Pada
tanggal 17 Nopember 1999 dalam sidang umum UNESCO di Paris Prancis, lembaga PBB
yang mengurusi pedidikan, ilmu pengetahuan dan kebudayaan itu menetapkan tanggal
21 Pebruari sebagai Hari Bahasa Ibu Internasional (International Mother Language Day), yaitu hari yang secara khusus
didedikasikan untuk mengingatkan bangsa-bangsa di dunia akan perlu dan
pentingnya menjaga serta melestarikan bahasa ibu yang dimiliki sebagai bagian
dari kekayaan budaya bangsa penuturnya.
Menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), bahasa ibu artinya adalah bahasa pertama
yang dikuasai manusia sejak lahir melalui interaksi dengan sesama anggota
masyarakat bahasanya, seperti keluarga dan masyarakat lingkungannya. Secara
umum, bahasa ibu di identikkan dengan bahasa daerah.
Sayang
di Indonesia yang kekayaan bahasa daerahnya menempati urutan ke-2 (741, data
UNESCO tahun 2008) terbanyak di dunia setelah Papua New Guinea (820), gaung dari
momentum Hari Bahasa Ibu Internasional
sepertinya nyaris tidak terdengar. Padahal menurut penelitian Edi
Subroto, guru besar fakultas sastra UNS Surakarta, laju kepunahan bahasa daerah
di Indonesia adalah yang tertinggi di dunia sehingga diperlukan langkah-langkah
strategis yang konstruktif dan berkesinambungan untuk menjaga
keberlangsungannya dan momentum peringatan Hari Bahasa Ibu Internasional yang
jatuh setiap tanggal 21 Pebruari sebenarnya bisa dijadikan sebagai titik pijak
bagi upaya itu.
Menurut
data UNESCO tahun 2008, bahasa ibu di
dunia yang terdata ada 6.912 bahasa yang tersebar di seluruh dunia. Dari jumlah
bahasa ibu yang terdata itu 52% penuturnya dibawah 10.000 orang, 28% dibawah
1000 orang dan 10% penuturnya tidak sampai 100 orang. Padahal, menurut para
ahli bahasa diperlukan minimal 100.000 penutur aktif agar bahasa ibu bisa tetap eksis. Dari data
ditas bisa dihitung berapa banyak bahasa ibu yang akan segera lenyap dari muka
bumi?
Bagaimana
dengan bahasa Banjar? Dari data yang muncul dalam Summer Institute of Linguistic tahun 2006 Bahasa Banjar menduduki
peringkat ke-7 penutur terbanyak di Indonesia, dengan penutur kurang lebih
3.500.000 orang (Data Sensus Penduduk tahun 2000), Bahasa Banjar memang masih
tergolong aman dari kepunahan. Tapi jangan salah! Menurut data Badan
Pengembangan dan Pembinaan Bahasa tahun 2013, laju kepunahan Bahasa Banjar
sebesar 2,5%. Artinya dalam setahun ada 2,5 persen orang Banjar yang tidak lagi
menggunakan bahasa Banjar sebagai bahasa ibu dan angka ini menempati urutan
ke-6 terbesar diantara bahasa daerah yang ada di Indonesia.
Seperti
data di awal, permasalahan semakin menurunnya penutur bahasa ibu tidak dialami
oleh bahasa Banjar saja, tapi semua bahasa daerah di dunia. Hanya saja, sebagai
masyarakat Banjar tentu kita tidak ingin salah satu identitas budaya kita
pelan-pelan hilang dan punah karena ego kita sendiri yang tidak adil memperlakukan
kekayaan budaya sendiri.
Kalau
kita cermati, bahasa Banjar seperti halnya bahasa daerah lainnya di Indonesia,
nasibnya berbanding lurus dengan produk budaya berupa kesenian tradisional,
keduanya sama-sama terancam punah.tergusur oleh serangkaian budaya baru yang
lebih nge-pop. Tanda-tandanya semakin
jelas terlihat, terutama di kota-kota besar seperti Banjarmasin,
Banjarbaru dan kota-kota yang prosentase asimilasi antar suku dan budayanya
tinggi seperti Batulicin dan Tanjung.
Di
Kota besar seperti Banjarmasin,
penutur bahasa Banjar dari waktu-kewaktu semakin berkurang dan otomatis
berbanding lurus dengan intensitas penuturannya di lapangan. Kondisi ini memang
sulit terelakkan seiring semakin terbukanya akses komunikasi dan interaksi
sosial di Kota Banjarmasin yang mengakibatkan terjadinya proses asimilasi dan
akulturasi budaya didalamnya (termasuk bahasa), baik dengan budaya suku lain
maupun budaya pop yang dibawa oleh media informasi modern yang begitu cepat,
ringkas dan tanpa batas. Situasi ini diperparah oleh, sikap media massa baik
cetak maupun elektronik yang hanya memberikan sedikit ruang untuk etalase bahasa ibu atau bahasa daerah
dalam ruang besar yang dimiliki. Sehingga ruang interaksi masyarakat dengan
bahasa daerah hanya terfokus pada ruang verbal yang dari hari-kehari juga
semakin menyempit akibat imperialisme bahasa asing yang dianggap
lebih modern dan berkelas
Kehadiran
bahasa Indonesia
sebagai pemersatu bangsa, juga punya andil terhadap bergesernya bahasa ibu
masyarakat Banjar. Sebagai bukti awal, anak-anak usia sekolah yang sebagian
besar lahir dan besar di Kota Banjarmasin lebih memilih Bahasa Indonesia bahkan
bahasa inggris sebagai bahasa Ibu dan pergaulan sehari-hari daripada Bahasa
Banjar. Secara umum, alasan utamanya adalah lingkungan sosial Kota Banjarmasin
yang semakin heterogen dan kebutuhan
pendidikan. Situasi ini diperparah oleh kenyataan bahwa setting kurikulum dunia pendidikan kita masih belum bisa mendukung
eksistensi bahasa daerah secara proporsinal. Buktinya, kurikulum pendidikan kita masih terlihat
berat sebelah. Pelajaran bahasa daerah seperti tidak mendapat porsi yang layak
bila dibanding dengan bahasa asing. Faktanya, di Kota Banjarmasin tidak semua
sekolah dasar atau yang setingkat mengajarkan muatan lokal berupa pelajaran
bahasa Banjar. Kondisi ini mungkin sejalan dengan hasil penelitian Prof. Arif
Rahman, salah seorang pakar pendidikan Indonesia. Di
Jakarta, 72% siswa SMA tidak menggunakan bahasa daerah dalam pergaulan
sehari-hari baik dalam kelurga maupun dengan sesama teman. Mereka lebih
cenderung memakai bahasa asing dan bahasa prokem,
alasan utamanya adalah biar terlihat lebih modern atau tidak terlihat ndeso dan sebagian karena pandangan “orang
rumah” yang menganggap bahasa daerah memang tidak penting untuk masa depan
generasi sekarang.
Mengutip
pepatah Jawa witing tresno jalaran soko kulino, bagaimana anak-anak kita dan generasi mendatang bisa mengenali
apalagi mencintai dan melestarikan bahasa ibunya, bahasa daerahnya
masing-masing kalau kulino atau
sering bersentuhan saja tidak pernah? Di sini, peran lingkungan dan keluarga
juga sangat diperlukan sebagai katalisator
terdekat dalam penanaman pembiasaan berbahasa daerah dalam alam bawah sadar
anak-anak kita yang masih mudah untuk dibentuk, karena lingkungan dan keluarga
adalah ruang yang paling intensif dan efektif bagi semua anggota keluarga untuk
membangun sebuah kebiasaan berkomunikasi memakai bahasa ibu-nya sendiri.
Mungkin
bangsa ini, khususnya kita masyarakat Banjar perlu menjadikan semboyan “kayuh
baimbai, waja sampai kaputing” sebagai tagline motivasi untuk menyelamatkan nasib berbagai produk seni dan
budaya daerah (termasuk bahasa) di Indonesia.
Pepatah atau semboyan dalam bahasa Banjar diatas sangat familiar bagi
masyarakat Kota Banjarmasin dan Kalimantan Selatan. Selain tersemat dalam
lambang resmi daerah, keduanya merupakan roh dari perjalanan panjang perjuangan
masyarakat Kota Banjarmasin dan Kalimantan Selatan dalam membentuk tatanan
kehidupan yang bermartabat dan berbudaya luhur. Makna literal dari “kayuh
baimbai” adalah kayuh (sampan) bersama-sama/berbarengan. Ungkapan
semboyan ini merupakan pengejawantahan
dari harmoni yang tercipta dalam aktifitas mendayung perahu di sungai sebagai
bagian dari budaya perairan, identitas masyarakat Kota Banjarmasin dan suku
Banjar secara umum. Sedangkan “waja sampai kaputing” artinya,
(benda yang terbuat dari) baja dari pangkal sampai ujung. Diadopsi dari
semboyan ”haram manyarah lawan walanda, waja sampai kaputing” milik
Pangeran Antasari, (Pahlawan Nasional dari Kalimantan Selatan) dalam perang
Banjar melawan kolonial Belanda tahun 1859-1905. Secara umum makna filosofis
dari “kayuh
baimbai, waja sampai kaputing”
adalah mari berasama-sama, bekerja keras pantang menyerah sampai titik
darah penghabisan.
Apakah ini
berlebihan? Saya kira tidak, karena bahasa ibu, bahasa daerah kita adalah
identitas kita, simbol harkat dan martabat kita yang harus terus dijaga dan
dilestarikan keberadaannya.