Bapak
Presiden @SBYudhoyono dan Bapak Presiden terpilih
@jokowi_do2, kabut asap adalah trauma
berkepanjangan yang sifatnya sudah laten bagi masyarakat Pulau Kalimantan,
khususnya di daerah kami Kecamatan Kertakhanyar, Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan Terus terang kami sudah frustasi dan hampir
hilang akal dengan kondisi ini. Setiap kemarau tiba kami seperti hidup dalam
dunia lain, dunia antah berantah yang tidak jelas alamatnya! Saat itu, yang jelas
kelihatan bagi kami hanyalah keburaman dan bayang-bayang! Akibatnya semua lini
kehidupan kami tidak bisa berjalan normal. Kesehatan kami terganggu, denyut perekonomian
kami terhenti, kehidupan sosial dan budaya kami jadi kehilangan arah.
Bapak
Presiden @SBYudhoyono dan Bapak Presiden terpilih
@jokowi_do2, jujur saja kami bingung dengan
situasi ini, 16 tahun sudah (bahkan mungkin lebih untuk daerah kami) musibah kabut
asap selalu terulang setiap musim kemarau tiba. Bagi kami ini sangat aneh! Rasanya
tidak masuk akal pemerintah sampai detik ini masih saja tidak berdaya menangani
dan menyelesaikan bencana selimut kabut asap di daerah kami.
Bapak
Presiden @SBYudhoyono dan Bapak Presiden terpilih
@jokowi_do2, kami mengakui selama ini pemerintah
dan masyarakat sebenarnya tidak tinggal diam dan terus mengupayakan
pengendalian secara maksimal terhadap masalah selimut kabut asap ini melalui
berbagai cara. Action pemerintah
melalui semua perangkatnya dari tingkat pusat sampai daerah memang ada bahkan
mungkin sudah maksimal, hanya saja (maaf bukan bermaksud mengajari) sepertinya masih
belum efektif dan efisien! Pemerintah dan masyarakat kita secara umum sapertinya
tidak mau belajar dari pengalaman! Pepatah ”Pengalaman
adalah guru yang terbaik” tidak pernah benar-benar dipahami dan
diaplikasikan dalam konteks yang sebenarnya! Bangsa ini sepertinya mudah lupa dan melupakan! Mudah-mudahan saja selanjutnya tidak ter-lupakan. Untuk kejadian (baca : bencana)
laten yang sekian tahun selalu terulang dan terulang lagi dengan intensitas,
siklus, bahkan kemungkinan penyebab yang selalu sama, mestinya tidak harus
berlarut-larut dan terulang-ulang terus seperti sekarang ini. Dengan didukung
peralatan modern dan canggih seperti satelit NOAA (National Oceanic and Atmospheric Administration) 19 (AMSC) dan
berbagai peralatan yang dimiliki oleh stasium BMKG plus SDM yang sudah terbiasa dan terlatih dipadu padankan dengan
data-data terdahulu yang akurat, rasanya mustahil bencana laten ini tidak bisa diprediksi
dan diatasi dengan cara yang efektif dan efisien. Maaf, sekedar mengingatkan
saja Bapak Presiden @SBYudhoyono dan Bapak Presiden terpilih
@jokowi_do2, ”keledai tidak akan jatuh untuk kedua kalinya di tempat yang sama” .
Bapak
Presiden @SBYudhoyono dan Bapak Presiden terpilih
@jokowi_do2, sekedar urun rembuk yang mudah-mudahan bisa
membantu mengurai benang kusut masalah kabut asap. Ada satu logika
linier yang mungkin bisa membantu pihak berwenang pada tahapan identifikasi
masalah. ”Tidak ada asap tanpa api dan
tidak ada api tanpa ada yang memulai”. Memulai disini berarti memulai membakar,
dari skala kecil sampai besar, dari semak dan ilalang, plastik dan bahan
berbahaya lainnya sampai perkebunan dan hutan. Untuk permasalahan yang kita
hadapi, pembakaran lahan-lah yang menjadi tersangka utama! Pembakaran
semak-semak dan ilalang untuk membuka lahan baru memang sudah menjadi tradisi
di daerah kami, bahkan sebagian sudah menjadi tradisi adat dan (dalam
intensitas dan skala terkendali) dikategorikan sebagai salah satu ”kearifan
lokal” yang semula memang diijinkkan bahkan mungkin dianjurkan (di Kalimantan
Tengah pernah diatur dalam Peraturan Gubernur, walaupun akhirnya di cabut lagi)
karena selain murah dan cepat, diyakini akan memberi dampak positif pada
kesuburan tanah, tapi memang sudah menjadi tabiat manusia untuk lupa dan terlena
yang ujung-ujungnya intensitas dan skala pembakaran tidak lagi dikontrol. Celakanya,
kondisi ini diperparah oleh daya dukung lingkungan yang tidak lagi memadai karena
telah jauh ter-degradasi sehingga,
menyebabkan ”kearifan lokal” ini menjadi boomerang
yang melukai dan menyakiti tidak hanya individu yang menjadi subyek pembakaran
lahan saja, tapi hampir semua peradaban disekitarnya ikut terlukai lahir dan
batin. Seharusnya ini yang menjadi fokus utama garapan pemerintah! Mindset dan mitos masyarakat terhadap
pembakaran lahan harus dirubah sekaligus diberi solusi teknologi tepat guna
yang memungkinkan untuk diterapkan (kalau metode ini sudah pernah dijalankan
dan belum membuahkan hasil maksimal, mungkin strategi pendekatan dan intensitas
activity-nya perlu dimodifikasi dan ditingkatkan lagi). Misalnya, dalam membuka
lahan selama ini masyarakat secara umum menggunakan metode tebang bakar (slash and burn) yang sebenarnya sangat
berbahaya bagi lahan gambut seperti daerah kami. Karena sistem tebang bakar ini bisa mengakibatkan
terbakarnya lapisan lahan gambut dari lapisan paling atas dan bisa jadi
merembet sampai ke bawah. Kalau kondisi ini sampai terjadi, tentunya akan sangat
berbahaya, karena kebakaran jenis ini akan memakan waktu, biaya dan energi
cukup besar untuk menyelesaikan pemadamannya, belum lagi kerugian ekologi yang
ditimbulkannya. Sangat besar biaya yang harus ditanggung. Solusinya, masyarakat
harus diberi penyuluhan, pengertian, arahan dan kalau perlu pelatihan sekaligus
contoh aplikatif, langsung praktek dilapangan menjadi tebang
dikomposkan (slash and char). (Fadly
H. Yusran, Ketidakarifan lokal yang
Merugikan Tanah) Metode ini masuk
akal dan relatif mudah untuk diterapkan baik dalam skala individual maupun
massal. Memang, untuk mengubah mitos
dan mindset komunal bukan perkara mudah, memerlukan bukti nyata dan contoh riil
yang masuk akal, aplikatif dan kalau bisa murah. Upaya (hulu) ini jelas
memerlukan waktu tapi hasilnya pasti jauh lebih efektif dan efisien bila
dibandingkan dengan aktifitas fisik (upaya hilir) dilapangan (memadamkan api)
yang tidak ada batasan ruang dan waktunya, kasihan teman-teman pemadam
kebakaran! Memang aktivitas di hilir ini ”dapat dilihat” kerjanya tapi untuk
hasil? tunggu dulu!
Bapak
Presiden @SBYudhoyono dan Bapak Presiden terpilih
@jokowi_do2, Ada ungkapan, tidak akan ada maling mengaku maling, yang
ada adalah maling teriak maling. Berangkat dari ungkapan ini, memang susah
menangkap maling-nya karena maling
biasanya selalu memperbaharui strategi maling-nya
sebelum beraksi, atau kasarnya maling selalu lebih pintar dari penjaga maling.
