Kamis, 25 September 2014

Tuhan Tidak Adil!

 “Tuhan jahat!”
“Tuhan kejam!”
“Tuhan tidak adil!”
“Tuhan pilih kasih!”
“Kenapa Tuhan menciptakan aku berbeda dengan teman-temanku!?”
“Aku kecewa kepada Tuhan….!”
“Kenapa Tuhan memperlakukanku seperti ini?!”
Itulah kalimat-kalimat minor yang selalu kuteriaakkan ketika mentalku sedang labil, ketika jiwaku sedang gundah dan ketika otakku sedang buntu untuk mengurai semua kenyataan pahit yang selalu menghampiriku.
“Kenapa aku harus mewarisi “kelainan” turunan itu?!
“Kenapa harus aku ….!?”
“Kenapa yang lain tidak!?”
Dengan kalimat-kalimat bernada sumbang itulah aku mengekspresikan semua beban psikis yang aku tanggung!
“Aku gagap!
“Aku tidak bisa bicara normal!”
 “Aku malu!”
 Aku merasa menjadi orang yang paling tidak berguna di dunia ini!”
Diusiaku yang baru 8 tahun, saat itu, mentalku sudah harus tersungkur, terjatuh dan tenggelam di titik terdalam dalam hidupku. Aku benar-benar tidak menyangka, ternyata kelainan gagap bicara yang kumiliki sejak kecil suatu saat akan berbuah kengerian dan trauma mendalam yang berkepanjangan.
Sampai detik ini, moment-moment mengerikan itu masih terekam dengan jelas dalam benak dan alam bawah sadarku, membuatku terkungkung dalam trauma berkepanjangan.
“Hilal…..ayo dibaca yang keras nak”, Ibu Sumirah menyuruhku memulai rutinitas pagi kami.
Seperti biasa, tiap jam pelajaran pertama kami diwajibkan untuk membaca dengan keras buku pelajaran secara berantai dan bergiliran satu persatu. Karena hari itu aku duduk di bangku paling depan sebelah kiri, maka akulah yang mendapatkan giliran pertama membaca buku teks pelajaran Bahasa Indonesia itu.
Semua terdiam! Seisi kelas seperti mengheningkan cipta, diam seribu bahasa. Hanya deru nafas kami saja yang terdengar sekilas.
Suasana semakin mencekam, ketika lima belas menit berlalu,  tapi tidak sepatah katapun yang bisa keluar dari bibirku. Aku yakin, tatapan mata teman-temanku dan Bu Sum semuanya mengarah kepadaku, termasuk Nurul yang ada di sebelahku!
“eeeeek…eeeeek…eeeeek”
“aaaaak…aaaaak….aaaaak”, hanya desahan dan lafal yang tidak jelas itu yang sanggup keluar dari bibirku.
Disaat seperti itu, jantungku pasti berdegup kencang, semua otot-otot tubuhku mengejang, hentakan emosi didadaku meluap dan begitu menggebu-gebu membuat badanku bergetar hebat, mukaku memerah dan keringat dingin sebesar butiran jagung mulai menetes dari dahiku, memaksaku uintuk mengusapnya dengan punggung telapak tanganku. Biasanya badanku langsung lemas setelah berlangsungnya secuil “fragmen” yang sangat mengerikan bagiku itu!
Fragmen” mengerikan seperti itu selalu terulang, terulang dan terulang setiap tiba giliranku untuk membaca, menghafal dan semua kegiatan yang mengharuskan aku mengeluarkan suara keras dimanapun posisinya, bertahun-tahun sampai aku lulus SD. Itulah yang terus dan harus terjadi. Hidupku seperti dipasung oleh kelainan gagap bicara yang kumiliki. Hari-hariku selalu bergelut dengan rasa rendah diri dan keputus asaan yang semakin menggila. Kepalaku seperti tidak bisa tegak untuk menatap masa depan. Aku merasa tidak mempunyai kebanggan dengan diriku sendiri, meskipun secara akademik prestasiku diatas rata-rata temanku sekelas. Alam bawah sadarku selalu berkeyakinan bahwa Tuhan tidak adil kepadaku.
Setelah lulus SD, aku diterima di SMP paling favorit di daerahku. Untuk sesaat, euphoria keberhasilanku menembus SMP favorit membuatku lupa akan kegelisahan dan kegundahan laten-ku, gagap! Tapi, itu hanya sesaat dan benar-benar sesaat, karena yang terjadi selanjutnya lebih mengerikan dari yang aku bayangkan selama ini. Hampir semua metode belajar mengajar di level ini mengharuskan siswa untuk aktif. Masih ingat dengan program CBSA?
Hari-hari yang aku lalui sejak duduk di bangku SMP semakin membuatku tertekan, kepercayaan diriku semakin tergerus habis, jiwa ragaku merasakan kelelahan yang begitu hebat.
Ditengah bayang-bayang rasa rendah diri, tertekan dan kengerian yang hampir memutuskan asaku, sepertinya Tuhan berkehendak lain. Diluar dugaanku saat menerima rapor kenaikan kelas 2 ternyata aku menduduki rangking pertama dari total 48 siswa dikelasku. Itu artinya, di kelas dua aku otomatis harus menduduki jabatan sebagai ketua kelas. Sebuah jabatan yang sebenarnya mentereng di sekolahku, karena yang berhak untuk menjadi ketua kelas adalah anak-anak pilihan yang di kelas sebelumnya meraih rangking 1 saja, kecuali kelas 1. Tapi bagiku, jabatan ketua kelas justeru wujud cobaan yang sangat berat, karena aktifitasnya akan menuntutku untuk lebih banyak berinteraksi secara verbal dengan banyak pihak. Seperti memimpin doa di kelas, serah terima jurnal belajar mengajar, dan memimpin upacara bendera. Mau ditaruh dimana  gagapku!?
Memasuki semester kedua,  ada anak baru yang masuk ke kelasku, namanya Joko Waluyo. Fisiknya tidak sempurna (kaki kirinya tidak berfungsi normal, karena terserang polio semasa kecil) yang membuatku terkejut, si Joko ternyata mempunyai kelainan bicara alias gagap yang lebih parah dari aku. Melihat keseharian Joko yang juga “berbeda”, aku merasa mempunyai teman yang senasib. Disinilah titik balik itu dimulai, perlahan-lahan motivasiku mulai tumbuh, keyakinanku mulai kembali, perasaan minderku mulai tergerus oleh tekad dan cita-cita besarku untuk menjadi dokter. Akhirnya puncak titik balik yang begitu menakjubkan itu terjadi ketika aku terpilih sebagai komandan upacara terbaik di sekolahan, aku mengalahkan kandidat kuat kakak-kakak kelas 3 yang lebih senior dan aku berhak mewakili sekolahan dalam ajang yang sama untuk level yang lebih tinggi. Bahkan selanjutnya aku dipercaya oleh seluruh elemen disekolah untuk menduduki posisi sebagai ketua OSIS. Sebuah lakon dalam fragnentasi kehidupan yang tidak pernah terbersit sedikitpun dalam benakku sebelumnya.
Sungguh, aku tidak pernah menyangka semua ini bisa terjadi. Jangankan menjadi Komandan upacara terbaik apalagi menjadi ketua OSIS! Untuk berbicara di dalam kelas saja sebelumnya aku tidak bisa! Apa yang sebenarnya telah terjadi? Apakah sekarang Tuhan telah adil kepadaku? Sehingga berbagai kemudahan dan prestasi gemilang bisa kudapatkan?
Menginjak bangku SMA, Alhamdulillah! Aku kembali diterima di sekolah favorit di daerahku, Demi memuluskan cita-citaku untuk menjadi dokter, aku memilih jurusan A2/Biologi sebagai pengantar menuju mimpiku itu. Disini aku membuka diri selebar-lebarnya untuk menggali semua  potensi yang terpendam dalam diriku. Aku kembali bergelut dalam berbagai kegiatan intra maupun ekstra kurikuler yang ada, seperti OSIS, Kesenian dan olahraga. Menginjak kelas 2, akhirnya aku kembali dipercaya menjabat sebagai ketua OSIS, sebuah prestasi yang prestige-nya luar biasa untuk diriku yang bukan siapa-siapa dan bukan apa-apa ini. Di bidang kesenian, latar belakangku yang multitalent alias bisa memainkan semua alat musik standar band mengantarku pada kesuksesan sampingan. Bersama beberapa teman, kami sukses mengangkat band sekolah kami “ngangeni’ menjadi band yang diperhitungkan didaerah kami terutama untuk genre rock alternative, dengan meraih berbagai penghargaan di ajang festival atau jambore music rock tanah air. Puncaknya, kami pernah didaulat oleh salah satu EO ternama untuk menjadi band pembuka tur konser PAS Band di daerahku sekaligus ditawari masuk dapur rekaman.
 Selama 3 tahun belajar di SMA, aku merasakan perubahan besar dalam diriku. Dengan berbagai romantikanya, berangsur aku menjadi sosok yang openminded, optimis, dan bersemangat. Aku sudah bisa melupakan semua masa laluku! Bahkan aku sendiri telah lupa kalau punya kelainan “gagap bicara”, walaupun kelainan itu tidak akan pernah bisa hilang. Bahkan sekarang aku juga nyambi sebagai penyiar radio sawasta di kotaku.
Akhirnya hari yang kutunggu datang juga. Di penghujung masa SMA, aku mendapat kabar baik. Aku diterima di Fakultas Kedokteran salah satu universitas ternama di Jawa Timur, tanpa tes (tulis)! Dengan linangan air mata bahagia, aku langsung bersujud dan melampiaskan rasa syukurku kepada Sang Maha Pencipta di tempatku berdiri saat itu, di halaman sekolah. Aku merasakan nikmat yang luar biasa indahnya. Rupanya Tuhan memang menghendaki keberhasilanku. Tuhan telah adil kepadaku!?
Dengan berbekal keyakinan penuh aku berangkat sendirian untuk menjalani prosesi daftar ulang mahasiswa baru. Semua lancar, sampai akhirnya aku menjalani pemeriksaan kesehatan. Diluar dugaanku, ternyata sekali lagi Tuhan berkehendak lain. Tim dokter yang memeriksaku menyatakan bahwa aku tidak bisa melanjutkan studi di Fakultas Kedokteran, aku dinyatakan mengidap kelainan “buta warna”. Seketika tubuhku lunglai seperti tak bertulang, mata minusku nanar semakin tidak jelas melihat. Sekali lagi aku harus merasakan pahitnya sebuah kegagalan oleh sebab yang aku tidak tahu asal muasalnya. Semuanya blank……….
Belajar dari pengalaman-pengalaman sebelumnya, tidap perlu waktu lama bagiku untuk proses recovery. Aku tidak boleh berlama-lama larut dalam kegundahan dan kegelisahan. Aku harus segera menentukan dan memutuskan jalan terbaik untuk meraih kesuksesanku. Akhirnya aku memilih melanjutkan kuliah di Universitas yang sama, hanya saja di fakultas yang berbeda. Sesuai ketentuan yang disarankan oleh pihak universitas, aku disarankan untuk mengalihkan pilihan ke fakultas non eksakta alias fakultas ilmu sosial, tanpa tes! Langsung di terima!
Akhirnya aku memilih Ilmu manajamen di Fakultas Ekonomi sebagai titik awal untuk  meretas kesuksesanku dimasa yang akan datang dan ternyata disinilah aku bertemu dan menemukan konsep adil dan keadilan yang sesungguhnya. Konsep adil dan keadilan yang haq dan mutlak milik Tuhan. Bukan konsep adil dan keadilan nisbi yang hanya berdasar pada keterbatasan akal dan persepsi kita. Aku memang gagal meraih cita-cita besarku untuk menjadi dokter sesuai keinginanku dari kecil, tapi ternyata Tuhan telah mempersiapkan kesuksesanku yang lain dengan cara dan jalan yang lain juga. Tuhan tidak memberi yang kita inginkan, tapi Tuhan memberi yang kita butuhkan. Subhanallah!


bisa juga dibaca di  Blog Tetap Semangat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar