“Kalimantan!”
Kedua kata itu,
sebelumnya tidak pernah terlintas sedikitpun dalam angan-anganku sampai tadi
pagi jam 08.47 WIB.
“Hilal, ini SK promosimu
dan ticket pesawat Surabaya-Banjarmasin berangkat lusa! Ada pertanyaan!? Pak
Eka, HR&GA General Manager di kantorku pagi-pagi membawa kabar yang
sangat mengejutkanku, sesaat setelah aku meletakkan pantatku di kursi yang ada
di hadapannya.
“Uang saku, plus
uang untuk segala keperluan yang berkaitan dengan promosimu ke Banjarmasin akan
ditransfer ke rekening setelah kamu menandatangani berkas-berkas ini! Silakan
dibaca dan kalau ada yang kurang jelas, Tanyakan!” Kata Pak Eka, sambil menyerahkan
beberapa lembar kertas yang di ujung atasnya terdapat kop surat bertuliskan PT.
KARTIKA SEGARA ARTHA, perusahaan tempatku bekerja.
“Maksudnya pak?” aku
balik bertanya pada Pak Eka
“Intinya, per-tanggal 1
besok, kamu di mutasi sekaligus promosi ke Banjarmasin, Kalimantan Selatan
untuk menempati jabatan baru sebagai Regional Office Manager Pulau
Kalimantan!” Jawab Manajer muda yang sangat dekat dan akrab dengan semua
karyawan itu.
“Bagaimana Hilal, ada
pertanyaan atau pernyataan!?” Pak Eka melanjutkan pertanyaannya yang membuatku
semakin panik. Jujur, saat ini aku merasakan kebahagiaan yang luar biasa.
Loyalitas dan dedikasiku terhadap pekerjaan di bayar lunas oleh perusahaan. Aku
diangkat sebagai Regional Office Manager Kalimantan, sebuah prestasi
luar biasa untuk ukuran karyawan seusiaku! Hanya saja, aku masih merasa gamang
kalau harus berkelana sampai ke Banjarmasin. Selain masih asing dan jauh,
bagiku berbagai peristiwa konflik antar suku yang sering terjadi di sana masih
membuatku bergidik kalau membayangkannya……
“Menurutku, selagi kamu
masih bujang, sendirian! Ambil kesempatan luar biasa ini! Ini kesempatan besar
untuk hidup dan kehidupanmu ke depan!...... Kamu tentu masih ingat dengan
hijrah Rasulullah dari Makkah ke Madinah untuk menyelamatkan aqidah umat saat
itu…!?” Belum sempat aku menjawab berbagai pertanyaan Pak Eka terdahulu,
asupan advice Pak Eka sudah mulai mengaduk-aduk logikaku.
“Maaf relevansinya apa
ya pak, antara hijrah Rasulullah dengan wacana mutasi saya ini!?” Tanyaku polos
kepada Pak Eka yang sedari tadi sepertinya ingin membujukku habis-habisan agar
mau ber-hijrah ke Kalimantan.
“Hilal! Aku melihat
potensi besar dalam dirimu yang tidak akan bisa kamu munculkan jika kamu hanya
berkutat dalam zona nyamanmu di sini, di kantor ini! Dan…. saya kira ini
relevan dengan hijrahnya Rasulullah, mungkin seandainya Rasulullah dulu tidak
hijrah ke Madinah mungkin cahaya kebesaran Islam tidak akan nampak seperti
sekarang…….” Pak Eka kembali memberikan argument yang menurutku cukup brilliant
untuk meluluhkan hatiku.
“Manfaatkan masa mudamu
untuk berhijrah kemanapun yang kamu anggap memberikan manfaat terbaik untuk
hidupmu! Dengan berhijrah, InshaAllah caramu memandang dan memperlakukan dunia
bisa lebih lengkap dan bijaksana. Itu yang akan membawamu kejalur kesuksesan
dunia dan akhirat!” Sekali lagi mental, spiritual dan logika akalku diaduk-aduk
dengan cara yang brilliant oleh salah satu master trainer hebat
di kantorku itu. Untuk yang terakhir ini rasanya aku tidak bisa lagi berkutik.
Rasanya tidak ada lagi alasan kuat bagiku untuk menolak tawaran mutasi
sekaligus promosi itu.
“Perhatian, perhatian!
Dalam waktu sepuluh menit lagi pesawat akan mendarat di Bandara Syamsudin Noor,
Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Ada perbedaan waktu satu jam antara Surabaya
dengan Banjarmasin. Semua penumpang diminta untuk tetap tenang, tetap duduk di
kursi masing-masing, tegakkan sandaran dan tetap mengenakan sabuk pengaman,
terima kasih.” Terdengar suara pramugari memberi penjelasan dari speaker
yang membuat jantungku berdegup semakin kencang karena sebentar lagi aku akan
memulai hidup baru, menginjakkan kaki dan menghirup udara segar dari pulau
terbesar di nusantara yang disebut-sebut sebagai paru-paru dunia tersebut.
Memang sejak aku
menerima tawaran mutasi ke Banjarmasin, hari-hariku lebih banyak kupakai untuk browsing
tentang segala hal yang berkaitan dengan kota “Seribu Sungai” tersebut. Mulai
dari budaya, wisata, kuliner sampai kondisi geografis, demografi bahkan potensi
ekonominya juga tak luput dari perhatianku. Aku tertarik satu artikel yang
ditulis oleh bos PARA Grup, Chairul Tanjung yang mengatakan bahwa pulau
Kalimantan adalah Pulau Masa depan bagi bangsa dan Negara Indonesia, benarkah?
Mungkin, ini ada benang merahnya dengan wacana Bung Karno yang jauh-jauh hari,
sudah memberi isyarat akan kemungkinan Kota Palangkaraya, Ibu kota Kalimantan
Tengah menjadi ibu kota Negara Indonesia suatu saat nanti. Konon letak Kota
Palangkaraya tepat di tengah-tengah Kepulauan Nusantara.
“…Aaaaaghh lega rasanya!
Akhirnya, sepasang kakiku sukses juga menginjak tanah Kalimantan, tanah
seberang yang konon menyimpan sejuta exotism yang masih banyak
terselimuti oleh tebalnya kabut misteri!” Batinku dalam hati.
Jam di tanganku
menunjukkan pukul 08.35, berarti di
sini, di Banjarmasin sudah pukul 09.35 WITA. Aku segera bergegas keluar area
ruang pengambilan bagasi yang menyatu dengan ruang kedatangan penumpang. Aku
sengaja belum membawa semua ”perabotan-ku” pada
penerbangan pertamaku ke Banjarmasin kali ini. “Melihat sikon dulu…..”.
Seperti layaknya
bandara-bandara lain di Indonesia, di pintu keluar banyak armada taxi argo
warna biru langit yang antri menunggu penumpang. Tetapi ada yang unik dan
berbeda disini! Setelah kuperhatikan, nama-nama armada taksi argo disini tidak
satupun yang aku kenali artinya. Sepertinya semua memakai bahasa lokal, Bahasa
Banjar, seperti Taksi Banua, Taksi Saurang, Taksi Bujur, Taksi
Bungas dan sebagainya. “Hmmmmm…..! Menarik! Cara yang cerdas dan jitu untuk
melestarikan bahasa daerah”. Pikirku, sambil berdecak kagum.
Di sebelah kanan area
parkir atau di samping pintu masuk area parkir bandara, aku melihat satu area rest
& relax yang lebih mirip dengan area bazar kuliner dan souvenir
khas masyarakat Banjar. Dari backdrop besar yang terpampang ada Soto
Banjar, Katupat Kandangan, Laksa Banjar, Nasi Kuning, Sate Itik Gambut, Haruan
Papuyu masak Habang, Iwak baubar, Gangan Asam dan berbagai wadai
khas Banjar yang terkenal legit di lidah seperti wadai lam, bingka berendam,
klelepon buntut dan lain-lain. Sekali lagi, di tempat ini aku menemukan
hal-hal unik yang tidak aku temukan ditempat lain. Seperti halnya nama taksi,
disini nama stand penjual kuliner maupun souvenir semuanya
memakai bahasa Banjar. Salah satu yang menarik perhatianku adalah stand
kuliner masakan Banjar yang bernama “karindangan”. Aku jadi teringat
salah satu lagu campursari milik Didi Kempot yang berjudul sama, “karindangan”
yang kalau tidak salah bercerita tentang kisah-kasih pemuda dari Jawa dengan
pemudi asli Kalimantan…..hmmmmm romantis! Setelah kutanyakan pada pemiliknya,
ternyata karindangan itu artinya kangen dan ternyata benar, rasa soto
banjar disini memang bikin kangen siapapun yang pernah merasakannya….!
Maknyussssss! Setelah menuntaskan hajat dengan melahap satu porsi Soto Banjar plus
segelas besar teh manis hangat, aku langsung bergegas menuju kasir untuk membayar semua pesananku
tadi. Ketika aku akan meninggalkan kasir, tiba-tiba kasir mengucapkan satu
kalimat dalam bahasa Banjar yang kurang begitu jelas di telingaku, sampai
membuatku terbengong-bengong dibuatnya. Karena penasaran, aku berbalik lagi….
“ Ya mbak….?” Tanyaku
kepada mbak kasir yang berseragam sasirangan ungu cerah itu.
“ Jual seadanya pak”,
kata si mbak kasir mengulangi kalimat yang tadi diucapkannya.
“ Jual seadanya?
Maksudnya mbak?” Tanyaku lagi pada si mbak kasir semakin penasaran.
“Maksudnya, saya minta
ikhlas dan minta ridho atas transaksi jual
beli yang kita lakukan tadi mas…eh…pak!” Sambil tersenyum, si mbak kasir
memeberiku sedikit penjelasan dengan logat banjar yang relative cepat, sehingga
terdengar unik di telingaku.
“Oooooooo ! Terima kasih
ya mbak!” jawabku sambil mengangguk-anggukkan kepala. Tanda sudah paham dengan
penjelasan si mbak kasir? Bukan! Aku benar-benar tidak paham maksud ucapan si
mbak kasir tadi.
“Apa ya maksud si mbak kasir mengucapkan kalimat tadi itu?”
Sambil berjalan, aku terus berusaha menerka-nerka maksud ucapan si mbak kasir
tadi
Karena semakin penasaran
aku mencoba membandingkan, dengan masuk ke stand yang menjual souvenir
khas Banjar. Aku pilih stand yang bernama “takurihing art shop” . Aku
tertarik pada sebuah alat musik mirip gitar gambus berdawai 4 tapi berukuran
lebih kecil.
“Lumayan untuk hiburan
…”, pikirku, karena kebetulan gitar kesayanganku tidak termasuk dalam list
bawaan trip pertama penerbangan ke Banjarmasin.
Menurut SPG yang
berjaga, alat musik tradisonal khas Suku Banjar ini biasanya dimainkan
secara lengkap dengan instrument lain seperti biola, babun, gong dan
seruling bambu, tapi sekarang ada yang sudah memodifikasi dengan menambahkan instrument
baru, seperti gitar accoustic/elektric, gitar bass bahkan
seperangkat bedug Inggris alias drum layaknya sebuah band. Harmonisasi
indah yang tercipta didalamnya biasa disebut dengan musik panting. Akhirnya
orang menyebut instrument utama yang mirip gitar gambus itu dengan
sebutan gitar panting yang artinya dalam bahasa Indonesia adalah petik atau dipetik.
“Baru saja aku menyadari,
Indonesia memang kaya dengan tradisi dan budaya eksotis. Kalau begini, rasanya
bakalan betah aku tinggal di Banjarmasin!” Sambil tersenyum sendiri aku
berusaha terus membangun keyakinan atas pilihanku, hijrah ke Banjarmasin.
Setelah mendapat tutorial
singkat cara memainkan gitar panting dan kurasa cocok dengan harga
yang ditawarkan, aku langsung menuju kasir untuk membayar alat musik yang akan
menemaniku selama aku berada di Banjarmasin itu. Setelah selesai membayar, aku
sengaja tidak langsung pergi. Kali ini aku menunggu sampai semuanya benar-benar
selesai. Aku menunggu ucapan kasir seperti di kasir stand kuliner tadi. Benar
juga, setelah menyerahkan uang kembalian si mbak kasir mengucapkan “ Terima
kasih, atas kunjungannya! Dijual seadanya ya pak! Berelaan”. Untuk kali ini aku
berhasil merekam dengan jelas ucapan si mbak kasir. Tapi tetap saja, aku masih
tidak mengerti apa maksudnya.
Sepertinya si mbak kasir
membaca raut mukaku yang penuh tanda tanya, tidak mengerti dan penasaran.
“Maaf, ada yang bisa
dibantu pak!?” Tanya si mbak kasir sambil tersenyum manis kepadaku.
“ Eh…nggak mbak, terima
kasih!” Jawabku singkat sambil meninggalkan si mbak kasir yang terlihat agak
bingung.
Keluar dari area kuliner
dan souvenir aku bergegas keluar area parkir bandara. Seperti dugaanku
semula, Bandara Syamsudin Noor memang
tidak terlalu besar, karena begitu keluar area parkir aku langsung menemukan
rumah-rumah penduduk yang berdampingan dengan mess dan perkantoran TNI AU. Aku
mencoba menyusuri akses jalan beraspal di depan Bandara yang kiri kanannya
berjejalan kios, warung makan, toko, minimarket dan hotel serta penginapan itu.
Iseng mencari jawaban atas rasa penasaranku, aku berniat untuk bertransaksi di
warung dan minimarket atau toko-toko kecil yang ada di situ. “Sekalian
melengkapi barang-barang kebutuhan sehari-hari”, pikirku.
Aku memasuki sebuah mini
market yang kebetulan pagi itu terlihat masih sepi, setelah memilih beberapa
barang yang aku perlukan, aku langsung menuju kasir. Seorang ibu-ibu setengah
baya dengan hijjjab coklat yang menurut perkiraanku adalah pemilik
minimarket tersebut, tampak duduk di meja kasir.
“Pagi mas…!” Sapa si Ibu
menyapaku duluan. Dari logat bicaranya sepertinya si ibu ini bukan penduduk
asli, sepertinya pendatang dari Jawa,
sepertiku.
“Pagi ibu….!” Jawabku
singkat sambil tersenyum ke si ibu.
“Ada lagi maaas…!? Tanya
si ibu kepadaku dengan logat jawanya yang semakin medok
“Ooooh sudah ibu!”
Jawabku pada si ibu sambil menyerahkan uang pembayaranku.
Benar saja dugaanku
setelah ngobrol sebentar dan mengetahui aku pendatang dari Jawa yang baru
pindah, akhirnya kami saling memperkenalkan diri. Ibu Suminah namanya, asli
dari Magetan, Jawa Timur dan sudah puluhan tahun menetap di Banjarbaru, saudara
muda dari Kota Madya Banjarmasin.
Bandara Syamsudin Noor,
sebenarnya tidak terletak di Kota Banjarmasin, tapi secara administrasi
terletak di Kota Madya Banjarbaru. Posisinya tepat di tengah-tengah antara Kota
Banjarmasin dan Kota Banjarbaru. Sekitar 30 menit perjalanan atau berjarak
sekitar 23 km dari pusat kota Banjarmasin.
Tidak terlalu lama
bagiku untuk menunggu moment yang aku tunggu-tunggu. Setelah menyerahkan
kembalian, ibu Suminah mengucapkan “Jual ya mas!”
“Iya bu sama-sama” Jawabku sekenanya.
“Bukan begitu mas
menjawabnya! Harusnya tukar atau tukar seadanya! Ditambah dengan berelaan
bagus lagi!” Kata bu Suminah memberi penjelasan.
“Maksudnya apa ya bu
kalimat-kalimat itu tadi? Terus terang saya penasaran, karena dari tadi setiap
selesai membayar, semua pasti mengucapkan kalimat yang kurang lebih sama dengan
yang ibu ucapkan tadi!?” Tanyaku pada Ibu Suminah yang terus mengumbar senyum
kegelian mendengar pertanyaan polosku.
“Jadi begini mas Hilal,
dari yang saya ketahui sebenarnya yang saya ucapkan tadi itu bagian dari rukun
jual beli seperti yang disyariatkan dalam Agama Islam…! Dan di sini, di
Banjarmasin dan Kalimantan Selatan bahkan mungkin dimana saja tempat orang
Banjar berada, itu sudah menjadi tradisi atau budaya yang melekat. Sepertinya
ini sudah menjadi ciri khas dan identitas suku Banjar!” Ibu Suminah menjelaskan
lebih detail mengenai semua yang dari tadi membuatku penasaran.
“InshaAllah bertansaksi
dimanapun, di pasar, kios, warung, toko, minimarket bahkan supermarket sekalipun mas Hilal pasti akan
menemukan itu.”
“MashaAllah…!!!.Jadi itu
ya maksudnya! Berkah banget ya bu jadinya!” Aku mencoba mengurai ujung dari
simpul yang mulai terbuka pesan dan maknanya. Aku benar-benar dibuat
terkagum-kagum oleh sebuah kearifan lokal yang bersumber dari syariat Islam
tersebut. Mungkin terlihat sederhana bahkan sepele tapi dibalik itu semua
membawa harapan keberkahan yang begitu nyata. Luar biasa!
“InshaAllah, Mas
Hilal….! Bukankah itu yang kita cari dalam kehidupan ini! Hidup yang penuh
keberkahan dari Yang Maha Memiliki hidup, Allah SWT” Jawab ibu Suminah.
“InshaAllah, Ibu….”
Jawabku pelan penuh arti.
Setelah saling bertukar
kartu nama, akhirnya aku mengucapkan salam sekaligus pamitan kepada Ibu
Suminah.
Baru beberapa langkah
meninggalkan meja kasir Ibu Suminah, tiba-tiba handphone-ku berbunyi,
dilayar muncul sebaris nomor telepon asing yang tidak aku kenal
“Halo!?” Jawabku sambil
mengaktifkan perangkat headset-ku
“Selamat pagi Pak! Maaf
pak, ulun Khairul. Driver dari kantor! Tadi ulun disuruh
jemput pian di Bandara, tapi ban mobil tadi sempat bocor di jalan
jadinya ulun terlambat……! Jawab seseorang dari seberang dengan logat
banjar-nya yang cepat.
“Oooo gitu, nggak papa
Pak Khairul….. Lagian saya sudah pesan taksi kok!. Jadi ga usah dijemput Pak!”
Jawabku .
“Tapi pak, ulun
ni sudah di bandara! Pian ada dimana?” Jawabnya lagi, dengan logat
banjar yang semakin cepat
“Saya lagi belanja di
minimarket dekat pintu keluar bandara pak!” Jawabku sambil mencari-cari kalau
saja si Pak Khairul ada didekat-dekat sini.
“Baik Pak!, pian
tunggu ja disitu, biar ulun yang ke wadah pian !” Jawab
Pak Khairul lagi dari seberang sana.
Tidak berapa lama muncul
Pak Khairul, dengan senyuman ramah khas seorang bapak yang lama tidak bertemu
dengan anaknya. Setelah bersalaman dan saling memperkenalkan diri, kami ngobrol
sebentar. Akhirnya kami putuskan, aku tetap naik taksi dan Pak Khairul akan
mengiringi dari belakang.
Keluar dari bandara kami
menyusuri jalanan beraspal hotmix yang menurut sopir taksi bernama Jalan
Ahmad Yani. Satu-satunya jalan lintas Kalimantan yang menghubungkan 5 Propinsi
di Pulau Kalimantan. Akhirnya, di sebuah kios kaki lima di pinggir jalan Ahmad
Yani inilah, aku menuntaskan semua rasa penasaranku. Sekali lagi aku
membuktikan indah dan nikmatnya menyatu dengan kearifan lokal yang terlihat
begitu sederhana tapi membawa kedamaian dan ketenangan yang luar biasa. Sebuah
jalan keberkahan yang diajarkan Rasulullah dan dihidupkan terus oleh saudara kita
suku Banjar di Kalimantan Selatan. “Jual-tukar! Banjarmasin, Aku datang!”.
Keterangan Bahasa Banjar
:
Banua : Kampung
Saurang : Sendiri
Bujur : Benar
Bungas : Cantik
Karindangan : Kangen
Sasirangan : Kain
khas Banjar
Takurihing : Tersenyum
nyengir
Tukar : Beli
Pian : Anda (untuk orang yang di hormati)
Berelaan : Minta
kerelaan
Wadah : Tempat
NB : Segera terbit dalam "Antologi Cerpen Nuansa Kearifan Lokal" penerbit FAM Publishing