miniatur rumah adat Banjar bisa menjadi jembatan antara ruang konsep (2 dimensi) dengan ruang nyata (3 dimensi) Rumah adat Banjar, khususnya rumah adat Banjar yang hanya ada dalam gambar karena sudah lenyap dari muka bumi.
Sedangkan untuk fungsi ekonomi, lebih mudah melihatnya! Produk miniatur rumah adat Banjar karya Rusman "Suryanata' Efendi yang begitu detail dengan akurasi mendekati sempurna dan mempunyai karakter artistik yang sangat kuat mempunyai nilai ekonomi yang sangat tinggi alias sangat layak jual! Buktinya, produk miniatur rumah adat Banjar produksi Rusman "Suryanata" Efendi banyak diapresiasi dan diburu oleh para kolektor benda seni dari luar daerah dan luar negeri seperti dari Jepang, Eropa dan Amerika. Hanya saja, sepertinya ada fakta anomalis terjadi di lapangan. Sampai detik ini, dedikasi total pemuda yang juga pengajar kelas computer dan internet ini masih belum mendapatkan respon dan apresiasi positif dari instansi terkait khususnya pihak-pihak terkait urusan seni, budaya dan pariwisata, khususnya lagi di Kalimantan Selatan sendiri. Padahal, apabila potensi ekonomi kreatif yang sangat menjanjikan ini  dikelola dan dibina dengan baik dan benar, sedikit banyak pasti bisa memberi dampak ekonomi dan sosial bagi masyarakat sekitarnya, sehingga secara bertahap bisa membantu mengurai permasalahan umum yang sekarang sedang membelit sebagian besar daerah di Kalimantan Selatan dan Indonesia secara umum, seperti pengangguran dan kebuntuan inovasi penggerak perekonomian.


Untuk fungsi ideologis, sepertinya bukan suatu yang berlebihan bila apa yang dilakukan oleh seorang Rusman "Suryanata" Effendi ini layak menjadi sebuah inspirasi besar, khususnya bagi kaum muda Banjar dan bagi semua masyarakat Banjar dan Kalimantan Selatan umumnya. Siapa lagi yang akan melestarikan semua kekayaan adat dan tradisi Suku Banjar, selain kita sendiri masyarakat Banjar dan Kalimantan Selatan!?
Sebuah dedikasi anak bangsa untuk menjaga, merawat dan melestarikan kekayaan budaya leluhurnya memang sebuah keniscayaan kodrati, sebuah tanggung jawab kolegial yang seharusnya berlaku umum! Tapi fakta riil di lapangan ternyata memberi pesan anomalis yang lebih banyak berbanding terbalik. Perjalanan berliku dan penuh tantangan seorang Rusman "Suryanata" Effendi dalam melestarikan rumah adat Banjar, secara tersirat memberi pesan kepada kita semua, khususnya masyarakat Banjar dan Kalimantan Selatan terhadap tanggung jawab kolegial kita dalam menjaga dan melestarikan aset budaya Banjar yang sekarang semakin luntur dan melemah. Semoga, bersamaan dengan kehadiran sosok-sosok baru dalam tampuk kepemimpinan Kalimantan Selatan, akan memberi harapan baru, semangat baru dan energi baru pada semangat kolegial kita dalam upaya melestarikan semua elemen budaya Banjar di banua tercinta, Kalimantan Selatan.

Semua foto dari : Suryanata.com
Artikel pertama kali di posting di Indonesiana, Tempo.com




 

Minggu, 21 Februari 2016

Mimpiku, Mengurai Eksotisme Alam dan Budaya Bumi Sriwijaya!



 Yuk! Menikmati fenomena GMT 2016 di Palembang (Grafis : detik.com)

Mengulang sejarah astronomis Kota Palembang 18 Maret 1988 silam, Insha Allah, tanggal 9 Maret 2016 langit Kota Palembang kembali menjadi panggung teatrikal kreasi  Yang Maha Pencipta, Allah SWT, yaitu munculnya fenomena astronomis paling sepektakuer di awal abad 21, Gerhana Matahari Total (GMT) 2016 yang puncaknya,  untuk langit Kota Palembang diperkirakan akan terjadi pada pukul 07:21:43,3 WIB dengan rentang durasi sekitar 1 menit 47 detik.

Sejumlah destinasi wisata populer di Kota Palembang seperti Jembatan Ampera dan Plaza Benteng Kuto Besak di tepi Sungai Musi telah dipersiapkan dengan matang oleh Pemerintah Propinsi Sumatera Selatan dan Kota Palembang guna menjadi icon utama bagi penikmat wisata yang berkunjung ke Palembang untuk menikmati detik-detik prosesi GMT 2016. Menariknya lagi, untuk menambah semarak event GMT 2016 di Palembang, berbagai acara unik dan menarik juga telah dipersiapkan guna memanjakan semua pengunjung yang datang, diantaranya festival foto internasional, glowing night run, berbagai atraksi budaya, pertunjukan barongsai, pelepasan lampion dan tur edukasi gerhana yang bekerja sama dengan Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN).


 Jalur lintasan GMT 2016 (Grafis : trenmuslim.web.id)

Palembang dan Sumatera Selatan merupakan mimpi saya sejak dulu dan menjadi destinasi pilihan saya jika diberi jalan oleh-Nya untuk menikmati fenomena GMT 2016, selain karena langit Kota Palembang nantinya bisa menyajikan GMT secara utuh alias terlihat 100%,  Kota terbesar ke-dua di Pulau Sumatera ini juga mempunyai segudang destinasi wisata eksotis lain yang bisa dieksplorasi sebelum atau setelah menyaksikan detik-detik GMT 2016 dari Jembatan Ampera atau plaza Benteng Kuto Besak. Apalagi lengkapnya berbagai sarana dan prasarana pendukung pariwisata Kota Palembang dan Sumatera Selatan akan memanjakan semua pengunjung secara maksimal untuk menikmati eksotisme bumi Sriwijaya. 


Gunung Dempo (Gambar : Indonesia.travel)

Konfigurasi geografis alam bumi Sriwijaya terbilang sangat lengkap, semua destinasi wisata berbasis keelokan alam semua tersedia disini, mulai dari dataran rendah seperti pantai, pulau eksotis, ekosistem sungai yang menakjubkan sampai indahnya perkebunan teh yang dingin di lereng pegunungan yang menyegarkan semua tersedia, sebut saja Gunung Dempo dan Bukit Siguntang yang hijau, Curup Maung, Air terjung Lematang Indah dan air terjun Bidadari yang kesemuanya menyajikan konfigurasi alam yang begitu indah dan menakjubkan! Wahana Hutan Wisata Punti Kayu dengan vegetasi pojhon pinus dan kebun binatang mininya yang menyegarkan, Danau Ranau dan Goa Putri yang eksotis atau Pantai Pantai Setia surganya para surfer! tinggal pilih dan mengatur waktu kunjungannya saja. Tidak hanya sajian alam yang tersedia di sini, karena destinasi wisata budaya, sejarah, religi dan kuliner bumi Sriwijaya dijamin akan membuat semua pengunjung betah untuk berlama-lama menikmati setiap jengkal tanah surga yang diturunkan-Nya di Nusantara ini. Siapa tidak ingin melihat proses pembuatan kain tenun songket yang begitu indah atau mencicipi martabak Har dan Pempek Saga Sudi Mampir Palembang yang begitu melegendaris dan terkenal seantero nusantara?!  Atau ingin melihat langsung peninggalan budaya megalithikum yang unik di bumi besemah, Kota Pagaralam?

Travelling ke Sumatera selatan? Jangan kelamaan mikirnya! Langsung berkemas,  siapkan perlengkapan dan langsung go...! Liburan ke Bumi Sriwijaya akan memberikan berbagai pengalaman wisata menakjubkan yang dijamin tidak akan terlupakan seumur hidup. Berikut beberapa destinasi wisata Bumi Sriwijaya yang paling menggoda dan akan membuat saya dan anda semua akan kehabisan kata-kata untuk menguraikan keindahannya ….


WISATA  BUDAYA

1.     Peradaban Sungai Musi

Jembatan Ampera (Gambar : jayanjayan.com)

            Sungai Musi yang membelah Kota Pelembang menjadi dua bagian, merupakan sungai terpanjang di Pulau Sumatera dan juga menjadi salah satu yang terpanjang Indonesia. Dengan panjang mencapai 750 km, menjadikannya sebagai urat nadi kehidupan masyarakat di sekitarnya sejak berabad-abad silam yang secara otomatis juga membentuk peradaban budaya sungai khas perairan darat di Sumatera Selatan. Sejak jaman kejayaan Kerajaan Sriwijaya, DAS Sungai Musi telah menjadi jalur penting perdagangan, distribusi dan mobilisasi barang dan manusia, salah satu buktinya adalah keberadaan Benteng Kuto Besak yang dibangun disalah satu sisi tepian Sungai Musi. Begitu juga dengan keberadaan berbagai destinasi di Pulau Kemaro yang menyimpan catatan sejarah dan kisah yang telah melegenda.   Di era Palembang modern, sejak diatasnya dibangun Jembatan Ampera, salah satu landmark Kota Palembang yang paling terkenal, semakin menguatkan potensi ekonomi khususnya pariwisata di sekitar Sungai Musi. Berbagai kegiatan ekonomi masyarakat banyak tumbuh di sepanjang DAS Sungai Musi.

          Sebagai destinasi wisata, menyaksikan aktivitas masyarakat di atas Sungai Musi dengan berbagai atribut budaya sungainya sambil menikmati sajian mpek-mpek atau berbagai sajian kuliner khas lainnya akan memberikan sensasi yang luar biasa, bisa menjadi peluruh ketegangan dan kepenatan seusai beraktifitas. Atau mau langsung menjelajahi sebagian ruas sungai Musi dengan wisata arung sungai!? Boleeeeeh….



Rumah Limas ( Gambar : azwisata.com)

 
Rumah Limas merupakan rumah tradisional khas Sumatera Selatan berarsitektur panggung dengan atap berbentuk limas dengan bahan baku pembuatan dari kayu. Rumah limas sangat unik, baik dari segi filosofi maupun bentuk fisiknya. Salah satunya adalah bahan kayu yang dipakai untuk pembuatan rumah yang rata-rata sudah sangat langka dan dibeda-bedakan sesuai peruntukannya. Kayu tembesu hanya digunakan untuk membuat dinding, lantai, serta pintu. Untuk tiang rumah, pada umumnya menggunakan kayu unglen yang tahan air (mungkin sejenis kayu ulin/kayu besi dari hutan Kalimantan) dan kayu Seru dipakai untuk rangka rumah. Kayu seru sengaja tidak digunakan untuk bagian bawah Rumah Limas, sebab kayu Seru dalam kebudayaannya dilarang untuk diinjak atau dilangkahi.  Rumah Limas sangat luas (400-1000 m2) dan seringkali di pakai untuk tempat hajatan atau acara adat. Luas rumah limas dari. Jika penasaran langsung saja meluncur ke Rumah Limas milik keluarga Bayuki Wahab di Jl. Mayor Ruslan dan Hasyim Ning di Jl. Pulo, 24 Ilir, Palembang.



Sentra Industri Songket Palembang (Gambar : Jalan2.com)

Tenun/Siwet Songket Palembang merupakan kerajinan tradisional khas dari masyarakat Palembang yang umumnya dihasilkan dari industri rumah tangga. Songket adalah kain tenun yang dibuat dengan teknik menambah benang pakan sebagai hiasan (inlay weaving system), yaitu dengan menyisipkan benang perak, emas atau benang warna di atas benang lungsin. Tenun ini memiliki berbagai motif, seperti: lepus, jando beraes, bunga inten, tretes midar, pulir biru, kembang suku hijau, bungo cino, bunga pacik, dan lain-lain.
Tenun songket umumnya dipakai kaum wanita dalam upacara-upacara perkawinan, resepsi-resepsi resmi, dan acara-acara adat. Songket yang dikenakan seseorang akan menunjukkan status sosial pemakainya.
Untuk melihat dari dekat prosesnya, bisa langsung meluncur ke Pusat pengrajin Tenun Songket Palembang di Kawasan Industri Songket Kelurahan 30 – 32, Kecamatan Ilir Barat, Kota Palembang.


WISATA  KULINER

1.     Restoran Riverside 

 


Riverside Resto (Gambar : panduanwisata.id)

 

Restoran ini merupakan tempat makan paling tepat untuk menikmati keindahan Jembatan Ampera, terutama di malam hari. Terletak persis di pinggir Sungai Musi dan berada di Komplek Benteng Kuto Besak, Jalan Rumah Bari, Palembang. Bangunan utama restoran yang menggunakan sejenis kapal besar 3 lantai yang disulap menjadi restoran berkelas akan memberikan sensasi yang luar biasa. Restoran yang mampu menampung hingga 500 orang ini menyajikan berbagai menu masakan khas Palembang dan nusantara.

 

2.     Pempek Saga Sudi Mampir

 

 Warung Pempek Saga "Sudi Mampir" (Gambar : kulinerkito.xyz)

          Makanan pempek khas Palembang sudah terkenal dan dikenal seantero nusantara sejak lama, tapi jangan salah! Rasa pempek yang ada di luar Palembang dan Sumatera Selatan biasanya sangat berbeda dengan aslinya. Bisa jadi karena menyesuaikan dengan lidah masyarakat tempat kedai pempek berdiri. Di Palembang, salah satu warung pempek yang paling ingin saya coba adalah Pempek Saga “Sudi Mampir” yang sangat terkenal di kota Palembang. Disebut Pempek Saga, karena dulu lapaknya di deket bioskop Saga sebelum akhirnya pindah di seberang Kantor Walikota.



WISATA  RELIGI

1.     Masjid Agung Sultan Mahmud Badaruddin


Masjid Agung Sultan Mahmud Badaruddin (Gambar : bujangmasjid.blogspot.co.id)
 
Masjid termegah di Sumatera Selatan ini dibangun pertama kali pada masa pemerintahan Sultah Mahmud Badaruddin I dari tahun 1738 - 1748 dan telah mengalami 6 kali renovasi dengan luas awal sekitar 1.080 m2 sekarang telah mencapai 5,520 m2. Masjid megah berarsitektur campuran Indonesia, Cina dan Eropa yang terletak di Jalan K.H. Faqih Usman ini,  merupakan salah satu landmark kebanggan masyarakat Kota Palembang selain bangunan Jembatan Ampera.

2.     Masjid Cheng Hoo Sriwijaya



Masjid Cheng Hoo Sriwijaya (Gambar : Indonesiakaya.com)
        
        Masjid dengan arsitektur khas perpaduan China, Arab dan Nusantara di kawasan Jakabaring ini menjadi salah satu destinasi religi yang unik dan menarik di Palembang. Keunikan yang paling mencolok dari serangkaian bangunan Masjid berlantai dua ini adalah keberadaan dua menara berbentuk klenteng dengan warna merah dan hijau giok yang yang mencolok.


WISATA  SEJARAH

1.     Benteng Kuto Besak


Benteng Kuto Besak (Gambar: Indonesia.travel)
 
Bangunan tua peninggalan kerajaan yang dibangun pada saat pemerintahan Sultan Muhammad Badaruddin tahun 1776-1803 ini merupakan salah satu destinasi wisata andalan Kota Palembang. Posisinya yang berdekatan dengan Sungai Musi, menjadikan situs ini menjadi destinasi yang sangat wajib bagi para wisatawan. Sebagai salah satu landmark penting Kota Palembang, Benteng Kuto Besak mempunyai nilai sejarah yang tinggi. Kemegahan situs dengan spesifikasi tinggi 9,9 meter, panjang 288,75 meter, lebar 183,75 meter. Dan ketebalan didinding 1,99 meter ini masih terlihat sampai detik ini.

2. Bukit Siguntang


Bukit Siguntang yang hijau dan asri (Gambar : lemabang.wordpress.com)
 
Titik tertinggi di Kota Palembang ini merupakan salah satu tempat bersejarah yang dimilik Kota Palembang. Keasrian dan kesegaran udara destinasi yang konon banyak menyimpan misteri ini memang begitu menggoda. Sepanjang mata memandang yang terlihat adalah pepohonan rindang dangn kombinasi kursi dan gazebo yang sanagt representative untuk melihat alam sekitar. Di lokasi ini juga terdapat situs sejarah berupa makam dari Panglima Tuan DjungDjungan.

3.     Candi Bumi Ayu


Komplek Candi Bumi Ayu (Gambar : bp.blogspot.com)
 
Komplek candi Hindu Siwa terbesar di luar Jawa ini terletak di Desa Bumiayu, Kec. Tanah Abang, Muara Enim. Bangunan situs candi di komplek ini menurut data hasil penggalian dari para arkeolog merupakan tiruan dari Candi Prambanan yang ada di Jawa Tengah. 






Alhamdulillah, tulisan ini mendapatkan apresiasi JUARA 2!
Terima Kasih @pesonasriwijaya  #wonderfulsriwijaya