Hari batik...!? Kapan..!?
Itu ekspresi sebagaian besar orang ketika salah satu reporter TV swasta
nasional mewawancarai secara acak orang yang lewat di jalanan ibu kota Jakarta
beberapa hari yang lalu. Memang sebagian ada yang pernah mendengar tentang hari
batik nasional tapi diantara mereka banyak yang tidak tahu tanggal berapa
tepatnya hari batik diperingati dan kepada sebagian kecil yang tahu tanggal
peringatannya hanya sebagian kecil saja yang mengetahui sejarah penetapan
tanggal peringatan bari batik nasional tersebut. Ada apa dengan hari batik!?
Kenapa gaungnya tidak sampai ke akar rumput yang notabene adalah roh dari keberlangsungan dari perjalanan siklus
batik? Atau jangan-jangan tabiat umum masyarakat kita yang begitu mudah lupa
dan melupakan sudah kambuh lagi, sehingga lupa dengan euforia lima tahun silam ketika Batik diakui oleh UNESCO sebagai
warisan budaya dunia bukan benda (Intangible
Cultural Heritage) asli dari Indonesia!?
Ada yang berpendapat tak
apalah kalau sekedar lupa acara seremonial, asal tidak melupakan spirit yang
terkandung dalam hari yang sangat bersejarah bagi perjalanan peradaban budaya bangsa
Indonesia itu. Mungkin ada benarnya, sepertinya kita tidak perlu terlalu
terjebak dalam polemik urgensi sebuah seremonial. Mungkin akan lebih bijak bila
kita secara kontinyu terus bergerak dan berinovasi untuk tetap menjaga denyut
keberlangsungan dunia pe-batikan sesuai dengan latar belakang dan kemampuan
kita masing-masing. Sebagai contoh ada beberapa langkah apresiatif anak bangsa terhadap batik yang mulai terlihat, seperti perusahaan penerbangan
Lion Air yang mendirikan anak perusahaan yang juga bergerak dibidang
penerbangan yang diberi nama ”batik air” dengan segala motif batik yang
menghiasi badan armada pesawatnya, grup
band J-Rock juga sering memamaki batik modifikasi untuk kostum panggungnya,
musisi Piyu gitaris band Padi yang menghiasi sekujur mobil mewahnya dengan
motif batik yang eksotis, beberapa klub sepakbola Indonesia seperti Sriwidjaya
FC dari Palembang Sumatera Selatan dan Mitra Kukar, Tenggarong Kutai
Kertanegara Kalimantan Timur juga memasang ornamen batik khas daerah
masing-masing pada sebagian jersey
resmi mereka, terbaru banyak perusahaan swasta dan komunitas anak muda yang
menempelkan logo komunitasnya dalam rangkaian motif batik sebagai seragam dan
identitas komunitasnya. Diantaranya komunitas fans dari klub sepakbola
Barcelona FC Indonesia, Manchester City Indonesia, dll. Ini lompatan besar bagi sejarah
perkembangan batik di Indonesia. Batik yang dulunya sangat segmented dan identik dengan kain yang mahal, jadul, tua atau
dianggap tua, sekarang lebih terbuka, fleksibel dan bisa di aplikasikan tidak
hanya pada selembar kain.
Jumat, 2 Oktober 2009,
Batik Indonesia mendapatkan pengakuan dunia melalui UNESCO (United Nation Educational Scientific and Cultural Organization)
sebagai warisan budaya dunia bukan benda (Intangible
Cultural Heritage) asli dari Indonesia. Sebelumnya bangsa Indonesia
mendapatkan sertifikat pengakuan yang sama untuk wayang (2003) dan keris (2005).
Sambutan masyarakat terhadap moment
bersejarah ini terasa lebih emosional dan apresiatif bila dibandingkan moment yang sama untuk wayang dan keris
beberapa tahun silam. Situasi ini sangat wajar, karena pengakuan dari badan
dunia yang membidangi masalah pendidikan dan kebudayaan ini tidak berselang
lama dari insiden ”pengakuan (claim)”
negeri jiran Malaysia atas batik dan otomatis pengakuan ini mematahkan klaim
Malaysia tersebut. Disamping itu, masyarakat sepertinya semakin menyadari
betapa tingginya nilai seni budaya dan potensi ekonomi batik dimata dunia
internasional dan bila dibandingkan dengan dua saudara tuanya, wayang dan
keris, batik lebih familiar dan lebih
dekat secara emosional karena lebih sering bersentuhan secara langsung
dengannya. Hal ini sangat wajar mengingat batik secara turun-temurun sejak
ratusan tahun silam memang telah menjadi media apresiasi dan sumber ekonomi bagi
jutan rakyat Indonesia. Dalam konvensi UNESCO tahun 2003, Intangible Cultural Heritage of Humannity dirumuskan sebagai
praktik, representasi, ekspresi, pengetahuan dan keterampilan yang diakui
secara individual dan komunal sebagai bagian dari warisan budayanya. Artinya,
seperti batik yang secara turun temurun diwariskan dari generasi ke generasi,
secara kontinyu diperbaharui baik secara komunal maupun individual sebagai refleksi
dari perjalanan dan perubahan yang terjadi pada diri dan lingkungan sekitarnya
yang pada gilirannya akan menjadi identitas komunal secara utuh dan
berkesinambungan. Secara de facto, batik
memang telah diakui dunia sebagai warisan budaya asli Indonesia, pesan tersirat
dari pengakuan ini adalah tanggung jawab moral bangsa ini sebagai pemilik untuk
terus menjaga, melindungi, melestarikan dan mengembangkannya secara maksimal
dan terkontrol. Pesan tersirat tersebut harus sesegera mungkin diterjemahkan
dengan tindakan riil dilapangan oleh semua pihak yang berkaitan (terutama pemerintah
sebagai pemegang dan pengendali regulasi formal), karena secara riil de jure batik masih punya potensi besar
menimbulkan silang sengketa tidak hanya level antar negara tapi antar sesama
perajin pun masih terbuka lebar. Dari yang relatif sederhana, untuk mendefinisikan
istilah batik secara baku saja, sampai sekarang masih terkesan alot dan belum
benar-benar fix (sampai sekarang masih mengacu pada proses membatik-nya batik Jawa kebanyakan),
karena pengertian dan pengartian istilah batik (seperti halnya istilah dalam
sosial budaya lainnya), sangat tergantung pada interpretasi masing-masing individu dan kelompok,
sementara interpretasi individu dan komunal sangat tergantung dari latar
belakang budaya, sosial, ekonomi bahkan motif kepentingan-pun bisa juga berpengaruh,
efek dari masih biasnya pengertian batik nampak pada proses
identifikasi/peng-kategorian batik. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI),
batik diartikan sebagai kain bergambar yang pembuatannya secara khusus dengan
menuliskan atau menerakan malam pada kain, kemudian pengolahannya melalui
proses tertentu. Sementara itu dalam
Peraturan Menteri Perindustrian No. 74/M-Ind/Per/9/2007 tentang
Batikmark Batik Indonesia, batik diartikan sebagai tekstil hasil pewarnaan
secara perintangan menggunakan lilin batik sebagai zat perintang, berupa batik
tulis, batik cap, atau batik kombinasi dan cap. Berangkat dari dua definisi
diatas, pendefinisian batik sepertinya lebih didasarkan pada tataran proses,
konsekuensinya produk lain yang prosesnya tidak mengacu pada prosesi diatas
berarti bukan batik, padahal di masyarakat (Jawa) sendiri juga ada produk
ornamental yang selama ini juga dianggap dan disebut dengan batik, walaupun
secara proses memang berbeda dengan batik! Semisal, Batik Jumputan yang
prosesnya pembuatannya mirip dengan kain khas banua ”Sasirangan”. Meski bukan
hal yang urgent hal ini juga harus mendapat solusi dan
apresiasi! Secara prinsip sesuai
kodratnya, sebagai bagian dari disiplin ilmu sosial baik dalam tataran culture mindset maupun fisik (motif,
kegunaan dan produksi) batik pasti akan selalu berubah, berkembang dan ber-evolusi mencari format paling ideal sesuai ruang dan waktu yang
ditempatinya. Ini sebuah keniscayaan yang pasti terjadi dan tidak mungkin
dipungkiri.
Meminjam komentar Iwan Tirta (perancang busana dan pakar batik nasional)
definisi batik harus didapatkan melalui diskusi terarah yang melibatkan semua
elemen yang berkaitan, karena dengan definisi batik yang baku akan meningkatkan
rasa percaya diri, memupus kerancuan dalam memandang dan memahami batik
sekaligus sebagai senjata untuk menghadapi klaim pihak luar.
Memang benar, karena kelalaian dan ketidakpahaman
kita pada filosofi dasar batik (dan berbagai warisan luhur budaya bangsa
lainnya) telah menjadikan batik hanya sebatas simbol yang hanya bisa dipandang
dan dibangga-banggakan saja, tidak ada upaya berkelanjutan yang konsisten untuk
mengenal, menggali dan memanfaatkannya semaksimal mungkin sebagai identitas dan
jatidiri budaya bangsa yang luhur. Kita seperti enggan dan tidak percaya diri
tampil dengan identitas dan jatidiri bangsa kita sendiri, batik. Sampai disini, logika kita berbanding terbalik
dengan Malaysia. Malaysia secara ekonomi dan teknologi jelas boleh berbangga
tapi kenyataannya bermasalah juga, karena tidak mempunyai identitas dan
jatidiri bangsa sebagai pegangan sehingga berusaha mengklaim sana-sini. Ingat,
sebuah bangsa akan menjadi besar dan bermartabat bila memiliki identitas dan
jatidiri yang kuat.
Sebagai tindakan
strategis dan aplikatif, sebagai tanggung jawab moral sekaligus menjawab pesan
tersirat atas pengakuan UNESCO pada batik sebagai warisan budaya dunia bukan
benda. Langkah pertama yang harus dilakukan adalah mematenkan semua obyek
produk seni dan budaya kita (dengan skala prioritas tentunya) ke lembaga hak
paten internasional dengan begitu kekayaan dan keluhuran budaya bangsa ini
tetap aman terjaga dan terbebas dari berbagai upaya pengakuan dari pihak
manapun. Agenda selanjutnya adalah memasyarakatkan kembali arti penting Hak
Kekayaan Atas Intelektual (HAKI) dan Hak Cipta kepada semua pihak yang
berkepentingan, kalau diperlukan prosedur pengurusannya harus dibenahi,
diperjelas dan dipertegas agar sistem yang berjalan mengacu pada produktivitas
yang efektif dan efisien. Dalam UU No. 19 tahun 2003 tentang Hak Cipta, sebenarnya
pemerintah menjamin perlindungan hak kekayaan intelektual komunal maupun
personal. Daerah diberi kebebasan mendaftarkan agar mendapat perlindungan
sebagai kekayaan budaya bangsa. Disini peran pemerintah memang dituntut lebih
bijak, riil dan praktis. Sayangnya, catatan dari beberapa pihak (dan ini sudah
menjadi rahasia umum) menyebutkan, jaminan perlindungan yang dijanjikan lewat Undang-undang
selama ini masih sebatas retorika semata, aplikasi dilapangan masih nihil.
Sebagai contoh, perajin batik di Pekalongan dan mungkin juga dialami oleh semua
perajin di seluruh pelosok tanah air yang rata-rata adalah industri kelas
menengah kebawah, dimana untuk pengurusan hak paten 1 (satu) motif batik konon dikenakan
tarif Enam juta rupiah itupun tidak berlaku selamanya, karena tiap tiga bulan
harus registrasi atau daftar ulang dan itu pasti perlu biaya lagi (Kompas,4
Oktober 2009). Coba dikalkulasi, seandainya dalam satu bulan para perajin
kreatif bisa menggubah 10 (sepuluh) motif batik, bisa dibayangkan berapa biaya
yang harus dikeluarkan untuk mengurus hak paten saja! Kondisi ini jelas
membebani perajin, karena pasti akan menambah HPP (Harga Pokok Produksi) dan
itu pasti menaikkan harga jual atau memangkas margin keuntungan yang didapat.
Situasi ini sangat berbahaya, cepat atau lambat pasti akan memasung kreatifitas
perajin dan pada gilirannya bukan tidak mungkin usaha mereka akan mati total
akibat regulasi yang tidak populis itu. Lebih parah dan celaka lagi, yang terjadi
pada Pemprov DI Jogjakarta dan Bali yang
berusaha melaksanakan amanat Undang-undang Hak Cipta dimaksud, alih-alih
masalah terselesaikan dengan cepat dan tuntas, ternyata justeru menambah
masalah baru karena hasilnya tidak jelas juntrungannya (Kompas,4 Oktober 2009).
Selain itu serbuan kain bermotif batik dari luar negeri yang belakangan
membanjiri pasar juga menimbulkan permasalahan baru yang juga belum
terselesaikan dengan bijak, regulasi dan kesigapan pihak berwenang untuk
masalah ini juga masih abu-abu. Sungguh, semua permasalahan ini adalah ironi
yang secara nyata bertentangan dengan semangat untuk menjaga, melindungi,
melestarikan dan mengembangkan batik sebagai pusaka warisan bangsa!. Ini adalah
masalah yang harus segera mendapatkan solusi, karena masalah ini sudah
berlarut-larut terlalu lama dan pasti akan merusak iklim kondusif dan produktivitas
tidak hanya para perajin dilapangan tapi semua pelaku industri batik dari hulu
sampai hilir bahkan konsumen, pasti akan terkena imbasnya. Apalagi polemik
seputar batik pasti tidak akan berhenti sampai disini saja, masih banyak
masalah terkait lainnya yang menunggu niat bijak pemerintah untuk membantu
penyelesaiannya. Kalau memang semuanya bisa dipermudah kenapa harus dipersulit!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar