
Ada yang berpendapat tak
apalah kalau sekedar lupa acara seremonial, asal tidak melupakan spirit yang
terkandung dalam hari yang sangat bersejarah bagi perjalanan peradaban budaya bangsa
Indonesia itu. Mungkin ada benarnya, sepertinya kita tidak perlu terlalu
terjebak dalam polemik urgensi sebuah seremonial. Mungkin akan lebih bijak bila
kita secara kontinyu terus bergerak dan berinovasi untuk tetap menjaga denyut
keberlangsungan dunia pe-batikan sesuai dengan latar belakang dan kemampuan
kita masing-masing. Sebagai contoh ada beberapa langkah apresiatif anak bangsa terhadap batik yang mulai terlihat, seperti perusahaan penerbangan
Lion Air yang mendirikan anak perusahaan yang juga bergerak dibidang
penerbangan yang diberi nama ”batik air” dengan segala motif batik yang
menghiasi badan armada pesawatnya, grup
band J-Rock juga sering memamaki batik modifikasi untuk kostum panggungnya,
musisi Piyu gitaris band Padi yang menghiasi sekujur mobil mewahnya dengan
motif batik yang eksotis, beberapa klub sepakbola Indonesia seperti Sriwidjaya
FC dari Palembang Sumatera Selatan dan Mitra Kukar, Tenggarong Kutai
Kertanegara Kalimantan Timur juga memasang ornamen batik khas daerah
masing-masing pada sebagian jersey
resmi mereka, terbaru banyak perusahaan swasta dan komunitas anak muda yang
menempelkan logo komunitasnya dalam rangkaian motif batik sebagai seragam dan
identitas komunitasnya. Diantaranya komunitas fans dari klub sepakbola
Barcelona FC Indonesia, Manchester City Indonesia, dll. Ini lompatan besar bagi sejarah
perkembangan batik di Indonesia. Batik yang dulunya sangat segmented dan identik dengan kain yang mahal, jadul, tua atau
dianggap tua, sekarang lebih terbuka, fleksibel dan bisa di aplikasikan tidak
hanya pada selembar kain.

Meminjam komentar Iwan Tirta (perancang busana dan pakar batik nasional)
definisi batik harus didapatkan melalui diskusi terarah yang melibatkan semua
elemen yang berkaitan, karena dengan definisi batik yang baku akan meningkatkan
rasa percaya diri, memupus kerancuan dalam memandang dan memahami batik
sekaligus sebagai senjata untuk menghadapi klaim pihak luar.
Memang benar, karena kelalaian dan ketidakpahaman
kita pada filosofi dasar batik (dan berbagai warisan luhur budaya bangsa
lainnya) telah menjadikan batik hanya sebatas simbol yang hanya bisa dipandang
dan dibangga-banggakan saja, tidak ada upaya berkelanjutan yang konsisten untuk
mengenal, menggali dan memanfaatkannya semaksimal mungkin sebagai identitas dan
jatidiri budaya bangsa yang luhur. Kita seperti enggan dan tidak percaya diri
tampil dengan identitas dan jatidiri bangsa kita sendiri, batik. Sampai disini, logika kita berbanding terbalik
dengan Malaysia. Malaysia secara ekonomi dan teknologi jelas boleh berbangga
tapi kenyataannya bermasalah juga, karena tidak mempunyai identitas dan
jatidiri bangsa sebagai pegangan sehingga berusaha mengklaim sana-sini. Ingat,
sebuah bangsa akan menjadi besar dan bermartabat bila memiliki identitas dan
jatidiri yang kuat.
Sebagai tindakan
strategis dan aplikatif, sebagai tanggung jawab moral sekaligus menjawab pesan
tersirat atas pengakuan UNESCO pada batik sebagai warisan budaya dunia bukan
benda. Langkah pertama yang harus dilakukan adalah mematenkan semua obyek
produk seni dan budaya kita (dengan skala prioritas tentunya) ke lembaga hak
paten internasional dengan begitu kekayaan dan keluhuran budaya bangsa ini
tetap aman terjaga dan terbebas dari berbagai upaya pengakuan dari pihak
manapun. Agenda selanjutnya adalah memasyarakatkan kembali arti penting Hak
Kekayaan Atas Intelektual (HAKI) dan Hak Cipta kepada semua pihak yang
berkepentingan, kalau diperlukan prosedur pengurusannya harus dibenahi,
diperjelas dan dipertegas agar sistem yang berjalan mengacu pada produktivitas
yang efektif dan efisien. Dalam UU No. 19 tahun 2003 tentang Hak Cipta, sebenarnya
pemerintah menjamin perlindungan hak kekayaan intelektual komunal maupun
personal. Daerah diberi kebebasan mendaftarkan agar mendapat perlindungan
sebagai kekayaan budaya bangsa. Disini peran pemerintah memang dituntut lebih
bijak, riil dan praktis. Sayangnya, catatan dari beberapa pihak (dan ini sudah
menjadi rahasia umum) menyebutkan, jaminan perlindungan yang dijanjikan lewat Undang-undang
selama ini masih sebatas retorika semata, aplikasi dilapangan masih nihil.
Sebagai contoh, perajin batik di Pekalongan dan mungkin juga dialami oleh semua
perajin di seluruh pelosok tanah air yang rata-rata adalah industri kelas
menengah kebawah, dimana untuk pengurusan hak paten 1 (satu) motif batik konon dikenakan
tarif Enam juta rupiah itupun tidak berlaku selamanya, karena tiap tiga bulan
harus registrasi atau daftar ulang dan itu pasti perlu biaya lagi (Kompas,4
Oktober 2009). Coba dikalkulasi, seandainya dalam satu bulan para perajin
kreatif bisa menggubah 10 (sepuluh) motif batik, bisa dibayangkan berapa biaya
yang harus dikeluarkan untuk mengurus hak paten saja! Kondisi ini jelas
membebani perajin, karena pasti akan menambah HPP (Harga Pokok Produksi) dan
itu pasti menaikkan harga jual atau memangkas margin keuntungan yang didapat.
Situasi ini sangat berbahaya, cepat atau lambat pasti akan memasung kreatifitas
perajin dan pada gilirannya bukan tidak mungkin usaha mereka akan mati total
akibat regulasi yang tidak populis itu. Lebih parah dan celaka lagi, yang terjadi
pada Pemprov DI Jogjakarta dan Bali yang
berusaha melaksanakan amanat Undang-undang Hak Cipta dimaksud, alih-alih
masalah terselesaikan dengan cepat dan tuntas, ternyata justeru menambah
masalah baru karena hasilnya tidak jelas juntrungannya (Kompas,4 Oktober 2009).
Selain itu serbuan kain bermotif batik dari luar negeri yang belakangan
membanjiri pasar juga menimbulkan permasalahan baru yang juga belum
terselesaikan dengan bijak, regulasi dan kesigapan pihak berwenang untuk
masalah ini juga masih abu-abu. Sungguh, semua permasalahan ini adalah ironi
yang secara nyata bertentangan dengan semangat untuk menjaga, melindungi,
melestarikan dan mengembangkan batik sebagai pusaka warisan bangsa!. Ini adalah
masalah yang harus segera mendapatkan solusi, karena masalah ini sudah
berlarut-larut terlalu lama dan pasti akan merusak iklim kondusif dan produktivitas
tidak hanya para perajin dilapangan tapi semua pelaku industri batik dari hulu
sampai hilir bahkan konsumen, pasti akan terkena imbasnya. Apalagi polemik
seputar batik pasti tidak akan berhenti sampai disini saja, masih banyak
masalah terkait lainnya yang menunggu niat bijak pemerintah untuk membantu
penyelesaiannya. Kalau memang semuanya bisa dipermudah kenapa harus dipersulit!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar