Jumat, 05 September 2014

Menyingkap Selimut Kabut Asap (Surat terbuka untuk Bapak Presiden @SBYudhoyono dan Bapak Presiden terpilih @jokowi_do2)




www.100persenindonesia.org
Bapak Presiden @SBYudhoyono dan Bapak Presiden terpilih @jokowi_do2, kabut asap adalah trauma berkepanjangan yang sifatnya sudah laten bagi masyarakat Pulau Kalimantan, khususnya di daerah kami Kecamatan Kertakhanyar, Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan  Terus terang kami sudah frustasi dan hampir hilang akal dengan kondisi ini. Setiap kemarau tiba kami seperti hidup dalam dunia lain, dunia antah berantah yang tidak jelas alamatnya! Saat itu, yang jelas kelihatan bagi kami hanyalah keburaman dan bayang-bayang! Akibatnya semua lini kehidupan kami tidak bisa berjalan normal. Kesehatan kami terganggu, denyut perekonomian kami terhenti, kehidupan sosial dan budaya kami jadi kehilangan arah.
Bapak Presiden @SBYudhoyono dan Bapak Presiden terpilih @jokowi_do2, jujur saja kami bingung dengan situasi ini, 16 tahun sudah (bahkan mungkin lebih untuk daerah kami) musibah kabut asap selalu terulang setiap musim kemarau tiba. Bagi kami ini sangat aneh! Rasanya tidak masuk akal pemerintah sampai detik ini masih saja tidak berdaya menangani dan menyelesaikan bencana selimut kabut asap di daerah kami.
Bapak Presiden @SBYudhoyono dan Bapak Presiden terpilih @jokowi_do2, kami mengakui selama ini pemerintah dan masyarakat sebenarnya tidak tinggal diam dan terus mengupayakan pengendalian secara maksimal terhadap masalah selimut kabut asap ini melalui berbagai cara. Action pemerintah melalui semua perangkatnya dari tingkat pusat sampai daerah memang ada bahkan mungkin sudah maksimal, hanya saja (maaf bukan bermaksud mengajari) sepertinya masih belum efektif dan efisien! Pemerintah dan masyarakat kita secara umum sapertinya tidak mau belajar dari pengalaman! Pepatah ”Pengalaman adalah guru yang terbaik” tidak pernah benar-benar dipahami dan diaplikasikan dalam konteks yang sebenarnya! Bangsa ini sepertinya mudah lupa dan melupakan! Mudah-mudahan saja selanjutnya tidak ter-lupakan. Untuk kejadian (baca : bencana) laten yang sekian tahun selalu terulang dan terulang lagi dengan intensitas, siklus, bahkan kemungkinan penyebab yang selalu sama, mestinya tidak harus berlarut-larut dan terulang-ulang terus seperti sekarang ini. Dengan didukung peralatan modern dan canggih seperti satelit NOAA (National Oceanic and Atmospheric Administration) 19 (AMSC) dan berbagai peralatan yang dimiliki oleh stasium BMKG plus SDM yang sudah terbiasa dan terlatih dipadu padankan dengan data-data terdahulu yang akurat, rasanya mustahil bencana laten ini tidak bisa diprediksi dan diatasi dengan cara yang efektif dan efisien. Maaf, sekedar mengingatkan saja Bapak Presiden @SBYudhoyono dan Bapak Presiden terpilih @jokowi_do2, ”keledai tidak akan jatuh untuk kedua kalinya di tempat yang sama” .
Bapak Presiden @SBYudhoyono dan Bapak Presiden terpilih @jokowi_do2, sekedar urun rembuk yang mudah-mudahan bisa membantu mengurai benang kusut masalah kabut asap. Ada satu logika linier yang mungkin bisa membantu pihak berwenang pada tahapan identifikasi masalah. ”Tidak ada asap tanpa api dan tidak ada api tanpa ada yang memulai”. Memulai disini berarti memulai membakar, dari skala kecil sampai besar, dari semak dan ilalang, plastik dan bahan berbahaya lainnya sampai perkebunan dan hutan. Untuk permasalahan yang kita hadapi, pembakaran lahan-lah yang menjadi tersangka utama! Pembakaran semak-semak dan ilalang untuk membuka lahan baru memang sudah menjadi tradisi di daerah kami, bahkan sebagian sudah menjadi tradisi adat dan (dalam intensitas dan skala terkendali) dikategorikan sebagai salah satu ”kearifan lokal” yang semula memang diijinkkan bahkan mungkin dianjurkan (di Kalimantan Tengah pernah diatur dalam Peraturan Gubernur, walaupun akhirnya di cabut lagi) karena selain murah dan cepat, diyakini akan memberi dampak positif pada kesuburan tanah, tapi memang sudah menjadi tabiat manusia untuk lupa dan terlena yang ujung-ujungnya intensitas dan skala pembakaran tidak lagi dikontrol. Celakanya, kondisi ini diperparah oleh daya dukung lingkungan yang tidak lagi memadai karena telah jauh ter-degradasi sehingga, menyebabkan ”kearifan lokal” ini menjadi boomerang yang melukai dan menyakiti tidak hanya individu yang menjadi subyek pembakaran lahan saja, tapi hampir semua peradaban disekitarnya ikut terlukai lahir dan batin. Seharusnya ini yang menjadi fokus utama garapan pemerintah! Mindset dan mitos masyarakat terhadap pembakaran lahan harus dirubah sekaligus diberi solusi teknologi tepat guna yang memungkinkan untuk diterapkan (kalau metode ini sudah pernah dijalankan dan belum membuahkan hasil maksimal, mungkin strategi pendekatan dan intensitas activity-nya perlu dimodifikasi dan ditingkatkan lagi). Misalnya, dalam membuka lahan selama ini masyarakat secara umum menggunakan metode tebang bakar  (slash and burn) yang sebenarnya sangat berbahaya bagi lahan gambut seperti daerah kami. Karena sistem tebang bakar ini bisa mengakibatkan terbakarnya lapisan lahan gambut dari lapisan paling atas dan bisa jadi merembet sampai ke bawah. Kalau kondisi ini sampai terjadi, tentunya akan sangat berbahaya, karena kebakaran jenis ini akan memakan waktu, biaya dan energi cukup besar untuk menyelesaikan pemadamannya, belum lagi kerugian ekologi yang ditimbulkannya. Sangat besar biaya yang harus ditanggung. Solusinya, masyarakat harus diberi penyuluhan, pengertian, arahan dan kalau perlu pelatihan sekaligus contoh aplikatif, langsung praktek dilapangan menjadi  tebang dikomposkan (slash and char). (Fadly H. Yusran, Ketidakarifan lokal yang Merugikan Tanah) Metode ini masuk akal dan relatif mudah untuk diterapkan baik dalam skala individual maupun massal. Memang, untuk mengubah mitos dan mindset komunal bukan perkara mudah, memerlukan bukti nyata dan contoh riil yang masuk akal, aplikatif dan kalau bisa murah. Upaya (hulu) ini jelas memerlukan waktu tapi hasilnya pasti jauh lebih efektif dan efisien bila dibandingkan dengan aktifitas fisik (upaya hilir) dilapangan (memadamkan api) yang tidak ada batasan ruang dan waktunya, kasihan teman-teman pemadam kebakaran! Memang aktivitas di hilir ini ”dapat dilihat” kerjanya tapi untuk hasil? tunggu dulu!
Bapak Presiden @SBYudhoyono dan Bapak Presiden terpilih @jokowi_do2, Ada ungkapan, tidak akan ada maling mengaku maling, yang ada adalah maling teriak maling. Berangkat dari ungkapan ini, memang susah menangkap maling-nya karena maling biasanya selalu memperbaharui strategi maling-nya sebelum beraksi, atau kasarnya maling selalu lebih pintar dari penjaga maling. Tapi untuk permasalahan pembakaran lahan ini, sebenarnya logika linier-pun bisa memprediksi siapa-siapa yang punya potensi (ini bukan berparasangka buruk, tapi bicara statistik khususnya probabilitas) untuk menjadi pembakar tanpa harus tuding sana sini yang ujung-ujungnya bisa menjadi fitnah. Apapun dan siapapun yang potensial menjadi pembakar inilah yang harus diarahkan dan diberdayakan dengan benar.
Bapak Presiden @SBYudhoyono dan Bapak Presiden terpilih @jokowi_do2, Inti yang ingin saya sampaiakan adalah, Pertama. Titik fokus pemerintah harus dibalik! Prioritas pertama adalah mengubah pola pikir masyarakat sebagai hulu dari permasalahan (disini diperlukan sebuah tatanan dan tuntunan yang sifatnya mengikat bisa dalam bentuk perundangan/kebijakan atau apapun yang sifatnya aplikatif dilapangan), baru diikuti tindakan hilir (memadamkan kebakaran, membagi-bagi masker, menyiagakan puskesmas dll) bila diperlukan. Kedua Diperlukan koordinasi dan sinergi yang benar-benar nyata, kuat dan akurat diantara semua pihak, baik badan atau lembaga apapun yang memang punya kewenangan dan tanggung jawab terhadap permasalahan ini. Jujur, bila membaca dan memperhatikan pemberitaan di media, masyarakat tambah bingung. Faktanya begitu banyak lembaga atau badan yang muncul! Sekilas kelihatan camuh (bhs Banjar = kacau, membingungkan), siapa sebenarnya yang bertanggung jawab untuk mengurusi masalah ini? Kepada siapa sebenarnya masyarakat harus mengadukan bila terjadi kebakaran dilahannya? Berapa nomor telepon darurat yang bisa dihubungi setiap saat? Di media, semua memberi uraian, pandangan dan analisa yang luar biasa bagusnya, tapi itu semua belum bisa mengurai kegelisahan dan kegundahan masyarakat! Atau, jangan-jangan justru membuat masyarakat takut, gelisah dan pesimis menghadapi ekstrim-nya hari-hari yang akan dilalui. Banyaknya badan atau lembaga yang muncul ke permukaan tapi minim koordinasi plus simpang siurnya pola sinergi menyebabkan terjadinya tumpang tindih wewenang, tanggungjawab dan pekerjaan (birokrasi terlalu panjang dan berbelit) yang ending-nya pekerjaan jadi tidak fokus dan tidak tuntas (mudah-mudahan ini bukan salah satu sumber tidak tuntasnya masalah selimut kabut asap). Disini diperlukan sosialisasi yang intensif, tepatguna dan berkelanjutan oleh pihak yang berwenang, agar masyarakat juga ikut memahami fungsi dan peran masing-masing lembaga dimaksud sehingga kedepannya tidak ada kesalahan connect akibat miss communication dan miss understanding.  
Bapak Presiden @SBYudhoyono dan Bapak Presiden terpilih @jokowi_do2, kami berharap Bapak dan semua perangkat dalam pemerintahan serius dan bersunguh-sungguh melindungi alam Indonesia, khususnya lahan gambut Kalimantan. selimut kabut asap terlanjur jadi laten dan telah berhasil melumpuhkan mobilitas kehidupan di daerah kami. Stabilitas sosial dan ekonomi masyarakat terganggu, daya dukung lingkungan terhadap kehidupan semakin jauh terdegradasi dan pesona daerah kami sebagai destinasi wisata semakin memudar. Menunggu apa lagi!? Mari bekerja keras menuntaskan ini semua dengan sunguh-sungguh. Kami menunggu kesungguhan niat, aksi koordinatif dan komando prospektif dari bapak-bapak sekalian, demi terciptanya alam Indonesia yang sehat bersih dan berdayaguna tinggi.

Kertakhanyar, 5 September 2014
Salam Indonesia hujau



Kartika Eka Hendarwanto
Kertakhanyar, Kab. Banjar, Kalimantan Selatan

www.100persenindonesia.org

Tidak ada komentar:

Posting Komentar