Tapi untuk permasalahan pembakaran lahan ini, sebenarnya logika linier-pun bisa
memprediksi siapa-siapa yang punya potensi (ini bukan berparasangka buruk, tapi
bicara statistik khususnya probabilitas) untuk menjadi pembakar tanpa harus
tuding sana sini yang ujung-ujungnya bisa menjadi fitnah. Apapun dan siapapun
yang potensial menjadi pembakar inilah yang harus diarahkan dan diberdayakan
dengan benar.
Bapak
Presiden @SBYudhoyono dan Bapak Presiden terpilih
@jokowi_do2, Inti yang ingin saya sampaiakan
adalah, Pertama. Titik fokus pemerintah harus dibalik! Prioritas
pertama adalah mengubah pola pikir masyarakat sebagai hulu dari permasalahan
(disini diperlukan sebuah tatanan dan tuntunan yang sifatnya mengikat bisa
dalam bentuk perundangan/kebijakan atau apapun yang sifatnya aplikatif
dilapangan), baru diikuti tindakan hilir (memadamkan kebakaran, membagi-bagi
masker, menyiagakan puskesmas dll) bila diperlukan. Kedua Diperlukan
koordinasi dan sinergi yang benar-benar nyata, kuat dan akurat diantara semua
pihak, baik badan atau lembaga apapun yang memang punya kewenangan dan tanggung
jawab terhadap permasalahan ini. Jujur, bila membaca dan memperhatikan
pemberitaan di media, masyarakat tambah bingung. Faktanya begitu banyak lembaga
atau badan yang muncul! Sekilas kelihatan camuh
(bhs Banjar = kacau, membingungkan),
siapa sebenarnya yang bertanggung jawab untuk mengurusi masalah ini? Kepada
siapa sebenarnya masyarakat harus mengadukan bila terjadi kebakaran dilahannya?
Berapa nomor telepon darurat yang bisa dihubungi setiap saat? Di media, semua memberi
uraian, pandangan dan analisa yang luar biasa bagusnya, tapi itu semua belum bisa
mengurai kegelisahan dan kegundahan masyarakat! Atau, jangan-jangan justru
membuat masyarakat takut, gelisah dan pesimis menghadapi ekstrim-nya hari-hari
yang akan dilalui. Banyaknya badan atau lembaga yang muncul ke permukaan tapi
minim koordinasi plus simpang siurnya
pola sinergi menyebabkan terjadinya tumpang tindih wewenang, tanggungjawab dan
pekerjaan (birokrasi terlalu panjang dan berbelit) yang ending-nya pekerjaan jadi tidak fokus dan tidak tuntas
(mudah-mudahan ini bukan salah satu sumber tidak tuntasnya masalah selimut
kabut asap). Disini diperlukan sosialisasi yang intensif, tepatguna dan
berkelanjutan oleh pihak yang berwenang, agar masyarakat juga ikut memahami
fungsi dan peran masing-masing lembaga dimaksud sehingga kedepannya tidak ada
kesalahan connect akibat miss communication dan miss understanding.
Bapak
Presiden @SBYudhoyono dan Bapak Presiden terpilih
@jokowi_do2, kami berharap Bapak dan semua perangkat dalam pemerintahan serius dan bersunguh-sungguh melindungi alam Indonesia, khususnya lahan gambut Kalimantan. selimut kabut asap terlanjur jadi
laten dan telah berhasil melumpuhkan mobilitas kehidupan di daerah kami. Stabilitas sosial dan ekonomi
masyarakat terganggu, daya dukung lingkungan terhadap kehidupan semakin jauh
terdegradasi dan pesona daerah kami sebagai destinasi wisata semakin memudar. Menunggu
apa lagi!? Mari bekerja keras menuntaskan ini semua dengan sunguh-sungguh. Kami
menunggu kesungguhan niat, aksi koordinatif dan komando prospektif dari bapak-bapak
sekalian, demi terciptanya alam Indonesia yang sehat bersih dan berdayaguna
tinggi.
Kertakhanyar, 5 September
2014
Salam Indonesia hujau
Kartika
Eka Hendarwanto
Kertakhanyar,
Kab. Banjar, Kalimantan Selatan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar