Selasa, 13 Oktober 2015

Membangun Ruang Publik Berbasis (Budaya) Sungai ala Kota Banjarmasin


Membangun Ruang Publik Berbasis (Budaya) Sungai  ala Kota Banjarmasin
Taman Maskot dengan latar belakang Sungai Martapura
(Sumber Gambar : Koleksi Pribadi)


BANJARMASINKOTA SERIBU SUNGAI”
Kota Banjarmasin, ibu kota Propinsi Kalimantan Selatan dikenal luas dengan julukan “Kota Seribu Sungai”. Salah satu kota perdagangan tertua di Pulau Kalimantan ini memang mempunyai alur sungai terbanyak di Indonesia bahkan mungkin dunia. Walaupun data riilnya tidak sampai seribu seperti julukannya, aliran sungai yang ada menjadikan lanskap kota Banjarmasin seperti sekumpulan pulau-pulau kecil di ujung Pulau Kalimantan bagian Selatan, jika dilihat dari udara. Unik!? Tunggu dulu! Ada lagi yang lebih unik. Tinggi rata-rata permukaan tanah di Kota Banjarmasin sekitar 60cm dibawah permukaan air laut. Hal ini menyebabkan sebagian besar wilayah daratan Kota Banjarmasin didominasi oleh lahan basah atau rawa-rawa dengan intensitas kedalaman yang berbeda-beda dan yang paling unik adalah arus dan arah aliran sungai tergantung oleh pasang surut air laut. Normalnya, aliran air sungai mengalir dari hulu menuju ke hilir, tapi di Banjarmasin bisa sebaliknya bila air laut pasang. Hal ini menyebabkan terjadinya intrusi air laut, sehingga air sungai dan rawa bisa berubah-ubah taste-nya tergantung waktunya. Terkadang pagi tawar, siang atau sore bisa berubah menjadi payau bahkan asin. Unik bukan?
Kondisi alam Kota Banjarmasin yang sangat khas inilah yang membentuk karakter budaya air/sungai melekat selama ber-abad-abad pada masyarakat Kota Banjarmasin. Budaya Sungai yang telah berurat dan berakar akhirnya menjadi identitas Kota Banjarmasin sampai sekarang. Sebagai identitas komunal masyarakat Kota Banjarmasin, budaya sungai memberi pengaruh yang sangat signifikan terhadap pola aktifitas sosial, ekonomi, seni dan budaya masyarakatnya. Jadi bisa dibilang, sungai adalah urat nadi kehidupan masyarakat Kota Banjarmasin, setidaknya sampai dua dekade silam.
Sebagai buktinya, hampir semua sarana dan prasaran publik maupun pribadi dibangun di sekitar sungai dengan menghadap ke sungai, mulai rumah tinggal pribadi, sekolah, perkantoran pemerintah, militer, sarana ibadah, pasar, bahkan pelabuhan Tri Sakti yang merupakan pintu masuk orang dan barang ke Pulau Kalimantan juga dibangun di tepi sungai bukan di tepi laut layaknya pelabuhan besar lainnya di Indonesia dan yang paling menarik adalah keberadaan dua pasar tradisonal yang menjadi icon pariwisata Kota Banjarmasin yang begitu masyur seantero dunia, “pasar terapung” di daerah Kuin dan Lok Baintan lokasinya bukan di daratan layaknya pasar-pasar umumnya, tapi mengapung diatas aliran sungai.

REALITAS RUANG PUBLIK DI KOTA BANJARMASIN
Kota Banjarmasin dengan luas (hanya) sekitar 98 km2 atau ¼ dari luas saudara mudanya Kota Banjarbaru atau 1/8 luas Kota Jakarta, merupakan Ibu Kota Propinsi dengan luas terkecil di Pulau Kalimantan. Coba bandingkan dengan luas Kota Palangkaraya, ibu kota Propinsi Kalimantan Tengah yang diwacanakan menjadi Ibu Kota Negara Indonesia yang mencapai 2.400 km2. Tetapi kepadatan penduduk Kota Banjarmasin, merupakan yang tertinggi diantara Ibu Kota propinsi lainnya di Pulau Kalimantan. Menurut data BPS tahun 2013, kepadatan penduduk di Kota Banjarmasin mendekati angka 7000jiwa/km2. Coba bandingkan dengan Kota Samarinda yang hanya 1.122 jiwa/km2 atau Kota Palangkaraya yang hanya 102 jiwa/km2.
Mencermati data diatas, angka kepadatan penduduk Kota Banjarmasin yang mencapai 7000 jiwa/km2 jelas jauh dari angka ideal yang seharusnya (maksimal) 1000 jiwa/km2 atau 40 jiwa/ha. Kota Banjarmasin sudah overcapacity dan bisa dibilang sangat tidak layak huni. Ketidakseimbangan antara ketersediaan ruang dan populasi penduduk Kota Banjarmasin ini tentu akan membawa dampak yang tidak sehat bagi perkembangan sosiopsikis masyarakat Kota Banjarmasin yang multietnis dan bila tidak dikelola dengan tepat tentu akan menimbulkan banyak permasalahan sosial di kemudian hari.
Celakannya, ruang publik yang terbukti mampu menjadi salah satu solusi untuk menetralisir “kepenatan dan kejenuhan sosial”, kualitas dan kuantitas space ruangnya masih minim dan terbatas. Ruang publik di Kota Banjarmasin sebagian besar berupa ruang terbuka hijau (RTH), sebut saja Taman Kamboja yang ada di tengah kota Banjarmasin, Taman Maskot di sebelah Masjid Sabilal Mutadin, Taman hutan kota halaman Masjid Sabilal Muhtadin, Taman hutan kota Korem Banjarmasin, Taman siring sungai Martapura, taman dan pepohonan sepanjang trotoar Jalan A. Yani (sayang, mulai hilang karena pelebaran jalan dan pembangunan fly over), taman agrowisata & kebun binatang mini di Jl. Jahri Saleh. Total bentang ruang terbuka hijau di Kota Banjarmasin baru mencapai sekitar 17% atau baru setengah lebih sedikit dari yang dipersyaratkan oleh UU No.26 tahun 2007, pasal 29 yaitu 30% dari total luas wilayah.
Masjid Sabilal Muhtadin Dengan Hutan Kota Di Sekelilingnya

Terbatasnya ruang “bersosialisasi” masyarakat, tentu juga akan membatasi ruang kreasi, rekreasi, ekspresi, aktualisasi dan interaksi masyarakat Kota Banjarmasin secara umum. Di titik inilah diperlukan ide-ide segar, kebijakan konstruktif dan tindakan riil yang terukur sebagai terobosan aplikatif guna tetap menjaga keberlangsungan dinamika sosial dan harmonisasi masyarakat Kota Banjarmasin yang terkenal heterogen. dengan tetap mengedepankan nilai-nilai budaya dan kearifan lokal khas Masyarakat Kota Banjarmasin
Gayung bersambut, Pemerintah Kota Banjarmasin, sepertinya mempunyai “jurus maut” yang ampuh untuk menjawab kegelisahan dan kegundahan masyarakatnya yang seperti api dalam sekam. Membangun ruang publik dan atau Ruang Terbuka Hijau berbasis budaya dan ekologi sungai yang representatif menjadi pilihan utama sekaligus jurus paling ampuh untuk menjawab berbagai kegelisahan sosial masyarakat Kota Banjarmasin.
Kenapa harus membangun ruang publik dan atau Ruang Terbuka Hijau berbasis ekologi sungai? Kenapa bukan yang lain? Seperti membangun Kebun Raya misalnya!? Atau membangun taman-taman asri dengan kebun binatang mini di sudut-sudut kota seperti yang dilakukan Pemkot Surabaya?
Dengan luas wilayah hanya 98km2 dan kepadatan penduduk sekarang ini lebih dari 7000 jiwa/km2 plus didominasi lahan basah atau rawa-rawa, bukan perkara mudah membangun ruang publik di Kota Banjarmasin. Hal ini memang diakui oleh (mantan) Walikota Banjarmasin H. Muhidin ketika menanggapi permasalahan minimnya ruang publik dan terbuka hijau di Kota Banjarmasin. Mungkin ini salah satu jawaban mengapa di Kota Banjarmasin tidak terdapat alun-alun yang umumnya menjadi landmark sebuah kota seperti layaknya ibu kota kabupaten/kota di daerah lain! Situasi ini memang bukan domain Kota Banjarmasin saja, tapi hampir semua kota besar di Indonesia.
Dengan segala keterbatasan yang ada, Pemko Banjarmasin memang tidak mempunyai banyak opsi mudah dan memadai untuk mengembangkan ruang publik di Kota Banjarmasin. Tapi Kota Banjarmasn dengan segala keterbatasannya tetap harus berubah dan berbenah. Pelan tapi pasti, seiring berjalannya waktu ternyata justeru keterbatasan inilah yang akhirnya menuntun kesadaran semua elemen di Kota Banjarmasin untuk kembali menjadikan sungai sebagai sentra kehidupan sosial masyarakat Kota Banjarmasin. Salah satunya dengan mengembangkan potensi ekologi sungai menjadi kawasan terpadu yang multimanfaat, yaitu sebagai daerah konservasi, pariwisata, pendidikan dan tentunya stimulus perekonomian. "Sambil menyelam minum air” mungkin itu gambaran upaya strategis yang dilakukan Pemerintah Kota Banjarmasin membangun ruang publik dan atau ruang terbuka hijau yang berbasis sungai. Selain untuk memenuhi kebutuhan internal masyarakatnya juga berfungsi ganda sebagai upaya memperkuat brand image Kota Banjarmasin, khususnya di sektor pariwisata sebagai kota yang identik dengan sungai atau budaya sungai. Kedepan, hal ini tentu akan memberi dampak ikutan yang signifikan bagi nilai jual aktifitas dan destinasi pariwisata Kota Banjarmasin khususnya yang berbasis sungai
Pasar Terapung Alami, Ruang Publik Asli Produk Budaya Sungai
(Sumber Foto : anekatempatwisata.com)

Harus diakui memang, arah pembangunan Kota Banjarmasin dalam dua dekade terakhir seperti meminggirkan sungai dan budaya sungai. Dampaknya sangat besar! Banyak alur sungai yang hilang dengan berbagai sebab, pendangkalan sungai semakin massif, pencemaran air sungai semakin mengerikan, krisis air bersih di musim kemarau (sebuah ironi sebagai daerah yang identik dengan budaya air/sungai) dan ancaman banjir besar yang mengancam setiap musin hujan (Masih ingat!? Rata-rata tinggi permukaan tanah di Kota Banjarmasin lebih rendah dari permukaan air laut). Tapi semua itu cerita lalu! Sekarang Kota Banjarmasin tengah bebenah untuk berubah dan semoga Istiqomah! Berangkat dari budaya sungai sebagai identitas Kota Banjarmasin, maka tidak salah jika pilihannya adalah kembali menjadikan ekologi sungai sebagai titik sentral dari proyek pembangunan ruang publik dan atau ruang terbuka hijau di Kota Banjarmasin. Meskipun bentangnya tidak terlalu luas tapi quantity dan panjangnya aliran sungai yang mengaliri Kota Banjarmasin dirasa cukup untuk menjadi oase menyegarkan bagi Kota Banjarmasin“.

GAMBARAN GLOBAL TAHAPAN TEKNIS PEMBANGUNAN RUANG PUBLIK BERBASIS (BUDAYA) SUNGAI DI KOTA BANJARMASIN
Berikut, gambaran global tahapan teknis proses pembangunan ruang publik dan atau Ruang Terbuka Hijau berbasis ekologi sungai di Banjarmasin.

1. Inventarisasi
Semua sungai besar maupun kecil yang mengalir di Kota Banjarmasin di data ulang, identitas dan kondisi fisik sungai dicatat secara detail selain untuk arsip, juga menjadi bahan acuan untuk menyusun skala prioritas pada kebijakan pembangunan ruang publik dan atau Ruang Terbuka Hijau selanjutnya.

2. Pelabelan

Label Sungai : Sungai Pemurus
(Sumber Gambar : Koleksi Pribadi)

Masing-masing sungai juga diberi tanda pengenal berupa papan nama dan yang dipasang ditempat terbuka yang mudah diakses/dibaca oleh siapapun sebagai pengenal sekaligus alat sosialisasi kepada masyarakat.
Selain sebagai tanda pengenal, pelabelan juga berfungsi sebagai sarana edukasi kepada masyarakat agar kembali mempunyai rasa memiliki dan sadar akan fungsi dan peran sungai bagi keseimbangan ekosistem.

3. Normalisasi Sungai.
Dari sekian banyak sungai yang mengalir di Kota Banjarmasin memang tidak semua berfungsi sebagaimana mestinya, bahkan ada beberapa di antaranya yang hilang karena telah berubah fungsi. Untuk itu perlu dilakukan normalisasi fungsi sungai dengan mengembalikan kondisi fisik badan sungai dan fungsinya seperti semula.
Disini, proses yang paling banyak memakan waktu dan biaya adalah proses pembebasan lahan yang terlanjur dikuasai oleh masyarakat. Sedangkan aktifitas yang paling dominan adalah pengerukan sungai. Karena banyaknya sungai yang ada, maka pelaksanaanya dilakukan secara bertahap sesuai dengan skala prioritasnya.

4. Pembangunan Fisik.
Pembangunan fisik prasarana pendukung dilakukan sesuai keperluan dan desain yang telah ditetapkan.

5. Pemeliharaan/Perawatan Fisik
Diantara aktifitas yang lain, fungsi pemeliharaan biasanya dianggap yang paling mudah tapi kenyataanya di fungsi inilah biasanya banyak terjadi kegagalan. Sehingga banyak sarana dan prasarana penunjang destinasi yang akhirnya rusak, raib dan kadang tidak berfungsi sehingga mengurangi kenyamanan bahkan keamanan

BUKTI BANJARMASIN MULAI BERUBAH
Kota Banjarmasin sekarang memang beda! Semakin cantik! Sama persis dengan idiom Banjarmasin Bungas yang mulai popular di kalangan masyarakat tanah air. Bungas berasal dari kosakata bahasa Banjar yang artinya cantik.
Inilah beberapa ruang publik sekaligus ruang terbuka hijau baru yang menambah bungas Kota Banjarmasin

1. Komplek Siring Sungai Martapura, Jl. Piere Tendean dan Jl. Jendral Sudirman

Taman Siring Sungai Martapura
(Sumber Gambar : bocahpetualang.com)

Komplek siring di sisi Jl. Jendral Sudirman lebih dulu dibangun oleh pemko Banjarmasin, letaknya yang strategis di seberang jalan Komplek Masjid Sabilal Muhtadin. Ruang publik yang satu ini merupakan tempat favorit berbagai komunitas seni, fotografi, kuliner, otomotif, olahraga dan ketangkasan lainnya untuk berkumpul dan menunjukkan eksistensinya. Disini sering diadakan berbagai event pameran dan perlombaan untuk masyarakat. Setiap hari minggu pagi di lokasi ini merupakan salah satu area tempat penyelenggaraan car free day sehingga masyarakat Kota Banjarmasin yang ingin menikmati udara pagi sambil berolahraga atau mencicipi kuliner khas Kota Banjarmasin yang maknyus atau belanja di pasar terapung “baru” selalu tumpah ruah di tempat ini.

Menara Pandang
(sumber gambar : borneonews.co.id)

Sedangkan komplek siring Sungai Martapura di sisi Jl. Piere Tendean letaknya di seberang Sungai Komplek Siring Sungai Martapura sisi Jl. Jendral Sudirman. Komplek ini lebih lengkap dan lebih luas dibanding dengan yang di sisi Jl. Jendral Sudirman. Cocok untuk wisata murah bersama keluarga tercinta. Icon ruang publik yang diresmikan tahun 2014 ini adalah menara pandang yaitu bangunan berlantai 4 dangan tinggi 21 m dengan arsitektur Banjar modern yang bisa di gunakan untuk bebagai aktifitas, seperti pameran, atraksi musik, seni dan budaya, perlombaan dan tentunya untuk melihat view Kota Banjarmasin dari ketinggian dengan cara berbeda.

    Rumah Anno 1925
      (Sumber Gambar : tribunnews.com)

Selain itu di komplek ini juga terdapat 2 Rumah ber-arsitektur Banjar yang dudah cukup tua, yang biasa disebut masyarakat dengan rumah Anno 1925 dan rumah hijau. Selain itu, komplek ini juga dilengkapi dengan taman dengan tanaman hijau yang rindang dan luas, sarana ibadah, dan tentunya toilet. Setiap hari Minggu pagi dan hari libur lainnya, tempat ini selalu penuh dengan aktifitas masyarakat. Khusus di hari Minggu di sini terdapat pasar terapung “baru” yang siap memanjakan pengunjung dengan sensasi belanja hasil pertanian/perkebunan dari pedalaman plus souvenir atau oleh-oleh cantik khas Kalimantan di atas perahu.

(Sumber Gambar : batumeranti.desa.id)

      
 (Logo Dufan: Sumber Gambar : hoetravel.com)

Dari titik ini pengunjung juga bisa memulai wisata susur sungai bersama keluarga mengelilingi Kota Banjarmasin untuk melihat-lihat rutinitas masyarakat Banjar dengan berbagai pernik budaya sungainya yang khas seperti melihat lanting (rumah terapung), maunjun (menangkap ikan khas masyarakat Banjar) atau mengunjungi pasar terapung di Sungai Barito, Kuin lanjut ke Pulau Kembang, pulau kecil ditengah-tengah Sungai Barito yang menurut cerita daerah dari mulut ke mulut yang berkembang di masyarakat Banjar merupakan sepasukan tentara penjajah bersama kapal angkutnya yang dikutuk menjadi monyet. Pulau ini menjadi habitat beberapa jenis monyet termasuk bekantan (Nasalis larvatus) atau si monyet belanda (karena berhidung mancung) icon Kalimantan Selatan yang juga menjadi logo wahana hiburan "Dunia Fantasi (Dufan)" Ancol . Pasar terapung Lok Baintan atau mengunjungi destinasi wisata kuliner Soto Banjar “Bang Amat” di daerah Banua Hanyar ada juga destinasi Museum WASAKA (Waja Sampai Kaputing), yaitu museum perjuangan rakyat Banjarmasin dan Kalimantan Selatan.

2. Taman Maskot Patung Bekantan

 Finishing Patung Bekantan Raksasa
(Sumber Gambar : beritaborneo.com)

Komplek taman dengan icon patung bekantan raksasa setinggi 8 meter ini masih berada di Jl. Pierre Tendean, dengan Komplek Taman siring Martapura sisi Jl. Piere Tendean yang ada menara pandangnya dipisahkan oleh ruas jembatan atau tepatnya di seberang Taher Square. Di komplek taman ini selain terdapat patung bekantan raksasa yang menyemburkan air dari mulutnya juga terdapat sarana olahraga dan seni, seperti arena basket dan panggung hiburan. Ruang publik yang masih dalam tahap finishing ini sangat cocok untuk wisata keluarga.
3. Taman Siring Sei Baru
Taman siring Sungai Martapura di Sei Baru (Sungai Baru) sebenarnya masih satu alur dengan 2 Komplek taman siring sebelumnya. Posisinya dipisahkan oleh ruas Jl. Ahmad Yani. Di paal (kilo meter) 1. Komplek ruang publik yang satu ini masih dalam tahap pembangunan. Kampung Sei Baru, dulunya dikenal sebagai “kampung ketupat” di Kota Banjarmasin. Sekarang, Kampung ketupat Sei Baru masih ada dan tetap eksis, hanya sebagian saja (di bantaran sungai) yang harus direlokasi karena terkena proyek pembangunan taman siring Sei Baru
Inilah  realitas wajah ruang publik di Kota Banjarmasin, Kota tua di ujung selatan Pulau Kalimantan yang terus berusaha berbenah mencari jati dirinya dengan menggali semua potensi budaya yang dimilki untuk meneruskan peradaban dan keberlangsungan harmoni masyarakatnya dalam bingkai kemakmuran dan kemaslahatan bersama. Selamat ulang tahun yang ke 489, Kota Banjarmasin! Semoga semakin Bungas dan langkar. Amin..

"Waja Sampai Kaputing" 


Catatan :






Artikel ini mendapatkan penghargaan juara ke-2 dalam Blog Contest dalam rangka memperingati Hari Habitat Dunia 2015 yang diselenggarakan oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat bekerja sama dengan Kompasiana. Di posting pertama kali di Kompasiana  pada hari terakhir . Untuk menyaksikan video penyerahan hadiah yang dilaksanakan di Wisma Werdhapura, Jl. Tamblingan 49, Sanur, Denpasar Bali, bisa klik di sini
Link pengumuman lomba, klik disini
Link pengumuman pemenang, klik disini





Resume artikel ini bersama-sama dengan resume artikel  juara lainnya dipajang di ajang pameran HHD 2015 yang berlokasi di Wisma Werdhapura, Jl. Danau Tamblingan No.49 Sanur, Denpasar, Bali. Tanggal 09-12 Oktober 2015


Tidak ada komentar:

Posting Komentar