Kamis, 12 Maret 2015

Kayuh Baimbai, Waja Sampai Kaputing (Refleksi Hari Bahasa Ibu Internasional, 21 Pebruari)

Pada tanggal 17 Nopember 1999 dalam sidang umum UNESCO di Paris Prancis, lembaga PBB yang mengurusi pedidikan, ilmu pengetahuan dan kebudayaan itu menetapkan tanggal 21 Pebruari sebagai Hari Bahasa Ibu Internasional (International Mother Language Day), yaitu hari yang secara khusus didedikasikan untuk mengingatkan bangsa-bangsa di dunia akan perlu dan pentingnya menjaga serta melestarikan bahasa ibu yang dimiliki sebagai bagian dari kekayaan budaya bangsa penuturnya.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), bahasa ibu artinya adalah bahasa pertama yang dikuasai manusia sejak lahir melalui interaksi dengan sesama anggota masyarakat bahasanya, seperti keluarga dan masyarakat lingkungannya. Secara umum, bahasa ibu di identikkan dengan bahasa daerah.
Sayang di Indonesia yang kekayaan bahasa daerahnya menempati urutan ke-2 (741, data UNESCO tahun 2008) terbanyak di dunia setelah Papua New Guinea (820), gaung dari momentum Hari Bahasa Ibu Internasional  sepertinya nyaris tidak terdengar. Padahal menurut penelitian Edi Subroto, guru besar fakultas sastra UNS Surakarta, laju kepunahan bahasa daerah di Indonesia adalah yang tertinggi di dunia sehingga diperlukan langkah-langkah strategis yang konstruktif dan berkesinambungan untuk menjaga keberlangsungannya dan momentum peringatan Hari Bahasa Ibu Internasional yang jatuh setiap tanggal 21 Pebruari sebenarnya bisa dijadikan sebagai titik pijak bagi upaya itu.
Menurut data UNESCO tahun 2008,  bahasa ibu di dunia yang terdata ada 6.912 bahasa yang tersebar di seluruh dunia. Dari jumlah bahasa ibu yang terdata itu 52% penuturnya dibawah 10.000 orang, 28% dibawah 1000 orang dan 10% penuturnya tidak sampai 100 orang. Padahal, menurut para ahli bahasa diperlukan minimal 100.000 penutur aktif  agar bahasa ibu bisa tetap eksis. Dari data ditas bisa dihitung berapa banyak bahasa ibu yang akan segera lenyap dari muka bumi?
Bagaimana dengan bahasa Banjar? Dari data yang muncul dalam Summer Institute of Linguistic tahun 2006 Bahasa Banjar menduduki peringkat ke-7 penutur terbanyak di Indonesia, dengan penutur kurang lebih 3.500.000 orang (Data Sensus Penduduk tahun 2000), Bahasa Banjar memang masih tergolong aman dari kepunahan. Tapi jangan salah! Menurut data Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa tahun 2013, laju kepunahan Bahasa Banjar sebesar 2,5%. Artinya dalam setahun ada 2,5 persen orang Banjar yang tidak lagi menggunakan bahasa Banjar sebagai bahasa ibu dan angka ini menempati urutan ke-6 terbesar diantara bahasa daerah yang ada di Indonesia.
Seperti data di awal, permasalahan semakin menurunnya penutur bahasa ibu tidak dialami oleh bahasa Banjar saja, tapi semua bahasa daerah di dunia. Hanya saja, sebagai masyarakat Banjar tentu kita tidak ingin salah satu identitas budaya kita pelan-pelan hilang dan punah karena ego kita sendiri yang tidak adil memperlakukan kekayaan budaya sendiri.
Kalau kita cermati, bahasa Banjar seperti halnya bahasa daerah lainnya di Indonesia, nasibnya berbanding lurus dengan produk budaya berupa kesenian tradisional, keduanya sama-sama terancam punah.tergusur oleh serangkaian budaya baru yang lebih nge-pop. Tanda-tandanya semakin jelas terlihat, terutama di kota-kota besar seperti Banjarmasin, Banjarbaru dan kota-kota yang prosentase asimilasi antar suku dan budayanya tinggi seperti Batulicin dan Tanjung.
 kaos hymunk
sumber gambar : Kaos Hy-Munk
sumber gambar : Kaos Hy-Munk
Di Kota besar seperti Banjarmasin, penutur bahasa Banjar dari waktu-kewaktu semakin berkurang dan otomatis berbanding lurus dengan intensitas penuturannya di lapangan. Kondisi ini memang sulit terelakkan seiring semakin terbukanya akses komunikasi dan interaksi sosial di Kota Banjarmasin yang mengakibatkan terjadinya proses asimilasi dan akulturasi budaya didalamnya (termasuk bahasa), baik dengan budaya suku lain maupun budaya pop yang dibawa oleh media informasi modern yang begitu cepat, ringkas dan tanpa batas. Situasi ini diperparah oleh, sikap media massa baik cetak maupun elektronik yang hanya memberikan sedikit ruang untuk etalase bahasa ibu atau bahasa daerah dalam ruang besar yang dimiliki. Sehingga ruang interaksi masyarakat dengan bahasa daerah hanya terfokus pada ruang verbal yang dari hari-kehari juga semakin menyempit  akibat imperialisme bahasa asing yang dianggap lebih modern dan berkelas
Kehadiran bahasa Indonesia sebagai pemersatu bangsa, juga punya andil terhadap bergesernya bahasa ibu masyarakat Banjar. Sebagai bukti awal, anak-anak usia sekolah yang sebagian besar lahir dan besar di Kota Banjarmasin lebih memilih Bahasa Indonesia bahkan bahasa inggris sebagai bahasa Ibu dan pergaulan sehari-hari daripada Bahasa Banjar. Secara umum, alasan utamanya adalah lingkungan sosial Kota Banjarmasin yang semakin heterogen dan kebutuhan pendidikanSituasi ini diperparah oleh kenyataan bahwa setting kurikulum dunia pendidikan kita masih belum bisa mendukung eksistensi bahasa daerah secara proporsinal. Buktinya,  kurikulum pendidikan kita masih terlihat berat sebelah. Pelajaran bahasa daerah seperti tidak mendapat porsi yang layak bila dibanding dengan bahasa asing. Faktanya, di Kota Banjarmasin tidak semua sekolah dasar atau yang setingkat mengajarkan muatan lokal berupa pelajaran bahasa Banjar. Kondisi ini mungkin sejalan dengan hasil penelitian Prof. Arif Rahman, salah seorang pakar pendidikan Indonesia. Di Jakarta, 72% siswa SMA tidak menggunakan bahasa daerah dalam pergaulan sehari-hari baik dalam kelurga maupun dengan sesama teman. Mereka lebih cenderung memakai bahasa asing dan bahasa prokem, alasan utamanya adalah biar terlihat lebih modern atau tidak terlihat ndeso dan sebagian karena pandangan “orang rumah” yang menganggap bahasa daerah memang tidak penting untuk masa depan generasi sekarang.
Mengutip pepatah Jawa witing tresno jalaran soko kulino, bagaimana anak-anak kita dan generasi mendatang bisa mengenali apalagi mencintai dan melestarikan bahasa ibunya, bahasa daerahnya masing-masing kalau kulino atau sering bersentuhan saja tidak pernah? Di sini, peran lingkungan dan keluarga juga sangat diperlukan sebagai katalisator terdekat dalam penanaman pembiasaan berbahasa daerah dalam alam bawah sadar anak-anak kita yang masih mudah untuk dibentuk, karena lingkungan dan keluarga adalah ruang yang paling intensif dan efektif bagi semua anggota keluarga untuk membangun sebuah kebiasaan berkomunikasi memakai bahasa ibu-nya sendiri.
Mungkin bangsa ini, khususnya kita masyarakat Banjar perlu menjadikan semboyan “kayuh baimbai, waja sampai kaputing” sebagai tagline motivasi untuk menyelamatkan nasib berbagai produk seni dan budaya daerah (termasuk bahasa) di Indonesia. Pepatah atau semboyan dalam bahasa Banjar diatas sangat familiar bagi masyarakat Kota Banjarmasin dan Kalimantan Selatan. Selain tersemat dalam lambang resmi daerah, keduanya merupakan roh dari perjalanan panjang perjuangan masyarakat Kota Banjarmasin dan Kalimantan Selatan dalam membentuk tatanan kehidupan yang bermartabat dan berbudaya luhur. Makna literal dari “kayuh baimbai” adalah kayuh (sampan) bersama-sama/berbarengan. Ungkapan semboyan ini merupakan pengejawantahan dari harmoni yang tercipta dalam aktifitas mendayung perahu di sungai sebagai bagian dari budaya perairan, identitas masyarakat Kota Banjarmasin dan suku Banjar secara umum. Sedangkan “waja sampai kaputing” artinya, (benda yang terbuat dari) baja dari pangkal sampai ujung. Diadopsi dari semboyan haram manyarah lawan walanda, waja sampai kaputing” milik Pangeran Antasari, (Pahlawan Nasional dari Kalimantan Selatan) dalam perang Banjar melawan kolonial Belanda tahun 1859-1905. Secara umum makna filosofis dari “kayuh baimbai, waja sampai kaputing”  adalah mari berasama-sama, bekerja keras pantang menyerah sampai titik darah penghabisan.
Apakah ini berlebihan? Saya kira tidak, karena bahasa ibu, bahasa daerah kita adalah identitas kita, simbol harkat dan martabat kita yang harus terus dijaga dan dilestarikan keberadaannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar