“Indonesia tidak butuh generasi pencaci maki,
selalu mencari siapa yang salah,
tapi
Indonesia butuh generasi pencari solusi!”
(Ridwan Kamil)
Kelapa Sawit “si-Pohon Simalakama”, dibenci tapi dirindukan!
Selama ini mungkin kita sering
mendengar atau bahkan mengucapkan istilah “buah simalakama”, yaitu sosok buah “misterius”
yang selalu memberi pilihan yang sama-sama tidak bisa dipilih. Biasanya
digambarkan dengan ilustrasi “Jika dimakan Bapak mati jika tidak dimakan Ibu
mati”. Ternyata, sosok buah misterius yang selama ini hanya ada dalam sebuah
frasa kias dan mitos belaka itu, memang benar-benar nyata adanya. Buah
misterius itu tidak lain adalah kelapa sawit, tanaman keluarga palm-palm-an
sumber minyak nabati terbesar yang produk turunannya seperti minyak goreng,
sabun, margarine dll telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kebutuhan kita
sehari-hari!?.
Karena buahnya kita sebut sebagai
buah simalakama, maka pohonnya ya disebut “pohon Simalakama”.
Gambaran mengenai posisi kelapa
sawit yang di sinonimkan dengan “pohon simalakama”, merupakan gambaran riil posisi
kelapa sawit saat ini, khususnya di Indonesia.
Disatu sisi kelapa sawit diklaim sebagai salah satu solusi bagi peningkatan
perekonomian dan pendapatan Negara yang begitu signifikan, tapi disisi yang
lain kelapa sawit juga diklaim sebagai “kambing hitam” utama penyebab kerusakan
lingkungan di Indonesia.
Ada Apa Dengan Kelapa Sawit Indonesia.?
Kelapa sawit saat ini menjadi “primadona” investasi di Indonesia,
apalagi setelah usaha pertambangan batubara mengalami stagnansi dalam 1 tahun terakhir. Kelapa sawit memberi kontribusi
yang signifikan terhadap neraca ekspor
Indonesia, yaitu mencapai 11 juta ton CPO (Crude
Palm Oil) senilai 6,2 milyar yang menempatkan Indonesia sebagai produsen
terbesar sawit dunia. Selain itu, sektor kelapa sawit juga memberi
kontribusi pada pendapatan Domestik
Bruto (PDB), peningkatan penghasilan pekebun dan penyerapan tenaga kerja lokal
Menurut Prof. Dr. Ir H. Adnan
Kasry, Ahli Lingkungan Hidup Univ. Riau, kalapa sawit (Elaeis) adalah penyebab penyebab utama musibah banjir dan
kekeringan di Indonesia, karena layaknya tanaman monokotil umumnya yang berakar
serabut, kelapa sawit tidak bisa menyerap dan menahan air yang melimpah di
musim hujan dan ketika musim kemarau
kelapa sawit akan menyerap cadangan air bawah tanah besar-besaran untuk
memenuhi kebutuhannya agar bisa tetap
bertahan hidup dan berproduksi menghasilkan buah. Siklus hidup kelapa sawit
semacam ini tentu sangat membahayakan lingkungan.
Menurut, Prof. Soekartawi, Guru
besar Fakultas pertanian Univ. Brawijaya Malang, pembangunan perkebunan kelapa
sawit bila dilakukan secara sembarangan
akan memberikan dampak negatif tidak hanya terhadap lingkungan dan kergaman
hayati, tapi juga terhadap budaya masyarakat setempat. Untuk itulah diperlukan
kesepahaman diantara para stakeholder yang berkepentingan, yaitu
pemerintah investor dan masyarakat.
Pendapat berbeda dikemukakan oleh
Donald Siahaan, Ketua Kelompok Peneliti Pengolahan Hasil dan Mutu dari Pusat
Pnelitian Kelapa Sawit (PPKS) Medan,
Sumatera Utara. Menurutnya, tidak seutuhnya benar jika dikatakan bahwa Kelapa
Sawit adalah salah satu penyebab kekeringan, yang salah bukan kelapa sawitnya!
Tapi petani penggarap yang tidak paham cara mengelola lahan sawitlah yang
menyebabkan perubahan lingkungan.
Begitu juga dengan Roesdiana
Suharto, Sekretariat Komisi Minyak Sawit Berkelanjutan Indonseia. Roesdiana
menegaskan bahwa Industri perkebunan kelapa sawit Indonesia
tidak merusak lingkungan. Isu yang dihembuskan oleh orang-orang tidak
bertanggung jawab ini hanya ingin menjatuhkan Indonesia.
Karena Indonesia
sudah memberlakukan ISPO (Indonesian
Sustainable Palm Oil) sejak 2010.
Pendapat 4 (empat) pakar diatas,
mempunyai perbedaan dalam memposisikan kelapa sawit. Tentu hal seperti ini sangat membingungkan
masyarakat! Mana yang benar? Mana yang bisa dikuti?
Kontroversi seputar “ke-simalakama-an”
kelapa sawit sepertinya tidak akan pernah ada ujungnya, karena masing-masing
pemangku kepentingan (stakeholder) “sepertinya”
mempunyai agenda, kepentingan dan sudut pandang yang berbeda-beda dalam melihat
obyek permasalahan seputar kelapa sawit.
Perdebatan-perdebatan yang muncul diantara mereka, baik secara langsung maupun
melalui media virtual selalu menimbulkan kegaduhan-kegaduhan absurd yang tidak penah menyentuh fase
“solusif”, Selain buang-buang energi dan waktu, metode terapi konflik semacam
ini menjadi sangat tidak efektif dan efisien, Selain permasalahan kelapa sawit
di Indonesia tidak terselesaikan dengan benar, justeru membuat masyarakat
Indonesia semakin bingung, jenuh dan lelah. Situasi semacam ini, bisa menggiring
mereka untuk berpikir logis ala masyarakat! Pasif, acuh, tidak peduli, tidak
ambil pusing bahkan malas untuk menyentuh hal-hal yang berhubungan dengan
tematik ke-simalakama-an kelapa sawit.
Masyarakat jadi tidak peduli berapa gajah yang mati diracun oleh pemilik lahan sawit, orang utan yang dibakar hidup-hidup karena dianggap hama kebun sawit atau beruang dan harimau yang mati dijerat oleh pekerja di kebun sawit karena mengganggu aktifitas mereka. Seandainya mereka tahu sawit itulah yang menjadi bahan dasar lipstik yang dioleskan di bibir merekah mereka, atau sabun yang setiap hari dilulurkan di badan mereka......
“Toh kami tidak berhubungan
langsung dengan masalah itu!”
atau
“Memangnya ada pengaruhnya? Kalau
kami melibatkan diri pada masalah kelapa sawit!?”
atau
Apa manfaat/untungnya untuk kami? Kalu kami terlibat pada masalah
ini!?
Kalimat-kalimat diatas, dengan
mudah akan meluncur dari masyrakat yang sudah terlanjur apatis dan pesimis,
karena terlanjur bingung jenuh dan lelah.. Situasi seperti ini tentu sangat
tidak diharapkan kedepannya, karena menjadi titik anomali yang kontraproduktif
ditengah-tengah upaya berbagai pihak untuk memperbaiki kondisi alam Indonesia.
Kalau sudah terlanjur begini akan semakin sulit untuk mengajak masyarakat
berpikir dan bertindak konstruktif dalam mejaga kelestarian lingkungan.
.
Mari mencari solusi untuk kelapa sawit Indonesia!
Diakui atau tidak, massive-nya pembangunan perkebunan
kelapa sawit di Indonesia telah menyebabkan berkurangnya luas hutan primer
di Indonesia (deforestasi) yang sedari awal berfungsi
sebagai daerah konservasi hayati berbagai spesies makhluk hidup. Tentu situasi
ini akan memberi dampak yang buruk untuk kelestarian lingkungan. Habitat
binatang penghuni lahan konservasi semakin menyempit sehingga sering terjadi
konflik dengan manusia., peralihan fungsi lahan bisa memusnahkan plasma nutfah
tanama-tanaman langka dan endemik setempat.
Tidak jarang, karena tidak adanya
komunikasi yang baik antara pemerintah selaku pemberi ijin lokasi dengan
masyarakat adat setempat yang mempunyai hukum dan aturan adat terjadi sengketa
lahan yang biasanya masuk dalam wilayah hutan adat (hak ulayat). Sengketa ini
tidak jarang sampai menimbulkan konflik yang mengakibatkan adanya korban jiwa
manusia.
Untuk kebun kelapa sawitnya sendiri, kalaupun posisi pohon sawit sampai hari ini masih menjadi perdebatan, banyak mana antara manfaat dan mudharrat-nya, alangkah baik seandainya perkebunan yang sudah ada dikelola dengan benar sesuai prinsip-prinsip yang sudah diatur sebelumnya ( ISPO dan RSPO). Sehingga keberadaannya bisa memberi manfaat lebih bagi masyarakat dan lingkungan.
Untuk mendapatkan titik temu yang
lebih konstruktif dalam menyikapi semua permasalahan dan dampak ikutan massive-nya
pengalihan dan pembukaan lahan untuk perkebunan kelapa sawit, tidak ada jalan
lain selain kesadaran kolektif semua stakeholder
untuk melepaskan semua ego dan duduk bersama untuk menyamakan persepsi dan
gerak langkah aplikatif yang harus diambil guna tetap menjaga sinergi keberlangsungan kehidupan hayati dan
pemantapan perekonomian yang sudah terlanjur menjadikan kelapa sawit sebagai
komoditi andalan Indonesia..
Kalau menilik ke belakang,
Indonesia sebenarnya sudah memiliki instrumen sebagai media kontrol terhadap
“niat baik” perusahan minyak sawit untuk tidak mengabaikan kelestarian
lingkungan yang disebut dengan ISPO (Indonesian
Sustainable Palm Oil) yang sudah diterapkan sejak 2010, yaitu sertifikasi yang
bertujuan untuk meningkatkan kesadaran pengusaha kelapa sawit di Indonesia
untuk menjaga lingkungan dan menjaga daya saing minyak sawit Indonesia serta
mendukung program pengurangan gas rumah kaca yang tertuang dalam 7 (tujuh) item
persyaratan.
Selain itu untuk melangkah lebih
jauh menuju pasar ekspor, perkebunan kelapa sawit Indonesia harus sudah
bersertifikasi SPO ( Sustainable Palm
Oil) yang dikeluarkan oleh RSPO (RoundtableSustainable Palm Oil) yaitu, organisasi nirlaba yang beranggotakan 7
(tujuh) pemangku kepentingan sektor industri munyak sawi yang meliputi, produsen,
pengolah, pedagang, investor, bank, LSM dan konsumen. perannya adalah
mengembangkan dan mengimplementasikan standar global untuk minyak sawit
berkelanjutan.
Dengan adanya instrument kontrol
yang ada, ISPO dan RSPO seharusnya tidak perlu lagi ada ribut-ribut soal kelapa
sawit! Asal semua elemen yang terlibat dan berkepentingan didalamnya konsisten
terhadap semua aturan dan peraturan baku
yang ada di dalamya! Sayangnya, kita semua terlajur apatis dan pesimis untuk
urusan taat aturan ini! Sudah menjadi rahasia umum, masyarakat kita
paling susah untuk taat pada aturan dan peraturan, apalagi bila berhadapan
dengan merahnya warna si-fulus.
Bahkan ada semacam adagium dalam masyarakat kita bahwa aturan dibuat memang untuk dilanggar!
Masyarakat memerlukan edukasi terpadu dan berkelanjutan
Sejauh ini, Indonesia menjadi
penyumbang 48% produksi minyak sawit dunia yang sudah berstandar produk CSPO (Certified Sustainable Palm Oil)
sedangkan masyarakat Indonesia adalah salah satu konsumen terbesar produk sawit
berstandar CSPO dunia, dengan serapan mencapai 24% dari produksi minyak sawit CSPO dunia. Artinya, sebenarnya
50% produksi minyak sawit CSPO dari Indonesia
dibeli dan dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia
sendiri.
Sayang, besarnya serapan pasar Indonesia
terhadap minyak sawit dunia tidak diimbangi dengan edukasi yang memadai tentang
lingkaran proses berbagai produk kebutuhan sehari-hari yang mereka konsumsi
terutama yang berbasis produksi dari minyak sawit dengan tanggung jawabnya
terhadap perlindungan kelestarian alam. Masyarakat Indonesia
sejauh ini hanya dijadikan sebagai obyek pasar yang empuk bagi produsen turunan
minyak sawit tersebut.
Harus diakui memang, luasan
geografis Indonesia,
kondisi sosioculture dan tingkat pendidikan yang beragam menjadi
kendala serius untuk memberikan edukasi secara merata kepada masyarakat.
Berbagai kampanye yang sifatnya insidental masih terlokalisir di daerah
perkotaan dengan rata-rata pendidikan menengah keatas, belum menyentuh sebagian
besar masyarakat Indonesia
yang sebagian besar tinggal di daerah-daerah dengan akses informasi terbatas.
Edukasi kepada seluruh lapisan
masyarakat untuk menjadikan masyarakat sebagai konsumen yang cerdas dan bijak dengan #BeliYangBaik, seharusnya tidak secara instant! Tapi terprogram, terstruktur
dan bersifat berkelanjutan. Sebenarnya ini menjadi tanggung jawab sekaligus
kewajiban stakeholder industri minyak
sawit layaknya konsorsium pembentukan RSPO dengan difasilitasi oleh pemerintah.
Bukan tanggung jawab sebagian elemen saja.
Pemerintah sebagai pemangku
kebijakan seharusnya menjadi inisiator
bagi semua elemen stakeholder industri
minyak sawit yang seharusnya berkewajiban
dan bertanggung jawab memberi edukasi kepada seluruh lapisan masyarakat. Untuk
fungsi ini entah kenapa pemerintah seperti tidak ada geregetnya! Selain tidak
terlihat action-nya! Justeru ada
kesan berlepas tangan!
Sementara itu, banyaknya LSM
(lingkungan) yang aktif menyuarakan masalah ini seperti WWF, konsentrasi sebaran
area dan program kerjanya masih belum merata. Mereka masih terkonsentrasi
didaerah-daerah tertentu dan programnya masih lebih banyak berkutat pada sektor
hulu (hardskill campaign) seperti
penyelamatan hutan dan satwa. Tapi untuk program edukasi, menjadikan masyarakat
sebagai konsumen yang cerdas dan bijak dengan #BeliYangBaik (softskill
campaign) dalam memilih produk yang ramah lingkungan masih sedikit yang mengerjakannya.
Solusi paling masuk akal dan
efektif untuk mencerdaskan masyarakat secara terpadu dan berkelanjutan, adalah
memasukkan atau paling tidak menyisipkan materi tematik ini kedalam pelajaran
sekolah, kalau perlu mulai dari TK sampai perguruan Tinggi dengan materi yang disesuaikan dengan tingkatan usia dan pendidikannya. Dengan begitu,
pemahaman cerdas terhadap perlunya menjaga lingkungan dari dalam rumah bisa
dumulai sejak dini sehingga tertanam dengan baik pada alam bawah sadar semua
masyarakat Indonesia.
Mari terus bergerak dan berjuang untuk sehat dan hijaunya alam Indonesia! Dengan menjadi pribadi dan konsumen yang cerdas! Mari #BeliYangBaik !
Artikel yang perlu dibaca :
http://www.beliyangbaik.org/
http://www.rspo.org/consumers/about-sustainable-palm-oil
http://www.wwf.or.id/?41042/Berikan-Orangutan-Kemerdekaan-dari-Kebun-Sawit-Tak-Lestari
http://www.wwf.or.id/?40922/Suka-Makan-Gorengan-vs-Pelestarian-Gajah
http://wwf.panda.org/what_we_do/footprint/agriculture/palm_oil/
http://wwf.panda.org/what_we_do/footprint/agriculture/palm_oil/solutions/roundtable_on_sustainable_palm_oil/
WELLCOME & JOIN US.....!Mari terus bergerak dan berjuang untuk sehat dan hijaunya alam Indonesia! Dengan menjadi pribadi dan konsumen yang cerdas! Mari #BeliYangBaik !
Artikel yang perlu dibaca :
http://www.beliyangbaik.org/
http://www.rspo.org/consumers/about-sustainable-palm-oil
http://www.wwf.or.id/?41042/Berikan-Orangutan-Kemerdekaan-dari-Kebun-Sawit-Tak-Lestari
http://www.wwf.or.id/?40922/Suka-Makan-Gorengan-vs-Pelestarian-Gajah
http://wwf.panda.org/what_we_do/footprint/agriculture/palm_oil/
http://wwf.panda.org/what_we_do/footprint/agriculture/palm_oil/solutions/roundtable_on_sustainable_palm_oil/