Sekitar
lima tahun yang lalu, secara tidak sengaja saya menemukan sebaris kalimat sesanti yang tidak
biasa, “Banjarmasin Kota Wisata Buku”, terpampang di
salah satu pilar Toko Buku Gramedia Banjarmasin. Selain tidak biasa, sesanti “tidak umum” ini
memang asing di mata dan telinga. Jadi wajar kalau memunculkan pertanyaan dalam
benak siapapun yang sempat membacanya. Entah, apa maksud Toko Gramedia memajang
sesanti yang sama sekali
tidak familiar tersebut, sekedar kalimat promotif biasa atau memang ada maksud
tertentu yang terkandung di dalamnya? Selama ini Kota Banjarmasin tidak
mempunyai latar belakang hubungan yang signifikan dengan dunia per-bukuan,
sehingga diantara keduanya sama sekali tidak menunjukkan ke-identikan satu sama
lain. Apalagi dalam balutan kata wisata! Semakin tidak connect! Apa mungkin Kota
Banjarmasin bisa menjadi “Kota Wisata Buku?”
Meskipun
pada dasarnya merasa apatis dengan
sesanti “Banjarmasin Kota Wisata Buku”, tapi pesan tersirat dalam sesanti
tersebut sebenarnya sebuah lompatan ide atau gagasan yang sangat brilliant dan visioner untuk perkembangan
dan kemajuan Kota Banjarmasin kedepan, khususnya sektor pariwisata dan
perbukuan yang kebetulan saat ini menjadi PR paling aktual pemerintah kota
Banjarmasin dan Propinsi Kalimantan
Selatan secara umum.
Segenap warga Kota Banjarmasin, tentu sangat
bangga seandainya ide brilliant Toko
Buku Gramedia tersebut
benar-benar menjadi kenyataan. Menyandingkan Kota Banjarmasin dengan buku dalam
sebuah wahana berkonsep pariwisata, selain akan menambah destinasi wisata (edukatif)
baru bagi masyarakat Kota Banjarmasin dan sekitarnya, tentu juga akan membawa
dampak yang sangat positif bagi pertumbuhan budaya baca masyarakat banua yang tergolong masih rendah. Bahkan tidak
menutup kemungkinan, multiplier
effect-nya juga akan membangkitkan produktifitas dunia tulis
menulis dan kesusastraan banua yang
sedang mati suri, alias hidup segan mati tak mau dan yang tidak kalah pentingnya,
kehadiran wahana wisata buku diharapkan bisa menjadi wadah penyaluran
kreatifitas semua unsur masyarakat, terutama bagi para pemuda banua sehingga bisa membantu mengurangi keterlibatan mereka
pada tindak kriminal, sex bebas dan narkoba yang semakin mengkhawatirkan dari
ke hari.
Berkaca
dari diskripsi diatas, gagasan besar menjadikan “Banjarmasin Kota Wisata Buku”,
sangat layak untuk diapresiasi dan ditindaklanjuti secara bijak oleh semua
pihak yang berkepentingan. Tapi, sepertinya gayung tidak bersambut. Setelah
menunggu sekian lama ide segar yang tersirat dalam sesanti “Banjarmasin Kota Wisata Buku” tersebut sepi dari
apresiasi publik dan pihak-pihak terkait terutama para pemangku kebijakan di banua. Buktinya, selain tidak ada progress yang nyata,
spanduk kecil yang memuat tagline
“Banjarmasin Kota Wisata Buku” di Toko Gramedia bukannya semakin diperbesar dan
diperbanyak agar menjadi trending
topic dalam isu regional, justeru sudah menghilang sejak
lama dari tempatnya.
Syukurnya,
ketika Kota Banjarmasin tidak juga tertarik dengan godaan daya tarik serta
pesona dunia perbukuan, tidak terduga justeru tetangga sebelah Kota Banjarbaru yang
jeli membaca dan menangkap celah dari ruang kosong dunia perbukuan di banua dengan membangun sebuah
event perbukuan bertajuk Banjarbaru Book Fair (BBF), yaitu gelaran pameran buku terbesar di Kalimantan Selatan yang
di selenggarakan sejak tahun 2013. Artinya tahun ini penyelenggaraan BBF telah memasuki
edisi yang ke-3. Hebatnya, dari
tahun ke-tahun kualitas dan kuantitas event ini terus bertumbuh disetiap penyelenggaraannya.
Salah satu indikatornya adalah kehadiran beberapa penulis ternama Indonesia
yang mau berbagi ilmu kepenulisan dan tentunya liku-liku jalan sukses yang
telah mereka pilih dan jalani untuk menjadi seorang penulis sukses. Mungkinkah gelaran
BBF bisa menjadi
pondasi sekaligus batu loncatan bagi lahirnya sebuah destinasi “Kota Wisata Buku”
di Banjarbaru? Sebuah destinasi wisata (edukatif) buku yang sifatnya permanen
tidak seperti gelaran BBF yang
lebih bersifat insidental?
Jika
mengacu pada animo masyarakat dan komitmen pemerintah kota Banjarbaru selaku
pemangku kebijakan yang selama ini selalu all out menjadi penyelenggara, sepertinya bukan hal yang
mustahil jika kedepan Kota Banjarbaru bisa melahirkan sebuah destinasi wisata
baru dengan genre edukatif
yang berkualitas, pertama di Pulau Kalimantan, “Kota Wisata Buku”.
Kota
Banjarbaru mempunyai modal awal yang memadai untuk menumbuhkan kembangkan
destinasi Wisata Buku, selain event BBF yang
terbukti sukses, kota Banjarbaru
mempunyai lembaga pendidikan dari tingkat SD sampai perguruan tinggi, baik negeri,
swasta bahkan kedinasan yang tentunya sangat membutuhkan ruang ekspresi edukatif
untuk menumpahkan gejolak kreatifitas yang representatif sebagai wadah interaktif
dengan “taste” berbeda
yang lebih luas dan komprehensif dari
sekedar bangku sekolah, bangku kuliah maupun dunia maya, guna mendukung
pengembangan pengetahuan dan wawasan baik individu maupun komunal. Selain itu, lahan
Kota Banjarbaru yang masih luas plus tata
kota Banjabaru yang sangat mendukung (rapi, terencana dan teorganisir dengan
baik) sangat memungkinkan untuk memberi
ruang permanen yang representatif bagi tumbuh
kembang wahana edukatif yang bisa menampung semua aktifitas kreatif masyarakat,
terutama yang berkaitan dengan dunia perbukuan.
Untuk
konsep teknis destinasi “wisata buku” di lapangan, pada dasarnya tidak ada
konsep baku yang harus dijadikan acuan standarisasi. Sampai pada point ini yang berlaku
adalah hukum “pasar”, dimana kejelian dan kreatifitas membaca kebutuhan segmen
pasar yang dibidik, kemasan (packaging) destinasi
wisata yang di jual dan nilai lebih (benefit) yang
bisa di berikan kepada pasar akan mempengaruhi daya jual, daya saing dan
eksistensi sebuah destinasi wisata. Intinya, sejauh mana pengelola bisa
menerapkan strategi jitu untuk membangun dan mengembangkan sebuah destinasi
wisata yang berkualitas dan bernilai jual tinggi.
Melihat soliditas dan keseriusan Pemko Banjarbaru dalam membangun hajatan BBF dari awal sampai akhir, rasanya memang
layak kalau harapan besar lahirnya sebuah destinasi “Kota Wisata Buku” kita
mandatkan kepada Kota Banjarbaru. Mudah-mudahan, kegelisahan “positif”
masyarakat banua yang merindukan
sebuah destinasi wisata edukatif yang inovatif, menghibur, mendidik dan
tentunya berbiaya relatif murah segera terwujud guna memancing kembali gairah
dunia pariwisata dan perekonomian Kalimantan Selatan. Ayo, Banjarbaru
bisa.....!!!
Keren kang blog e ke mantaaaap
BalasHapus