Berbicara Banjarmasin tidak bisa lepas dari air, idiom itu terasa pas karena sebagai kota dengan julukan ”seribu sungai” otomatis budaya air menjadi bagian tak terpisahkan dari rutinitas keseharian masyarakatnya. Sebagai Ibu Kota Propinsi Kalimantan Selatan dengan luas wilayah ± (hanya) 72 km2 Kota Banjarmasin memang tergolong mungil dan terkesan padat.
Secara fisik Kota Banjarmasin dibelah oleh aliran sungai baik kecil maupun besar yang jumlahnya tak kurang dari 107 buah sungai. Konon kalau dilihat dari udara, konfigurasi sungai-sungai di Kota Banjarmasin seperti liukan seekor ular raksasa yang menyusui anak-anaknya. Sungguh fragmentasi alam yang pasti luar biasa, mungkin tiada duanya di muka bumi ini.
Selain view dari udara yang begitu menarik, Kota Banjarmasin juga mempunyai ”keajaiban” alam yang tidak kalah uniknya, ternyata tanpa kita sadari tanah yang kita jejak setiap hari posisinya 0,16 m atau 16 centimeter dibawah permukaan laut dan ada kecenderungan untuk terus turun dari waktu kewaktu. Ini sungguh luar biasa, unik, menarik sekaligus mengkhawatirkan! Sangat tidak lazim! Mungkin itu kalimat yang tepat untuk merefleksikan kondisi topografi Kota Banjarmasin tersebut, karena umumnya untuk menyebut topografi suatu wilayah yang sering kita dengar adalah istilah ”diatas permukaan laut” (biasa disingkat dpl) bukan ”dibawah permukaan laut”.
Secara umum kondisi topografi yang ”unik” ini membawa konsekuensi banyaknya kantong-kantong air (baca : rawa lebak) terbuka yang punya potensi membanjiri kota ketika intensitas curah hujan naik dan sekaligus mempengaruhi tingginya rata-rata suhu udara di wilayah Kota Banjarmasin dan sekitarnya. Dengan topografi wilayah yang ”unik” itu, semestinya Kota Banjarmasin memang tidak layak lagi menjadi daerah pemukiman apalagi sepadat seperti sekarang ini, karena daya dukung lingkungan terhadap aktivitas masyarakat kota dipastikan tidak akan mamadai lagi dan dikhawatirkan akan mengganggu stabilitas sosial, budaya dan ekonomi masyarakat baik makro maupun mikro. Terkecuali konsep pengembangan Kota (Metropolis) bersama kota-kota yang menjadi satelit, kedepannya secara terpadu dan terkoordinasi berkomitmen untuk memprioritaskan pada pembangunan dan pelestarian lingkungan secara benar, karena ini menyangkut masa depan Kota Banjarmasin dan segenap warga kota yang mendiaminya. Saat ini saja Kota Banjarmasin masih menghadapi begitu banyak permasalahan yang terkait dengan isu lingkungan, yang terhangat dan sampai sekarang masih terjadi adalah krisis air (bersih).
Dari data dan fakta diawal jelas terbaca, dengan topografi wilayah dibawah permukaan laut logikanya Kota Banjarmasin dan sekitarnya pasti mempunyai potensi sumber daya air yang sangat besar. Tapi yang terjadi di lapangan benar-benar sebuah ironi, Kota Banjarmasin yang dikenal sebagai ”Kota Seribu Sungai”, kota air ternyata juga mengalami krisis air (bersih) dan celakanya kondisi ini selalu terulang terus tiap memasuki musim kemarau. Dari sini, memang terasa janggal dan terkesan sangat tidak masuk akal. Lantas pada kemana air yang tiap musim penghujan selalu menggenangi hampir semua sudut kota? Berbicara air ujung-ujungnya pasti kembali ke lingkungan terutama pola pengelolaan (manajemen) lingkungan, berbicara manajemen lingkungan berarti ada planning, organizing, staffing, Actuating dan controlling. Pengelolaan lingkungan berbasis manajemen aplikatif dengan tahapan secara umum seperti diatas memang sudah menjadi tuntutan waktu dan tidak bisa ditawar-tawar lagi. Kota Banjarmasin sebagai kota dengan karakteristik lingkungan yang unik sekaligus berpotensi bencana, posisinya ibarat telur sudah diujung tanduk! Maka penerapan manajemen lingkungan secara total adalah sebuah keniscayaan.
Secara umum, pendekatan manajerial dalam berbagai aktivitas termasuk dalam pengelolaan lingkungan selalu berbenturan dengan banyaknya kepentingan dan kebiasaan yang kontra produkatif. Untuk itu diperlukan kesungguhan dalam memprogram rencana kerja yang konstruktif dan terukur (planning), optimalisasi fungsi kerja semua lembaga yang terkait dan berwenang (organizing), penempatan dan peningkatan sumber daya manusia yang tepat sesuai dengan kebutuhan (staffing), Aplikasi aktivitas yang mengacu pada standart mutu yang telah ditentukan dalam program kerja (actuating) dan yang tidak kalah pentingnya adalah proses pengawasan secara terpadu oleh semua pihak (controlling), karena dalam pendekatan manajemen sistem harus berjalan terus, maka pergerakan fungsi manajerial tidak akan berhenti sampai fungsi kontrol saja tapi terus berputar sampai bertemu dengan standart mutu ideal yang telah di agendakan.
Umumnya di Indonesia, tahapan manajerial yang paling lemah activity-nya adalah planning dan controlling. Ini berlaku jamak dalam bidang dan aktivitas apapun. Padahal kedua fungsi ini merupakan roh dari proses manajerial. Dalam planning diperlukan visi konstruktif yang jelas dan terukur, sementara itu dalam controlling, dituntut sebuah konsistensi tingkat tinggi yang berkelanjutan. Sayangnya tuntutan kedua fungsi tersebut ”kebetulan” memang sangat tidak populer plus kurang terbiasakan bagi sebagian besar masyarakat kita. Berangkat dari gambaran ini, kita harus introspeksi, mungkin saja permasalahan krisis air yang melanda Kalimantan Selatan dan Kota Banjarmasin khususnya selain karena berubahnya iklim global, juga dipicu oleh belum total dan optimalnya penerapan ”manajemen” lingkungan di banua kita.
Untuk proses identifikasi masalah, kita coba memanfaatkan keberadaan siklus perjalanan air (water cycle) sebagai alat bantu, dimana secara sederhana perjalanan air dapat dijelaskan dengan mudah, di mulai dari penguapan air akibat sengatan panas matahari di siang hari, uap air yang terkumpul diudara akan terakumulasi menjadi gumpalan awan yang selanjutnya karena proses fisika akan menjadi hujan. Air hujan yang turun ke bumi sebagian akan diserap dan di ikat oleh pepohonan (dihutan lebat bisa 75-95%, didaerah gundul hanya 10% saja) dan sebagian lainnya akan mengalir turun dengan tujuan akhir menuju laut.
Berkaca pada water cycle diatas, masalah kekeringan di Kota Banjarmasin dan beberapa daerah lain secara teori bisa dijelaskan. Pertama, karena hilang atau berkurangnya kawasan pepohonan (baca : hutan) yang bertugas menyerap dan menahan air secara alami di dalam tanah, sehingga air hujan yang turun akhirnya terakumulasi hanya di permukaan sehingga menyebabkan bencana banjir (di hilir) dan tanah longsor (di hulu) di musim penghujan dan giliran memasuki musim kemarau dipastikan tidak ada lagi cadangan air tersisa dalam perut bumi, maka fragmentasi laten krisis air (bersih) segera dimulai. Kedua, hilang atau berkurangnya luasan rawa lebak yang secara alami berfungsi sebagai penahan dan tempat parkir air di dataran rendah(hilir) akibat pengalihan fungsi, seperti dijadikan kawasan pemukiman dan atau fungsi-fungsi ekonomi lainnya sehingga tidak ada lagi tempat parkir air sebagai cadangan kebutuhan di musim kemarau. Ketiga, kebiasaan buruk masyarakat membuang sampah, kotoran dan berbagai limbah rumah tangga atau pabrik ke sungai atau rawa lebak otomatis akan mengurangi kualitas air permukaan yang sebenarnya bisa menjadi air baku pengolahan air bersih.
Untuk
jangka pendek, pemerintah daerah harus mengkaji ulang berbagai regulasi tentang
pengalihan fungsi lahan, terutama kawasan yang secara alami menjadi daerah resapan
ataupun penahan air, termasuk juga kebijakan perijinan pembangunan rumah
tinggal atau rumah toko yang tidak ramah lingkungan dan yang terpenting segera
merubah pola perilaku masyarakat yang kontra produktif terhadap sumber daya air
bersih. Sedangkan untuk jangka panjang, penerapan manajemen lingkungan secara
benar adalah solusi tak tergantikan, dengan begitu mudah-mudahan permasalahan
krisis air di Kota Banjarmasin dan sekitarnya akan segera teratasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar