Kota
Banjarmasin, ibu kota Propinsi Kalimantan Selatan, dikenal orang dengan julukan
“Kota Seribu Sungai” karena memang banyak sungai yang membelah kota Banjarmasin,
dari yang kecil sampai yang besar. Konon, kalau dilihat dari udara, Kota
Banjarmasin lebih mirip gugusan pulau-pulau kecil yang disatukan oleh liukan sungai
sungai yang membelahnya. Keberadaan sungai-sungai di kota Banjarmasin
menjadikan kota yang posisinya 60 cm dibawah permukaan laut ini sebagai kota yang
sangat kental budaya perairannya. Hampir seluruh denyut nadi kehidupan
masyarakatnya tidak bisa dipisahkan dengan air dan sungai. Pasar terapung sebagai salah satu
ikon pariwisata di Banjarmasin merupakan salah satu bukti nyata produk budaya
perairan, dimana tempat bertemunya penjual dan pembeli yang lazimnya di atas
daratan, di Pasar Terapung tempatnya di atas sungai. Unik bukan!?
Selain
pesona seribu sungai dan pasar terapung, Kota Banjarmasin sebenarnya masih
mempunyai banyak aset yang “layak jual” ke publik, baik berupa alam lingkungan,
sejarah, kuliner juga seni dan budaya. Salah satu produk budaya Kota
Banjarmasin adalah Bahasa Banjar, bahasa ibu dari Suku Banjar penduduk asli
Kalimantan Selatan.
Bahasa
Banjar seperti halnya bahasa daerah lainnya di Indonesia, nasibnya berbanding
lurus dengan produk budaya yang berupa kesenian tradisional, keduanya sama-sama
terancam punah.tergusur oleh serangkaian budaya baru yang lebih nge-pop dan up to date.
Di
Kota besar seperti Banjarmasin, dari waktu-kewaktu penutur bahasa Banjar
semakin berkurang dan otomatis berbanding lurus dengan intensitas penuturannya/pengucapannya
di lapangan. Kondisi ini memang sulit terelakkan seiring semakin terbukanya akses
komunikasi dan interaksi sosial di masyarakat Kota Banjarmasin sehingga mengakibatkan
terjadinya proses asimilasi dan akulturasi budaya didalamnya, baik dengan budaya
suku lain maupun budaya pop yang dibawa oleh media informasi modern yang begitu
cepat, ringkas dan tanpa batas. Sehingga yang muncul ke permukaan sekarang ini bukan
lagi budaya banjar secara utuh, tapi budaya baru sebagai bentuk kompromi dari
proses asimilasi dan akulturasi lintas budaya.
Jujur!
Sebagai warga Kota Banjarmasin, sebenarnya saya sedih ketika melihat dan
mendengar fenomena terdegradasinya bahasa daerah termasuk bahasa Banjar
akhir-akhir ini. Sebagai bukti awal anak-anak usia sekolah yang sebagian besar lahir
dan besar di Kota Banjarmasin lebih memilih Bahasa Indonesia dan bahasa inggris
sebagai Bahasa Ibu dan pergaulan sehari-hari daripada Bahasa Banjar. Secara
umum, alasan utamanya adalah lingkungan sosial Kota Banjarmasin yang semakin heterogen. Situasi ini diperparah oleh kenyataan bahwa setting kurikulum dunia pendidikan kita masih belum bisa mendukung eksistensi
bahasa daerah secara proporsinal. Buktinya, kurikulum pendidikan kita masih terlihat berat
sebelah. Pelajaran bahasa asing masih menjadi prioritas utama daripada bahasa
daerah. Faktanya, di Kota Banjarmasin tidak semua sekolah dasar atau yang
setingkat mengajarkan muatan lokal berupa pelajaran bahasa Banjar.
Mengutip
pepatah Jawa witing tresno jalaran soko kulino, bagaimana anak-anak kita dan generasi mendatang bisa mengenali
apalagi mencintai dan melestarikan bahasa daerahnya masing-masing kalau kulino atau sering bersentuhan aja tidak
pernah? Diposisi ini, peran lingkungan dan keluarga juga sangat diperlukan
sebagai katalisator terpenting dalam penanaman pembiasaan berbahasa daerah
dalam alam bawah sadar anak-anak kita yang masih mudah untuk dibentuk, karena
lingkunan dan keluarga adalah ruang paling intensif dan efektif bagi semua
anggota keluarga untuk melakukan pembiasaan komunikasi verbal memakai bahasa daerah.
Mungkin
bangsa ini perlu menjadikan semboyan “kayuh baimbai, waja sampai kaputing”
sebagai tagline motivasi untuk
menyelamatkan nasib berbagai bahasa daerah di Indonesia. Pepatah atau semboyan
diatas sangat familiar bagi masyarakat Kota Banjarmasin dan Kalimantan Selatan.
Selain tersemat dalam lambang resmi daerah, keduanya merupakan roh dari
perjalanan panjang perjuangan masyarakat Kota Banjarmasin dan Kalimantan
Selatan dalam membentuk tatanan kehidupan yang bermartabat dan berbudaya luhur.
Makna literal dari “kayuh baimbai” adalah kayuh (sampan) bersama-sama/berbarengan.
Ungkapan semboyan ini merupakan pengejawantahan
dari harmoni yang tercipta dalam aktifitas mendayung perahu di sungai sebagai
bagian dari budaya perairan darat, identitas masyarakat Kota Banjarmasin dan
suku Banjar secara umum. Sedangkan “waja sampai kaputing” artinya,
(benda yang terbuat dari) baja dari pangkal sampai ujung. Diadopsi dari
semboyan ”haram manyarah lawan walanda, waja sampai kaputing” milik Pangeran
Antasari, (Pahlawan Nasional dari Kalimantan Selatan) dalam perang Banjar melawan
kolonial Belanda tahun 1859-1905. Secara umum makna filosofis dari “kayuh
baimbai, waja sampai kaputing” adalah mari berasama-sama, bekerja keras
pantang menyerah sampai titik darah penghabisan.
Apakah
ini berlebihan? Saya kira tidak, karena bahasa daerah kita adalah identitas
kita, penjaga harkat dan martabat kita sebagai sebuah entitas yang beradab dan berbudaya tinggi.
“Tulisan ini disertakan dalam kontes GA Sadar Hati – Bahasa Daerah Harus Diminati”