Selasa, 16 September 2014

Ternyata, Cinta Tidak Buta (Warna)!*

“Mang…mang! Koran BPost-nya masih ada?!” Tanyaku pada amang si tukang koran yang biasa lewat di depan rumahku tiap pagi. Koran BPost adalah singkatan dari Banjarmasin Post, koran paling terkenal di kotaku Banjarmasin, Kalimantan Selatan.

“Alhamdulillah…! BPost-nya masih ada ding, tinggal sabuting ja nah…..tahu, payu banar baisukan ni….. 
“Alhamdulillah…masih kebagian!” jawabku sambil menyerahkan selembar lima ribuan kepada si amang. 
 “Angsulannya ambil ja mangai! Bisikku pada si amang sambil berlari menuju teras rumah. Sudah tidak sabar rasanya untuk membuka koran pagi yang kehadirannya sudah kunantikan dengan harap-harap cemas selama hampir sebulan terakhir ini…… Sudah kuduga, headline berita hari ini pasti tidak jauh dari tema SMPTN atau Seleksi Masuk Perguruan Tinggi Negeri yang hari ini serentak diumumkan secara nasional.
Setelah kubentangkan di lantai, satu demi satu halaman kubuka dan kucermati untuk mencari kolom Fakultas Kedokteran, Universitas Lambung Mangkurat, fakultas pilihan pertama sekaligus impianku sejak kecil. Akhirnya di halaman 12 aku temukan apa yang aku cari… 
“Disini rupanya yang aku cari…” gumamku dalam hati. Dengan jari telunjukku aku mencoba mencari namaku diantara ratusan nama yang tercantum di kolom itu. Jantungku seperti berhenti berdetak ketika jari tanganku terhenti di nomor urut 20, dengan nomor 95.442277.001001 disitu tertera dengan jelas nama lengkapku “Bintang Kesiji Waela”. Refleks, aku langsung bersujud diatas lembaran Koran yang telah memuat namaku itu.
“Alhamdulillaaaaaah, terima kasih ya Allaaaaaaaaah” rintihku pelan. Tanpa sadar air mata bangga dan bahagia turut mengalir membasahi pipiku dan akhirnya terjatuh membasahi lembaran-lembaran koran yang menjadi alas sujudku. Saat ini aku merasakan kebanggaan dan kebahagiaan yang sangat luar biasa, aku merasa menjadi manusia yang paling berbahagia di kolong langit. Untuk sekian waktu aku seperti terhanyut dalam suasana haru bahagia yang selama ini belum pernah kurasakan sebelumnya. Tiada henti bibirku mengucapkan kalimat-kalimat syukur kepada Rabb Maha Agung yang telah menuliskan takdir hidupku di Lauh Mahfudz sesuai dengan apa yang menjadi cita-cita dan mimpiku sejak masih kecil, yaitu menjadi seorang dokter. 
“Oh iya…!Layla diterima nggak ya…?” Aku terperanjat ketika teringat nama Layla. “Layla Rahma Intifada” namanya, dia bungsu dari empat bersaudara putri dari Om Farid mantan komandan abah waktu sama-sama bertugas di Timor-Timur dulu. Sejak kecil kami sudah saling dikenalkan dan dijodohkan satu sama lain. Walaupun awalnya kami tidak mengerti dan memahami ikatan perjodohan itu tapi seiring perjalanan waktu, akhirnya kami menerimanya.
Layla tinggal di Kota Tanjung, kota penghasil minyak bumi yang berada di Kabupaten Tabalong, kabupaten terkaya di Kalimantan Selatan, Sedang kami sekeluarga tinggal di Kota Banjarmasin, kota yang dikenal dengan julukan Kota Seribu Sungai. Meskipun kami sama-sama tinggal di Kalimantan Selatan. Kami tidak bisa sering-sering bertemu untuk bertaaruf, karena bentangan jarak Kota Banjarmasin dengan Kota Tanjung lumayan jauh, sektar 240 km yang bisa ditempuh dengan perjalanan darat, kurang lebih sekitar 6-7 jam perjalanan. 
Ketiga kakak Layla semuanya berprofesi sebagai dokter, uniknya ketiganya adalah perempuan semua dan masing-masing bersuamikan seorang dokter juga. Karenanya, kami biasa menyebut keluarga Om Farid dengan sebutan “keluarga eksak” saduran dari bahasa inggris exact. Mungkin suatu saat, seandainya Layla benar-benar berjodoh denganku rasanya layak tuh keluarga kami mendapatkan penghargaan dari Musium Rekor Indonesia, sebagai keluarga dengan profesi dokter terbanyak dalam satu keluarga.
Telunjuk tangan kananku melanjutkan tugasnya, merunut daftar nama yang ada di dalam kolom Fakultas Kedokteran. Tidak berapa lama, tepat di urutan ke 35 aku menemukan nama “Layla Rahma Intifada” tertera di situ. Sekali lagi aku tidak bisa menahan diriku untuk bersujud syukur kepada Allah SWT untuk kedua kalinya. Bahkan tangisan haruku kali ini telah berubah menjadi isakan kebahagiaan yang tidak bisa terlukiskan dengan apapun, sekilas wajah anggun Layla dengan senyum hangatnya berkelebat dimataku. 
“Alhamdulillaaaaaaaah! Terima kasih ya Allah atas semua karunia yang begitu indah ini….!” Ucapku lirih sambil tetap bersujud kepada-Nya. Besar memang harapan kami untuk bisa sama-sama diterima di FK, dengan begitu proses taaruf diantara kami Inshaallah akan semakin berkualitas. 
Sudah beberapa hari ini, langit Kota Banjarmasin dihiasi mendung temaram yang sesekali ditingkahi dengan turunnya hujan. Ada yang unik di kota ini, hujan bisa turun tiba-tiba tanpa diawali dengan munculnya gumpalan awan. Entahlah, apa yang sebenarnya telah terjadi dengan iklim Kalimantan, khususnya Kota Banjarmasin saat ini. Dibilang musim kemarau, eeeee…hh turun hujan! Begitu juga sebaliknya. Sepertinya pelajaran IPA semasa SD tentang pembagian musim hujan, pancaroba dan musim kemarau sudah tidak berlaku lagi saat ini. Banyak pakar di media massa yang menyatakan semua ini akibat perubahan iklim global karena rusaknya alam akibat kegiatan dan aktifitas penduduk bumi yang tidak ramah dengan lingkungan. Konon, Indonesia pernah masuk dalam Guinnes Book Of Record sebagai Negara dengan laju deforestasi tercepat di dunia, yaitu kehilangan 300 kali lapangan bola tiap jam. Woooowwww…….Mengerikan……! 
Setelah melaksanakan sholat Dhuha, kulirik jam tangan yang tergeletak di atas meja belajarku. 
“Ups! Hampir jam sembilan rupanya…!” gumaku dalam hati. Tapi Matahari sampai detik ini masih juga enggan untuk menampakkan dirinya seperti biasa. Seperti dugaanku, tidak lama kemudian hujan rintik mulai turun membasahi bumi. 
“Bintang…! Jam berapa kita berangkat? suara Layla dari depan pintu kamar, membuyarkan lamunanku. Sudah dua hari ini Layla di Banjarmasin. Seperti keluarga Om Farid lainnya, Layla selalu menginap di rumahku kalau ada keperluan di Banjarmasin. Om Farid telah mempercayakan Layla kepadaku untuk mendampinginya setiap dia ada keperluan di Banjarmasin. Termasuk saat ini, kebetulan kami bisa sama-sama menyelesaikan proses administrasi daftar ulang mahasiswa baru di Kantyor Pusat Universitas Lambung Mangkurat. 
“Kalau hujan begini mending naik taksi …!” jawabku pada Laila. 
“Oooooh….! udah pesen taksinya…?” Laila balik bertanya. 
“Kalau naik taksi di sini, ga usah pesen dulu...lai! Kitanya yang harus nunggu di pinggir jalan….”jawabku sambil tersenyum. 
Aku sudah menduga dia pasti nggak nyambung dengan taksi yang ku maksud. Maklum bukan penduduk Banjarmasin. Jangan terkecoh, di Banjarmasin, yang disebut dengan taksi adalah angkutan kota atau didaerah lain biasa desebut angkot, sedangkan untuk taksi yang sebenarnya atau taksi argo disini cukup disebut dengan argo saja. 
 “Silakan duduk…..!” dengan senyuman ramah seorang perempuan berseragam putih-putih mempersilakanku duduk di bangku kayu dihadapannya. Dari name tag didadanya tertulis nama dr. Kayla Mumtaza. 
“Maaf, saudara Bintang! Tadi anda sudah melakukan test ishihara seperti ini..?” Tanya dokter cantik yang kira-kira usianya sekitar 30-an itu, sambil membuka buku bersampul tebal kehitaman yang berisi gambar-piringan-piringan kombinasi warna-warni berbentuk totol-totol itu ke hadapanku. 
“Sudah!” jawabku singkat. 
“Apakah anda merasa kesulitan untuk mengenali obyek huruf atau angka yang ada dalam masing-masing gambar ini?” tanyanya lagi, seperti ingin mempertegas. 
“Ya! Bahkan hampir semuanya saya tidak bisa mengenalinya”. Jawabku dengan tegas. 
“Baiklah! Begini saudara Bintang….dari hasil pemeriksaan test ishihara tadi, kami menyimpulkan bahwa anda dinyatakan ‘buta warna” .Dengan hati-hati dan perlahan dr Kayla mencoba memberiku penjelasan. “Apaaa? Saya buta warna?! Bagai disambar petir disiang bolong, seluruh badanku seperti lolos, lemas tak bertulang lagi. Semuanya blank……. 
Aku tahu betul, kemana arah penjelasan dr Kayla, kalau aku buta warna……..berarti berakhir sudah mimpi indahku untuk menjadi seorang dokter. 
“Iya…! Dari hasil tes dan pemeriksaan, anda dinyatakan buta warna parsial dan itu artinya….dengan berat hati harus kami sampaikan, bahwa anda tidak bisa meneruskan pilihan studi ke Fakultas Kedokteran”. Dr. Kayla mencoba memberikan penjelasan lebih detail. 
“Untuk penjelasan resmi dan disposisi lengkapnya, silakan anda datang ke bagian humas dan kemahasiswaan di Kantor pusat”. 
Tamat sudah angan-anganku, mimpiku, cita-citaku untuk memberi kebanggaan dan kebahagiaan kepada kedua orangtuaku. Cita-cita yang sudah kubangun dan kuperjuangkan sejak kecil, mimpi indah yang selalu kujaga sepanjang waktuku kini harus ku akhiri justru ketika sebelah kakiku sudah menapaknya. Terlebih lagi, semua berakhir oleh sebab yang sama sekali aku tidak tahu hal ihwal-nya….buta warna! Sebagai manusia biasa, aku sangat terpukul dengan kenyataan ini. Jiwaku merasakan goncangan yang begitu dahsyat, duniaku serasa telah berakhir. 
Tiga hari sudah, aku hanya bisa diam, diam dan diam dalam kegelisahan dan kegundahan. Aku tidak tahu lagi harus berbuat dan bersikap apa…….Duniaku seperti berbalik 180 derajat hanya dalam 3 hari saja.…! 
“Layla…….! Haaaah, gila…! Tiga hari sudah aku melupakannya”. 
Setelah menyelesaikan semua proses registrasi dan daftar ulang tiga hari yang lalu Layla pamit untuk pulang ke Tanjung. 
“Tapi ….! Ga biasanya dia ga ngasih kabar apa-apa sampai 3 hari begini……..!? Feeling-ku menangkap ada sesuatu yang tidak beres di Tanjung….. 
“Apa ada hubungannya dengan masalah buta warna-ku, ya…?!” batinku menduga-duga. Sejujurnya hati kecilku sedang bermain majas retoris, karena pertanyaan batinku sebenarnya tidak perlu jawaban. Aku sudah tahu jawabannya. 
