Di Indonesia,
buta warna dan penyandang buta warna sepertinya harus berjuang sendiri mencari
identitas dan proporsinya dalam bergelut dengan kehidupan. Masih banyak
diantara kita yang tidak atau belum menyadari bahwa buta warna begitu penting
dalam hidup dan kehidupan, bahkan dalam beberapa situasi posisinya menjadi
“penentu” bagi perjalanan hidup seseorang dalam memilih jalan kehidupan.
Di dalam tatanan
kehidupan masyarakat Indonesia, buta warna sepertinya jatuh dalam ranah pribadi
(private) sehingga semua konsekuensi
yang muncul sebagai akibat menyandang buta warna jarang ter-ekspos keluar,
akibatnya gaung buta warna dan berbagai permasalahan yang mengikutinya sering
luput dari perhatian masyarakat bahkan Negara yang seharusnya punya tanggung
jawab atas pemberdayaan potensi seluruh rakyatnya, termasuk penyandang buta
warna. Hal ini dibuktikan dengan tidak adanya sistem terpadu yang diterapkan
oleh pihak berwenang (pemerintah) dalam
upaya memetakan potensi anak-anak Indonesia
sejak dini sebagai salah satu element guna
menyusun blueprint manajemen sumber
daya manusia Indonesia
kedepan.
Dalam kehidupan
sehari-hari penyandang buta warna biasanya tidak akan tampak berbeda dengan
manusia normal lainnya. Mereka tetap bisa berinteraksi bahkan beradaptasi
dengan baik dalam lingkunganya, yang membedakan adalah kemampuan individual
dalam adalah kemampuan individual dalam menganalisa dan mengenali warna, terutama untuk warna-warna turunan yang sifatnya tidak fullblock.
Berangkat dari
pengalaman pribadi yang sangat menyakitkan karena “tidak terduga” menyandang
buta warna, mengakibatkan saya “salah memilih cita-cita”. Sejak kecil saya
bercita-cita ingin menjadi dokter dan sepanjang perjalanan hidup saya sudah
saya persiapkan sesempurna mungkin untuk meraih cita-cita tersebut. Tapi sayang,
kenyataan harus berkata lain, karena divonis menyandang buta warna saya harus
merelakan cita-cita besar saya untuk menjadi dokter sirna lewat begitu saja
justeru ketika satu kaki saya sudah menjejak dunia impian saya itu,. Padahal sejak kecil saya sudah membangun tekad
dan menyusun langkah guna merengkuh cita-cita untuk menjadi dokter. Sedih dan
kecewa sudah pasti! Tapi yang paling menyedihkan bagi saya adalah kenapa
kelainan bawaan (keturunan) yang terpaut sex itu baru sekarang terdeteksi?
Kenapa tidak dari dulu, sehingga saya bisa menyesuaikan arah cita-cita dan kemungkinan jalan hidup yang sesuai
dengan kondisi saya. Kalau sudah begini, ibarat nasi sudah menjadi bubur! Waktu
yang sudah berlalu tidak bisa di putar kembali. Semua harus saya mulai dari nol
lagi, sehingga memerlukan perencanaan ulang yang memakan banyak waktu, tenaga
dan biaya yang hasilnya masih tanda tanya besar.
Dari diskripsi
singkat kisah diatas, saya bertekat untuk melakukan “sesuatu” bagi bangsa
Indonesia, terutama bagi masyarakat pinggiran dan menengah kebawah yang masih
minim akses informasi. Jangan sampai “tragedi” yang saya alami terulang pada
generasi emas Indonesia
selanjutnya. Jangan sampai potensi besar yang ada tidak di manage dan tidak
mempunyai arah yang jelas ujungnya.
Saya ingin
mengkampanyekan sekaligus action
lapangan perlunya tindakan “test buta
warna sejak dini”, gratis tanpa dipungut biaya untuk anak-anak Indonesia
secara bertahap. Tahapan kerjanya, dengan memperkenalkan seluk beluk kelainan
buta warna dan test buta warna mandiri dengan memamaki alat test Ishihara
manual maupun digital. Untuk tahap awal saya akan membuat area pilot project di Daerah Kecamatan Kertak
Hanyar, Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan daerah tempat tinggal saya dengan
sasaran anak SD kelas 4,5 dan 6. Saya pilih kelas 4,5 dan 6 karena saya anggap
sudah cakap mengenali angka dan huruf (test ishihara tenisnya mengenali angka
atau huruf dalam lembaran piring warna) plus sudah bisa diajak untuk
berkomunikasi verbal dengan
baik. Sebenarnya saya berharap, ide dan
upaya saya mengkampanyekan perlunya tindakan “test buta warna sejak dini”, gratis tanpa dipungut biaya untuk
anak-anak Indonesia ini mendapat apresiasi dari pemerintah melalui dinas
terkait (pendidikan, kesehatan dan sosial) dan atau LSM yang bergerak di bidang
pemberdayaan manusia. Harapannya suatu saat bisa dijadikan agenda wajib oleh pemerintah. sehingga
legalitas proses dan hasil dari project
ini lebih valid, diakui, bisa dipertanggung
jawabkan dan yang terpenting bermanfaat untuk semua pihak yang berkepentingan.
Tapi kalaupun apresiasi itu tidak ada, tidak menjadi soal karena prinsipnya
test buta warna bisa dilakukan secara mandiri dan project kampanye ini pada
dasarnya justeru membantu tugas dan kewajiban
pemerintah yang mungkin terlewatkan.
Untuk masalah
biaya dan pendanaan, saya akan mencari donatur dan sponsor independent untuk ikut serta membantu. Pengeluaran terbesar mungkin terserap untuk pengadaan software
dan hardware alat test Ishihara yang harganya sekitar dua jutaan rupiah tapi
bisa dipakai untuk selamanya. Untuk personil, pada prinsipnya sudah banyak
teman-teman relawan yang siap untuk turut terjun ke lapangan setiap saat.
Menyandang buta
warna memang adalah takdir yang tidak dapat ditolak oleh siapapun.
Sedih, galau, menyakitkan mungkin sesuatu yang wajar bagi penyandangnya. Tapi
ingat, menyandang buta warna bukanlah akhir segalanya, tapi justeru awal dari
segalanya. Mari berbagi harapan dengan saudara-saudara kita yang menyandang
buta warna. Semoga semua langkah dan usaha kita menebar kebaikan di muka bumi
Allah, mendapat ridha dan restu-Nya. Amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar