Sabtu, 31 Oktober 2015

Masyarakat Indonesia Memerlukan Edukasi Terpadu dan Berkelanjutan!






“Indonesia tidak butuh generasi pencaci maki,
  selalu mencari siapa yang salah, tapi
  Indonesia butuh generasi pencari solusi!”
  (Ridwan Kamil)



Kelapa Sawit “si-Pohon Simalakama”, dibenci  tapi dirindukan!

Selama ini mungkin kita sering mendengar atau bahkan mengucapkan istilah “buah simalakama”, yaitu sosok buah “misterius” yang selalu memberi pilihan yang sama-sama tidak bisa dipilih. Biasanya digambarkan dengan ilustrasi “Jika dimakan Bapak mati jika tidak dimakan Ibu mati”. Ternyata, sosok buah misterius yang selama ini hanya ada dalam sebuah frasa kias dan mitos belaka itu, memang benar-benar nyata adanya. Buah misterius itu tidak lain adalah kelapa sawit, tanaman keluarga palm-palm-an sumber minyak nabati terbesar yang produk turunannya seperti minyak goreng, sabun, margarine dll telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kebutuhan kita sehari-hari!?.
Karena buahnya kita sebut sebagai buah simalakama, maka pohonnya ya disebut “pohon Simalakama”.

Gambaran mengenai posisi kelapa sawit yang di sinonimkan dengan “pohon simalakama”, merupakan gambaran riil posisi kelapa sawit saat ini, khususnya di Indonesia. Disatu sisi kelapa sawit diklaim sebagai salah satu solusi bagi peningkatan perekonomian dan pendapatan Negara yang begitu signifikan, tapi disisi yang lain kelapa sawit juga diklaim sebagai “kambing hitam” utama penyebab kerusakan lingkungan di Indonesia.


Ada Apa Dengan Kelapa Sawit Indonesia.?



Kelapa sawit saat ini menjadi “primadona” investasi di Indonesia, apalagi setelah usaha pertambangan batubara mengalami stagnansi dalam 1 tahun terakhir. Kelapa sawit memberi kontribusi yang signifikan terhadap neraca  ekspor Indonesia, yaitu mencapai 11 juta ton CPO (Crude Palm Oil) senilai 6,2 milyar yang menempatkan Indonesia sebagai produsen terbesar sawit dunia. Selain itu, sektor kelapa sawit juga memberi kontribusi  pada pendapatan Domestik Bruto (PDB), peningkatan penghasilan pekebun dan penyerapan tenaga kerja lokal  

Menurut Prof. Dr. Ir H. Adnan Kasry, Ahli Lingkungan Hidup Univ. Riau, kalapa sawit (Elaeis) adalah penyebab penyebab utama musibah banjir dan kekeringan di Indonesia, karena layaknya tanaman monokotil umumnya yang berakar serabut, kelapa sawit tidak bisa menyerap dan menahan air yang melimpah di musim hujan dan ketika musim kemarau  kelapa sawit akan menyerap cadangan air bawah tanah besar-besaran untuk memenuhi kebutuhannya  agar bisa tetap bertahan hidup dan berproduksi menghasilkan buah. Siklus hidup kelapa sawit semacam ini tentu sangat membahayakan lingkungan.

Menurut, Prof. Soekartawi, Guru besar Fakultas pertanian Univ. Brawijaya Malang, pembangunan perkebunan kelapa sawit bila dilakukan secara sembarangan akan memberikan dampak negatif tidak hanya terhadap lingkungan dan kergaman hayati, tapi juga terhadap budaya masyarakat setempat. Untuk itulah diperlukan kesepahaman  diantara para stakeholder yang berkepentingan, yaitu pemerintah investor dan masyarakat.

Pendapat berbeda dikemukakan oleh Donald Siahaan, Ketua Kelompok Peneliti Pengolahan Hasil dan Mutu dari Pusat Pnelitian Kelapa Sawit (PPKS) Medan, Sumatera Utara. Menurutnya, tidak seutuhnya benar jika dikatakan bahwa Kelapa Sawit adalah salah satu penyebab kekeringan, yang salah bukan kelapa sawitnya! Tapi petani penggarap yang tidak paham cara mengelola lahan sawitlah yang menyebabkan perubahan lingkungan.

Begitu juga dengan Roesdiana Suharto, Sekretariat Komisi Minyak Sawit Berkelanjutan Indonseia. Roesdiana menegaskan bahwa Industri perkebunan kelapa sawit Indonesia tidak merusak lingkungan. Isu yang dihembuskan oleh orang-orang tidak bertanggung jawab ini hanya ingin menjatuhkan Indonesia. Karena Indonesia sudah memberlakukan ISPO (Indonesian Sustainable Palm Oil) sejak 2010.

Pendapat 4 (empat) pakar diatas, mempunyai perbedaan dalam memposisikan kelapa sawit.  Tentu hal seperti ini sangat membingungkan masyarakat! Mana yang benar? Mana yang bisa dikuti?

Kontroversi seputar “ke-simalakama-an” kelapa sawit sepertinya tidak akan pernah ada ujungnya, karena masing-masing pemangku kepentingan (stakeholder) “sepertinya” mempunyai agenda, kepentingan dan sudut pandang yang berbeda-beda dalam melihat obyek permasalahan seputar kelapa sawit. Perdebatan-perdebatan yang muncul diantara mereka, baik secara langsung maupun melalui media virtual selalu menimbulkan kegaduhan-kegaduhan absurd yang tidak penah menyentuh fase “solusif”, Selain buang-buang energi dan waktu, metode terapi konflik semacam ini menjadi sangat tidak efektif dan efisien, Selain permasalahan kelapa sawit di Indonesia tidak terselesaikan dengan benar, justeru membuat masyarakat Indonesia semakin bingung, jenuh dan lelah. Situasi semacam ini, bisa menggiring mereka untuk berpikir logis ala masyarakat! Pasif, acuh, tidak peduli, tidak ambil pusing bahkan malas untuk menyentuh hal-hal yang berhubungan dengan tematik ke-simalakama-an kelapa sawit. 


Masyarakat jadi tidak peduli berapa gajah yang mati diracun oleh pemilik lahan sawit, orang utan yang dibakar hidup-hidup karena dianggap hama kebun sawit atau beruang dan harimau yang mati dijerat oleh pekerja di kebun sawit karena mengganggu aktifitas mereka. Seandainya mereka tahu sawit itulah yang menjadi bahan dasar lipstik yang dioleskan di bibir merekah mereka, atau sabun yang setiap hari dilulurkan di badan mereka......


“Toh kami tidak berhubungan langsung dengan masalah itu!”

atau

“Memangnya ada pengaruhnya? Kalau kami melibatkan diri pada masalah kelapa sawit!?”

atau

Apa manfaat/untungnya  untuk kami? Kalu kami terlibat pada masalah ini!?

Kalimat-kalimat diatas, dengan mudah akan meluncur dari masyrakat yang sudah terlanjur apatis dan pesimis, karena terlanjur bingung jenuh dan lelah.. Situasi seperti ini tentu sangat tidak diharapkan kedepannya, karena menjadi titik anomali yang kontraproduktif  ditengah-tengah upaya berbagai pihak untuk memperbaiki kondisi alam Indonesia. Kalau sudah terlanjur begini akan semakin sulit untuk mengajak masyarakat berpikir dan bertindak konstruktif dalam mejaga kelestarian lingkungan.
.

Mari mencari solusi untuk kelapa sawit Indonesia!

Diakui atau tidak, massive-nya pembangunan perkebunan kelapa sawit di Indonesia  telah menyebabkan berkurangnya luas hutan primer di Indonesia (deforestasi) yang sedari awal berfungsi sebagai daerah konservasi hayati berbagai spesies makhluk hidup. Tentu situasi ini akan memberi dampak yang buruk untuk kelestarian lingkungan. Habitat binatang penghuni lahan konservasi semakin menyempit sehingga sering terjadi konflik dengan manusia., peralihan fungsi lahan bisa memusnahkan plasma nutfah tanama-tanaman langka dan endemik setempat.

Tidak jarang, karena tidak adanya komunikasi yang baik antara pemerintah selaku pemberi ijin lokasi dengan masyarakat adat setempat yang mempunyai hukum dan aturan adat terjadi sengketa lahan yang biasanya masuk dalam wilayah hutan adat (hak ulayat). Sengketa ini tidak jarang sampai menimbulkan konflik yang mengakibatkan adanya korban jiwa manusia.

Untuk kebun kelapa sawitnya sendiri, kalaupun posisi pohon sawit sampai hari ini masih menjadi perdebatan, banyak mana antara manfaat dan mudharrat-nya, alangkah baik seandainya perkebunan yang sudah ada dikelola dengan benar sesuai prinsip-prinsip yang sudah diatur sebelumnya ( ISPO dan RSPO). Sehingga keberadaannya bisa memberi manfaat lebih bagi masyarakat dan lingkungan.

Untuk mendapatkan titik temu yang lebih konstruktif dalam menyikapi semua permasalahan dan dampak ikutan massive-nya pengalihan dan pembukaan lahan untuk perkebunan kelapa sawit, tidak ada jalan lain selain kesadaran kolektif semua stakeholder untuk melepaskan semua ego dan duduk bersama untuk menyamakan persepsi dan gerak langkah aplikatif yang harus diambil guna tetap menjaga sinergi  keberlangsungan kehidupan hayati dan pemantapan perekonomian yang sudah terlanjur menjadikan kelapa sawit sebagai komoditi andalan Indonesia..

Kalau menilik ke belakang, Indonesia sebenarnya sudah memiliki instrumen sebagai media kontrol terhadap “niat baik” perusahan minyak sawit untuk tidak mengabaikan kelestarian lingkungan yang disebut dengan ISPO (Indonesian Sustainable Palm Oil) yang sudah diterapkan sejak 2010, yaitu sertifikasi yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran pengusaha kelapa sawit di Indonesia untuk menjaga lingkungan dan menjaga daya saing minyak sawit Indonesia serta mendukung program pengurangan gas rumah kaca yang tertuang dalam 7 (tujuh) item persyaratan.
Selain itu untuk melangkah lebih jauh menuju pasar ekspor, perkebunan kelapa sawit Indonesia harus sudah bersertifikasi SPO ( Sustainable Palm Oil) yang dikeluarkan oleh RSPO (RoundtableSustainable Palm Oil) yaitu, organisasi nirlaba yang beranggotakan 7 (tujuh) pemangku kepentingan sektor industri munyak sawi yang meliputi, produsen, pengolah, pedagang, investor, bank, LSM dan konsumen. perannya adalah mengembangkan dan mengimplementasikan standar global untuk minyak sawit berkelanjutan.

Dengan adanya instrument kontrol yang ada, ISPO dan RSPO seharusnya tidak perlu lagi ada ribut-ribut soal kelapa sawit! Asal semua elemen yang terlibat dan berkepentingan didalamnya konsisten terhadap semua aturan dan peraturan baku yang ada di dalamya! Sayangnya, kita semua terlajur apatis dan pesimis untuk urusan taat aturan ini!  Sudah menjadi rahasia umum, masyarakat kita paling susah untuk taat pada aturan dan peraturan, apalagi bila berhadapan dengan merahnya warna si-fulus. Bahkan ada semacam adagium dalam masyarakat kita bahwa aturan dibuat memang untuk dilanggar!


Masyarakat memerlukan edukasi terpadu dan berkelanjutan

Sejauh ini, Indonesia menjadi penyumbang 48% produksi minyak sawit dunia yang sudah berstandar produk CSPO (Certified Sustainable Palm Oil) sedangkan masyarakat Indonesia adalah salah satu konsumen terbesar produk sawit berstandar CSPO dunia, dengan serapan mencapai 24% dari produksi  minyak sawit CSPO dunia. Artinya, sebenarnya 50% produksi minyak sawit CSPO dari Indonesia dibeli dan dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia sendiri.

Sayang, besarnya serapan pasar Indonesia terhadap minyak sawit dunia tidak diimbangi dengan edukasi yang memadai tentang lingkaran proses berbagai produk kebutuhan sehari-hari yang mereka konsumsi terutama yang berbasis produksi dari minyak sawit dengan tanggung jawabnya terhadap perlindungan kelestarian alam. Masyarakat Indonesia sejauh ini hanya dijadikan sebagai obyek pasar yang empuk bagi produsen turunan minyak sawit tersebut.

Harus diakui memang, luasan geografis Indonesia, kondisi sosioculture dan  tingkat pendidikan yang beragam menjadi kendala serius untuk memberikan edukasi secara merata kepada masyarakat. Berbagai kampanye yang sifatnya insidental masih terlokalisir di daerah perkotaan dengan rata-rata pendidikan menengah keatas, belum menyentuh sebagian besar masyarakat Indonesia yang sebagian besar tinggal di daerah-daerah dengan akses informasi terbatas.

Edukasi kepada seluruh lapisan masyarakat untuk menjadikan masyarakat sebagai konsumen yang cerdas dan bijak dengan #BeliYangBaik,  seharusnya tidak secara instant! Tapi terprogram, terstruktur dan bersifat berkelanjutan. Sebenarnya ini menjadi tanggung jawab sekaligus kewajiban stakeholder industri minyak sawit layaknya konsorsium pembentukan RSPO dengan difasilitasi oleh pemerintah. Bukan tanggung jawab sebagian elemen saja.

Pemerintah sebagai pemangku kebijakan seharusnya menjadi inisiator bagi semua elemen stakeholder industri minyak sawit yang seharusnya  berkewajiban dan bertanggung jawab memberi edukasi kepada seluruh lapisan masyarakat. Untuk fungsi ini entah kenapa pemerintah seperti tidak ada geregetnya! Selain tidak terlihat action-nya! Justeru ada kesan berlepas tangan!

Sementara itu, banyaknya LSM (lingkungan) yang aktif menyuarakan masalah ini seperti WWF, konsentrasi sebaran area dan program kerjanya masih belum merata. Mereka masih terkonsentrasi didaerah-daerah tertentu dan programnya masih lebih banyak berkutat pada sektor hulu (hardskill campaign) seperti penyelamatan hutan dan satwa. Tapi untuk program edukasi, menjadikan masyarakat sebagai konsumen yang cerdas dan bijak dengan #BeliYangBaik (softskill campaign) dalam memilih produk yang ramah lingkungan masih sedikit yang mengerjakannya.

Solusi paling masuk akal dan efektif untuk mencerdaskan masyarakat secara terpadu dan berkelanjutan, adalah memasukkan atau paling tidak menyisipkan materi tematik ini kedalam pelajaran sekolah, kalau perlu mulai dari TK sampai perguruan Tinggi dengan materi yang disesuaikan dengan tingkatan usia dan pendidikannya. Dengan begitu, pemahaman cerdas terhadap perlunya menjaga lingkungan dari dalam rumah bisa dumulai sejak dini sehingga tertanam dengan baik pada alam bawah sadar semua masyarakat Indonesia.

Mari terus bergerak dan berjuang untuk sehat dan hijaunya alam Indonesia! Dengan menjadi pribadi dan konsumen yang cerdas! Mari #BeliYangBaik !



Artikel yang perlu dibaca :
http://www.beliyangbaik.org/
http://www.rspo.org/consumers/about-sustainable-palm-oil
http://www.wwf.or.id/?41042/Berikan-Orangutan-Kemerdekaan-dari-Kebun-Sawit-Tak-Lestari
http://www.wwf.or.id/?40922/Suka-Makan-Gorengan-vs-Pelestarian-Gajah
http://wwf.panda.org/what_we_do/footprint/agriculture/palm_oil/
http://wwf.panda.org/what_we_do/footprint/agriculture/palm_oil/solutions/roundtable_on_sustainable_palm_oil/



 WELLCOME & JOIN US.....!



3 komentar:

  1. Maaf minyak apa saja ya, yg ada label RSPONYA? Kok mencari-cari tidak ada yang berlabel?

    BalasHapus
  2. Di Kapuas tanaman sawit begitu banyak pak. tapi masyarakatnya tidak tahu punyak siapa dan orang kapuas tetap saja miskin-miskin pak jangankan harus beli minyak yag ada gambar rspo yg curah saja berat

    BalasHapus