Seperti ada kontak batin, tiba-tiba HP jadulku berbunyi! Di layar LCD yang sebagaian sudah mulai muncul bercak hitam itu muncul gambar Layla yang tengah tersenyum manja seolah-olah memanggilku. 
Dugaanku benar adanya! Layla memberi kabar, keluarga besarnya siang ini akan berkumpul di rumah untuk membahas masalah buta warnaku, mungkin bisa jadi juga membahas kelangsungan ikatan perjodohan kami. Meskipun aku sudah menduga situasi ini akan terjadi, berita dari Layla masih juga sempat menggetarkan hatiku…… Berkali-kali Layla memintaku untuk tabah, sabar dan terus berdoa untuk kebaikan kita bersama. 
“ Mudah-mudahan semuanya diberikan jalan yang terbaik”. Lanjut Layla mengakiri perbincangan kami. Dengan latar belakang pendidikan keluarga yang berbasis pada ilmu exact, kelurga besar Om Farid tentu paham betul dengan segala aspek terutama resiko kehidupan penyandang buta warna. Sebagai kelainan yang terpaut sex, tentunya warisan buta warna hampir pasti akan menurun ke anak dan cucu bahkan bisa jadi kesemua jalur keturunannya kelak. Mungkin karena itu, Om Farid sampai merasa perlu untuk membahas masalah ini dengan semua anak dan menantunya yang tentunya lebih paham tentang buta warna, karena background mereka semua yang dokter. Aku memahami posisi sulit Om Farid saat ini, sehingga memerlukan banyak masukan dan support dari keluarga besarnya agar segala keputusan yang diambil terkait buta warnaku nantinya tidak menambah masalah baru. 
‘Ya Allaaaaaaah…! Cobaan apa lagi yang akan kau bebankan padaku…..Ya Allah…..?!” dengan lirih aku mencoba melapaskan penat ruang batinku..
 “Jangan bebani hamba-Mu ini dengan cobaan yang melebihi batas kemapuanku Ya Allaaaaaah”. Jerit hatiku tertahan dalam gumam hatiku. 
Entahlah….! Apa sebenarnya dosa yang telah aku perbuat, sehingga Allah memberiku cobaan beruntun seperti ini….?. 
“ Bintang….!” Dalam sujudku tiba-tiba ada tangan yang menepuk pundakku. Aku bangkit dari sujudku, kulihat abah berjongkok disebelahku sambil membawa sesuatu di tangan kanannya……! “Minumlah….nak! Kata abah sambil menyodorkan gelas kaca dengan air yang jernih di dalamnya. “Bintang….! Abah bisa merasakan semua kegundahan hatimu…! Abah juga bisa merasakan kegetiran dan kesedihanmu saat ini…! Yang sabar ya nak….! Abah berusaha menenangkan gejolak hatiku. “Kuatkan dan ilkhlaskan hatimu nak…! Haram hukumnya bagi seorang muslim untuk menyerah kalah pada keadaan…….apalagi sampai berputus asa! Allah SWT pasti mempunyai rencana yang jauh lebih baik dari sekedar cita-citamu untuk menjadi dokter! Menjadi dokter bukanlah segala-galanya begitu pula sebaliknya tidak menjadi dokter juga bukanlah akhir segala-galanya. Percayalah, hidup itu selalu memberi pilihan, anakku! Lanjutkan hidupmu, pilihlah jalan suksesmu sendiri! Karena diluar sana masih banyak pilihan jalan kehidupan, jalan kesuksesan dan jalan keluar yang menunggumu!” Anggap saja semua ini adalah fase ujian dari Allah SWT yang akan membawamu ke jenjang yang lebih tinggi, yaitu kesuksesan di dunia dan Akhirat. 
Kalimat-kalimat klise abahku itu sebenarnya sudah biasa aku dengar. Tapi untuk saat ini, kalimat-kalimat itu bagaikan angin surga yang menyejukkan sekaligus menenangkan hati dan jiwaku yang sedang kosong….. 
 “Soal Layla……! Abah minta maaf,….! Karena niat abah dengan Om Farid menjodohkanmu dengan layla ternyata harus berakhir seperti ini…..” suara abah yang lembut tetap menyimpan ketegasan, seperti dulu. Sebagai mantan prajurit yang hampir seluruh karirnya di habiskan di medan pertempuran di Timor-Timur. Karakter abah tidak pernah berubah sampai detik ini. Orangnya optimis, tegas dan bersahaja di mataku. Oya….! Konon, nama “Bintang Kesiji Waela” itu inspirasinya juga dari medan tempur yang cenderung jauh dari kata beradab. Ayahku ingin anaknya kelak bisa seperti komandannya dulu, Brigjend Abdullah Farid. Seorang Jendral bintang satu yang sangat menginspirasi abah dalam menjalani hidup dan kehidupan. Dialah teladan hidup abah selama menjalani kehidupan sebagai seorang prajurit. Orangnya tawadhu’, jujur, nggak neko-neko, dekat secara pribadi dengan anak buah dan beliau adalah seorang muslim sejati yang selalu menjaganilai-nilai ke-Islaman dimanapun berada. Brigjend Abdullah Farid yang dimaksud abah tidak lain adalah Om Farid orang tua Layla. . 
“Barusan, Om Farid nelpon abah! Om Farid sekeluarga dengan berat hati telah mengambil keputusan…..untuk membatalkan perjodahanmu dengan Layla. Om Farid meminta maaf yang sebesar-besarnya pada keluarga kita dan terkhusus kepadamu anakku….. atas semua yang telah terjadi”. Abah berusaha menyampaikan berita ini dengan pelan, mungkin untuk menyesuaikan dengan situasi hatiku yang mungkin dianggapnya sedang sedih. 
“Om Farid juga berpesan, agar kejadiaan ini tidak memutuskan hubungan kekeluargaan kita.” Lanjut ayah lagi. 
Aneh! Itulah yang aku rasakan. Mendengar penjelasan berita dari Om Farid itu, bukanya tambah bersedih, aku justru merasakan adrenalinku seperti mulai mendesir merasuki semua ruang dalam diriku. Aku seperti mendapat suntikan energi berlebih yang entah darimana datangnya. Dengan tersenyum aku berusaha meyakinkan abah, bahwa putranya ini baik-baik saja. 
“Sudahlah bah…! semua yang terjadi pada bintang sudah menjadi ketentuan-Nya. Inshaallah Bintang Ikhlas menerimanya. Bintang yakin semua yang telah bintang lalui adalah yang terbaik untuk bintang. Bintang yakin Allah selalu memberi apa yang kita butuhkan bukan yang kita inginkan, betulkan bah…..!? Kan Abah juga yang ngajari bintang soal itu…….!” 
Akhirnya, pelukan hangat ayahku mengakhiri drama paling sentimental dalam sejarah hidupku itu. Selanjutnya, aku memang harus melanjutkan hidupku, aku memang harus memilih jalan kehidupan dan kesuksesanku sendiri, karena tidak akan ada yang bisa merubah nasibku selain diriku sendiri dan ijin Allah SWT. Aku ingin hidup dalam dunia nyata, yaitu dunia yang diciptakan-Nya untukku, tanpa harus ada bayang –bayang apapun dan siapapun. Aku ingin melanjutkan obsesiku untuk menjalani hidup “bertumbuh”, yaitu style hidup yang kuambil dari sabda Rasulullah, bahwa hari ini harus lebih baik dari hari kemarin dan hari esok harus lebih baik dari hari ini dan jalan itu harus aku mulai dari nol, dari bangku Jurusan Manajemen, Fakultas Ekonomi bukan dari Fakultas Kedokteran, Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Terima Kasih Ya Allah, atas ijin dan petunjuk-Mu! 

  (*Bisa dibaca dalam Antologi Cerpen Bernilai Dakwah "Cahaya Hidayah di Langit Senja"
     penerbit FAM Publishing)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar