Setelah rangkaian acara
seremonial malam puncak Hari Habitat Dunia 2015 (HHD 2015) di Wisma Werdhapura, Sanur selesai, saya
langsung bergegas menuju kamar tempat saya dan dua rekan kompasianer Ali Muakhir
dan Martino menginap. Tempat
menginap kami masih satu lokasi dengan tempat acara berlangsung yaitu di Wisma
Werdhapura. Mungkin karena sudah kelelahan setelah melakukan penerbangan masing-masing
dari CGK dan BDG, dua sahabat saya Ali Muakhir
dan Martino sepertinya langsung go to bed.
Meskipun saya sebenarnya juga
merasa lelah dan penat setelah hampir 7 jam melakukan “perjalanan” udara BDJ-DPS, dan sempat transit di JOG hampir 4
jam. Setelah mandi (maaf, burung besi milik Garuda yang membawa saya terbang BDJ-DPS
baru turun saat acara sudah dimulai, jadi sepanjang perjalanan dari bandara
sampai tempat acara selama kurang lebih 45 menit handphone saya terus berdering. Panitia seperti panik karena
keterlambatan saya. Begitu sampai di tempat acara, ternyata saya sudah ditunggu
oleh 2 orang ibu-ibu dari Kemen PUPR di depan lobby dan oleh mereka saya
langsung diminta untuk ganti “kostum”, pakai batik tanpa mandi dan bersih-bersih dulu. Kebayang deh….rasa dan baunya badan
saat itu….ha…ha…ha….! Alasanya, acara inti untuk kami, “penyerahan hadiah” Blog
Competition sebentar lagi dimulai) dan membereskan pernak-pernik hadiah
yang baru saja di berikan panitia, tiba-tiba…
“…..Toook…took …took!” Ada
bunyi ketokan di pintu kamar saya. Ternyata sahabat saya yang sejak lulus
kuliah sekitar 15 tahun lalu tidak pernah bersua, sekarang berdiri di depan
pintu dengan pakaian layaknya seorang ustad dengan kopiah haji berwarna putih
menutupi kepala. Dia Ustad Imam Tumaji! Sahabat lama yang sekarang sudah
menetap di Kota Denpasar, rumahnya kira-kira 15 menit perjalanan dari tempat saya
menginap di Wisma Werdhapura. Kami memang sudah janjian untuk bertemu. Setelah
berbincang sejenak untuk melepas rindu karena sekian lama nggak ketemu, Ustad Imam
Tumaji menawari saya untuk jalan-jalan keliling Kota Denpasar dengan
mengendarai sepeda motor, “rasakan sensasi malam di Denpasar” katanya. Tanpa pikir
panjang tawaran menikmati sensasi malam di Kota Denpasar langsung saya iyakan.
Disinilah cerita dimulai…..
Ada
yang sedikit janggal, ada yang kurang dalam perjalanan itu! Ketika Ustad Imam Tumaji
mempersilakan saya untuk naik ke boncengan sepeda motornya, saya menanyakan helm untuk saya. Maklum, sudah menjadi kebiasaan
saya di Banjarmasin, untuk mengendarai
sepeda motor di jalan raya harus memakai perlengkapan standart yaitu helm standart yang sudah ber-SNI.
Jawaban mengejutkan datang dari Ustad Imam Tumaji, ternyata dia memang hanya membawa 1 helm
saja. Tentu saya terbengong-bengong dibuatnya. Dalam hati saya bertanya-tanya….Mau
ngajak jalan-jalan berkeliling Kota Denpasar kok Cuma membawa 1 helm saja.
“ Jangan kuatir, pakai kopiah
haji saya saja!” jawabnya. Saya semakin bingung.
“Kok pakai kopiah haji? Memang di
Kota Denpasar tidak ada Polisi yang berjaga pada malam hari? Pikir saya dalam hati.
Menurut Ustad Imam Tumaji, Di
Bali berbeda dengan daerah di Indonesia
lainnya! Disini ada semacam aturan tidak tertulis menyangkut masalah pemakaian
helm di jalan raya. Bagi semua warga Bali, apapun
agamanya selama yang bersangkutan memakai atribut di kepala untuk kepentingan
ibadah (Hindu ; Udeng untuk
laki-laki, Sanggul untuk wanita,
Islam ; Kopiah haji untuk laki-laki, Jilbab untuk perempuan.),
maka tidak diwajibkan untuk memakai helm ketika berkendara roda 2 di jalan
raya.
“Wooooow, ini bentuk dari
kebijakan yang tidak biasa menurut saya, ini memang hanya ada di Bali!
sebuah bentuk penghormatan terhadap “local genius” (meminjam istilah
Ketua Komisi I DPRD Bali, Ketut Tama Tenaya) Bali. Jika
merujuk pada istilah “local genius”, sepertinya
dispensasi tidak wajib pakai helm bagi pengendara roda 2 di jalan raya di Bali
awalnya diberikan kepada umat Hindu saja,
sebagai identitas religi dan budaya asli masyarakat Bali, tapi dalam
perkembangannya seperti ada pelebaran ruang dispensasi tidak wajib helm ini.
Umat Islam (Bali) yang kebetulan salah satu simbol atribut
identiasnya juga berada di kepala (Kopiah Haji untuk laki-laki dan jilbab untuk
perempuan,) akhirnya ikut “menikmati” dispensasi ini.
Dengan perasaan sedikit ragu,
akhirnya saya ikuti saran Ustad Imam Tumaji untuk memakai kopiah hajinya dan
akhirnya malam itu kami memang benar-benar berkeliling Kota Denpasar dengan
hanya memakai 1 helm yang dipakai Ustad Imam Tumaji yang nyetir didepan sedang
saya yang di belakang hanya pakai kopiah haji saja.
Jujur. Sepanjang perjalanan yang kami
lalui malam itu sebenarnya terbersit rasa ragu dan cemas dalam hati saya.
Apalagi kalau harus melewati titik persimpangan (perempatan, pertigaan) yang dijaga
polisi atau ada pos polisinya degub jantung saya akan semakin kencang…..ada
sensasi ganjil disana! Mungkin karena di Kota Banjarmasin saya tidak terbiasa (mungkin
lebih tepatnya “tidak mungkin”) dengan apa yang kami lakukan seperti malam ini,
keliling Kota tanpa atribut
lengkap. Karena kalau ini saya lakukan di Banjarmasin
pasti akan menimbulkan masalah besar (duit tilangnya…he…he…he….)
Tapi memang benar kata Ustad Imam
Tumaji! Mungkin karena belum terbiasa saja, nanti lama-lama terbiasa kok! Haaaah
terbiasa….? Waduuuuuh.
Setelah tikungan demi tikungan,
pos polisi demi pos polisi dan polisi demi polisi kami lalui, berangsur-angsur
rasa cemas dan canggung saya mulai menghilang. Tatapan bapak-bapak polisi yang
sedang berdinas jaga di jalanan yang awalnya terasa tajam kearah saya, lama-kelamaan
terasa lebih bersahabat dan akhirnya sayapun benar-benar bisa menikmati sensasi
eksotisnya berkeliling Kota Denpasar di malam hari yang sebenarnya! Mau coba?
Setelah puas berkeliling dan (sempat
tiga kali singgah di area kuliner) menikmati malam di Kota Denpasar, akhirnya
sekitar jam 01.30 WITA dinihari kami memutuskan untuk kembali ke Wisma
Werdhapura di Sanur, tempat saya menginap dan kami sepakat untuk melanjutkan sensasi
petualangan (pakai kopiah haji) besok pagi. Hmmmmm sensasi apalagi yang nanti
didapat ya……?
Pagi akhirnya datang juga!
Setelah Sholat Subuh saya turun ke pantai yang letaknya di belakang hotel. Tujuannya jelas, nungguin
sunset di pantai Sanur sambil rebahan di gazebo yang sering dipakai syuting FTV
atau sinetron-sinetron di TV kita. Tidak lama sang mentari benar-benar
memberikan fragmentasi alam yang luar biasa indahnya. Sayang seribu sayang! Fragmentasi
alam yang menjadi salah satu andalan wisata di Bali itu
tidak sempat terekam baik dalam bentuk foto maupun video karena kamera dan HP sedang
lowbatt, lupa untuk nge-charge.
Setelah beberapa saat menikmati
indahnya awal perjalanan sang mentari untuk menerangi bumi pagi ini, saya dan
dua sahabat kompasianer, Ali Muakhir dan
Martino akhirnya meneruskan langkah menuju tempat sarapan yang letaknya
di bibir pantai Sanur. Kira-kira kebayang nggak gimana indahnya suasana saat
itu?....Hmmmm pokoknya keren dah….
Pagi itu kami sarapan dengan menu
masakan Indonesia
dan satu menu khas Bali, sate lilit. Ditengah-tengah
cengkerama sarapan pagi, tiba-tiba datang Ustad Imam Tumaji dengan seyuman
khasnya yang masih seperti dulu saat masih kuliah, selalu sanggup membuat
siapapun “terhipnotis” untuk lebih bersemangat menjalani hidup. Obrolan pagi
saat sarapan itu semakin seru ketika Bapak Edward Abdurahman dari Kemen PUPERA
ikut bergabung dan menceritakan berbagai pengalaman serunya keliling ke
berbagai Negara untuk mengikuti workshop tentang tata kelola lingkungan. Tidak
terasa waktu belalu begitu cepat, kami baru tersadar ketika Martino minta ijin pamit mau berkemas,
soalnya jam 09.30 harus terbang balik ke CGK.
Setelah bersama-sama mengurus “berbagai”
administrasi dengan pihak panitia dari Kemen PUPERA, kami bertiga berpisah Martino berkemas dan langsung meluncur
ke Bandara DPS, Ali Muakhir siap-siap berkemas dan saya juga langsung check out dari Wisma Werdhapura. Bersama Ustad Imam Tumaji kami
akan meneruskan petualangan kami yang belum
selesai.
Waktu di Jam tangan saya
menunjukan pukul 10.15 WITA dan saya harus terbang balik DPS-BDJ transit SUB jam 12.50 WITA. Artinya ada
space waktu sekitar 1,5 jam saja
untuk menjelajah Kota Denpasar , karena 1 jam sebelum take off saya harus sudah boarding.
Waduuuuuuh mepet bangeeeeet!
“Let’s go!” Kata Ustad Imam
Tumaji.
Lagi-lagi saya disuruh pakai
kopiah haji yang tadi malam diikhlaskan sebagai kenang-kenagan buat saya.
Dengan tas ransel yang telah penuh di punggung, Ustad Imam Tumaji langsung
tancap gas……Tujuan kami adalah mencari buah tangan khas Bali
untuk keluarga dirumah. Liku-liku jalanan Kota Denpasar yang kami lalui tidak
satupun yang saya ingat saking kencangnya Ustad Tumaji membawa sepeda motor,
karenanya perasaan was-was kembali muncul dalam hati saya. Selain hanya memakai
kopiah haji saja tanpa helm, tentu penampilan saya bukanlah sesuatu yang umum
bagi masyarakat setempat, ditambah lagi kendaraan
yang melaju kencang sering menjadi perhatian sesama pengendara dan polisi yang
berjaga di beberapa titik yang kami lalui.
Tepat di ruas jalan Tukat Bilah (nama jalan ini saja yang
saya ingat, karena sempat membaca namanya di beberapa lokasi) tiba-tiba Ustad
Imam Tumaji mengurangi kecepatan secara drastic. Ternyata di depan banyak pecalang tengah berjaga, sedangkan sebagian
lainnya mengatur lalulintas. Ternyata di ruas jalan Tukat Bilah itu sedang ada iring-iringan masyarakat yang sedang
mempersiapkan upacara ngaben. Dengan
pelan kami menyusuri sepanjang iring-iringan warga yang tengah mempersiapkan upacara
ngaben yang panjangnya hampir 500
meter tersebut, setelah itu kami melaju dengan kecepatan normal kembali alias
ngebuuuuut!
Akhirnya kami sampai di tujuan
kami yang pertama, yaitu di pusat oleh-oleh Bali Erlangga 2 di Jl. Nusa Kambangan 160 A
Denpasar. Banyaknya item produk oleh-oleh yang disediakan dari kaos, kain,
snack, dan berbagai pernak-pernik khas Bali membuat kami
tertahan agak lama disini. Sampai ustad Imam Tumaji mengingatkan saya. “Durasiiiiiiii…..!
Setelah foto-foto sejenak, kami langsung melanjutkan ptualangan dengan si
kopiah haji menuju ke oleh-oleh khas Bali Krisna yang letaknya tidak jauh dari Erlangga
2 di Jl. Nusa Kambangan. Setelah
mengobrak-abrik semua koleksi kaos yang saya cari kami langsung cabut dan
meneruskan petualangan menuju destyinasi oleh-oleh yang paling di cari oleh
wisatawan di Bali, pabrik kata-kata JOGER di jalan raya Kuta. Perjalanan dari outlet Krisna menuju
JOGER inilah yang paling mengangkan bagi saya. Selain melewati banyak pos
polisi, padatnya lalu lintas kota
menuju Kuta membuat perjalanan bersama si kopiah haji agak tersendat dan satu
lagi, kami dibatasi durasi yang semakin mepet! Benar saja dugaan kami, karena sekarang
hari sabtu berarti saatnya weekend, JOGER pasti penuh sesak. Setelah memilih dan
memilah oleh-oleh sambil berlari nabrak sana-sini, saya langsung menuju kasir
dan……antrinya masih 15 orang lagi! Saya melirik jam tangan saya. Sekarang jam
11.50 artinya tepat 1 jam lagi pesawat Lion yang membawa saya pulang ke BDJ
akan terbang. Syukurnya, Ustad Imam Tumaji bilang. Durasi masih cukup kalau
antrian ludes dalam waktu 10-15 menit! Sambil terus menunggu antrian di kasir,
saya terus memantau perjalanan putran jarum jam di tangan saya. Alhamdulillah,
tet…jam 12.05 kami sudah keluar dari rumah pabrik kata-kata JOGER dan harus
kembali menyusuri jalanan menuju bandara DPS, sekali lagi dengan si kopiah
haji! Dengan kecepatan layaknya pembalap motoGP, USTAD Imam Tumaji memacu si
kuda besi dengan meliuk-liuk di sela-sela padatnya ruas jalanan menuju bandara
DPS dan akhirnya tepat pukul 12.20 kami sampai di tempat parker sepeda motor
bandara DPS. Tapi, nyali saya kembali ciut ketika mengetahui jarak antara
tempat parkir sepeda motor ini dengan area boarding
bandara masih harus jalan kaki sejauh sekitar 1km lagi, apalagi kami membawa
barang bawaan yang tidak sedikit. Dengan setengah berlari sambil terengah-engah
akhirnya sampai juga kami di ruang keberangkatan bandara DPS. Setelah mengucapkan
salam perpisahan, Akhirnya saya tinggalkan Ustad Imam Tumaji yang telah membawa
saya mengenali sedikit keunikan Bali yang begitu luar
biasa berkesan. Betapa terkejut dan leganya saya, ternyata pesawat yang membawa
saya pulang ke BDJ ternyata di delay……(delay
kok seneng ya……..?!Ha…ha…ha…..)