“Tuhan jahat!”
“Tuhan
kejam!”
“Tuhan
tidak adil!”
“Tuhan
pilih kasih!”
“Kenapa
Tuhan menciptakan aku berbeda dengan teman-temanku!?”
“Aku
kecewa kepada Tuhan….!”
“Kenapa
Tuhan memperlakukanku seperti ini?!”
Itulah
kalimat-kalimat minor yang selalu kuteriaakkan ketika mentalku sedang labil, ketika
jiwaku sedang gundah dan ketika otakku sedang buntu untuk mengurai semua
kenyataan pahit yang selalu menghampiriku.
“Kenapa
aku harus mewarisi “kelainan” turunan itu?!
“Kenapa
harus aku ….!?”
“Kenapa
yang lain tidak!?”
Dengan
kalimat-kalimat bernada sumbang itulah aku mengekspresikan semua beban psikis
yang aku tanggung!
“Aku
gagap!
“Aku
tidak bisa bicara normal!”
“Aku malu!”
Aku merasa menjadi orang yang paling tidak
berguna di dunia ini!”
Diusiaku
yang baru 8 tahun, saat itu, mentalku sudah harus tersungkur, terjatuh dan
tenggelam di titik terdalam dalam hidupku. Aku benar-benar tidak menyangka,
ternyata kelainan gagap bicara yang kumiliki sejak kecil suatu saat akan
berbuah kengerian dan trauma mendalam yang berkepanjangan.
Sampai
detik ini, moment-moment mengerikan itu
masih terekam dengan jelas dalam benak dan alam bawah sadarku, membuatku
terkungkung dalam trauma berkepanjangan.
“Hilal…..ayo
dibaca yang keras nak”, Ibu Sumirah menyuruhku memulai rutinitas pagi kami.
Seperti
biasa, tiap jam pelajaran pertama kami diwajibkan untuk membaca dengan keras buku
pelajaran secara berantai dan bergiliran satu persatu. Karena hari itu aku
duduk di bangku paling depan sebelah kiri, maka akulah yang mendapatkan giliran
pertama membaca buku teks pelajaran Bahasa Indonesia itu.
Semua
terdiam! Seisi kelas seperti mengheningkan cipta, diam seribu bahasa. Hanya
deru nafas kami saja yang terdengar sekilas.
Suasana
semakin mencekam, ketika lima belas menit berlalu, tapi tidak sepatah katapun yang bisa keluar
dari bibirku. Aku yakin, tatapan mata teman-temanku dan Bu Sum semuanya
mengarah kepadaku, termasuk Nurul yang ada di sebelahku!
“eeeeek…eeeeek…eeeeek”
“aaaaak…aaaaak….aaaaak”,
hanya desahan dan lafal yang tidak jelas itu yang sanggup keluar dari bibirku.
Disaat
seperti itu, jantungku pasti berdegup kencang, semua otot-otot tubuhku
mengejang, hentakan emosi didadaku meluap dan begitu menggebu-gebu membuat
badanku bergetar hebat, mukaku memerah dan keringat dingin sebesar butiran
jagung mulai menetes dari dahiku, memaksaku uintuk mengusapnya dengan punggung telapak
tanganku. Biasanya badanku langsung lemas setelah berlangsungnya secuil “fragmen” yang sangat mengerikan bagiku
itu!
“Fragmen” mengerikan seperti itu selalu
terulang, terulang dan terulang setiap tiba giliranku untuk membaca, menghafal
dan semua kegiatan yang mengharuskan aku mengeluarkan suara keras dimanapun
posisinya, bertahun-tahun sampai aku lulus SD. Itulah yang terus dan harus
terjadi. Hidupku seperti dipasung oleh kelainan gagap bicara yang kumiliki. Hari-hariku
selalu bergelut dengan rasa rendah diri dan keputus asaan yang semakin
menggila. Kepalaku seperti tidak bisa tegak untuk menatap masa depan. Aku merasa
tidak mempunyai kebanggan dengan diriku sendiri, meskipun secara akademik
prestasiku diatas rata-rata temanku sekelas. Alam bawah sadarku selalu
berkeyakinan bahwa Tuhan tidak adil kepadaku.
Setelah
lulus SD, aku diterima di SMP paling favorit di daerahku. Untuk sesaat, euphoria keberhasilanku menembus SMP
favorit membuatku lupa akan kegelisahan dan kegundahan laten-ku, gagap! Tapi, itu hanya sesaat dan benar-benar sesaat,
karena yang terjadi selanjutnya lebih mengerikan dari yang aku bayangkan selama
ini. Hampir semua metode belajar mengajar di level ini mengharuskan siswa untuk
aktif. Masih ingat dengan program CBSA?
Hari-hari
yang aku lalui sejak duduk di bangku SMP semakin membuatku tertekan,
kepercayaan diriku semakin tergerus habis, jiwa ragaku merasakan kelelahan yang
begitu hebat.
Ditengah
bayang-bayang rasa rendah diri, tertekan dan kengerian yang hampir memutuskan
asaku, sepertinya Tuhan berkehendak lain. Diluar dugaanku saat menerima rapor
kenaikan kelas 2 ternyata aku menduduki rangking pertama dari total 48 siswa
dikelasku. Itu artinya, di kelas dua aku otomatis harus menduduki jabatan
sebagai ketua kelas. Sebuah jabatan yang sebenarnya mentereng di sekolahku,
karena yang berhak untuk menjadi ketua kelas adalah anak-anak pilihan yang di
kelas sebelumnya meraih rangking 1 saja, kecuali kelas 1. Tapi bagiku, jabatan
ketua kelas justeru wujud cobaan yang sangat berat, karena aktifitasnya akan
menuntutku untuk lebih banyak berinteraksi secara verbal dengan banyak pihak.
Seperti memimpin doa di kelas, serah terima jurnal belajar mengajar, dan
memimpin upacara bendera. Mau ditaruh dimana
gagapku!?
Memasuki
semester kedua, ada anak baru yang masuk
ke kelasku, namanya Joko Waluyo. Fisiknya tidak sempurna (kaki kirinya tidak
berfungsi normal, karena terserang polio semasa kecil) yang membuatku terkejut,
si Joko ternyata mempunyai kelainan bicara alias gagap yang lebih parah dari
aku. Melihat keseharian Joko yang juga “berbeda”, aku merasa mempunyai teman
yang senasib. Disinilah titik balik itu dimulai, perlahan-lahan motivasiku mulai
tumbuh, keyakinanku mulai kembali, perasaan minderku mulai tergerus oleh tekad
dan cita-cita besarku untuk menjadi dokter. Akhirnya puncak titik balik yang
begitu menakjubkan itu terjadi ketika aku terpilih sebagai komandan upacara
terbaik di sekolahan, aku mengalahkan kandidat kuat kakak-kakak kelas 3 yang
lebih senior dan aku berhak mewakili sekolahan dalam ajang yang sama untuk level
yang lebih tinggi. Bahkan selanjutnya aku dipercaya oleh seluruh elemen
disekolah untuk menduduki posisi sebagai ketua OSIS. Sebuah lakon dalam
fragnentasi kehidupan yang tidak pernah terbersit sedikitpun dalam benakku
sebelumnya.
Sungguh,
aku tidak pernah menyangka semua ini bisa terjadi. Jangankan menjadi Komandan
upacara terbaik apalagi menjadi ketua OSIS! Untuk berbicara di dalam kelas saja
sebelumnya aku tidak bisa! Apa yang sebenarnya telah terjadi? Apakah sekarang
Tuhan telah adil kepadaku? Sehingga berbagai kemudahan dan prestasi gemilang
bisa kudapatkan?
Menginjak
bangku SMA, Alhamdulillah! Aku kembali diterima di sekolah favorit di daerahku,
Demi memuluskan cita-citaku untuk menjadi dokter, aku memilih jurusan
A2/Biologi sebagai pengantar menuju mimpiku itu. Disini aku membuka diri
selebar-lebarnya untuk menggali semua
potensi yang terpendam dalam diriku. Aku kembali bergelut dalam berbagai
kegiatan intra maupun ekstra kurikuler yang ada, seperti OSIS, Kesenian dan
olahraga. Menginjak kelas 2, akhirnya aku kembali dipercaya menjabat sebagai
ketua OSIS, sebuah prestasi yang prestige-nya
luar biasa untuk diriku yang bukan siapa-siapa dan bukan apa-apa ini. Di bidang
kesenian, latar belakangku yang multitalent
alias bisa memainkan semua alat musik standar band mengantarku pada kesuksesan
sampingan. Bersama beberapa teman, kami sukses mengangkat band sekolah kami “ngangeni’ menjadi band yang
diperhitungkan didaerah kami terutama untuk genre
rock alternative, dengan meraih berbagai penghargaan di ajang festival atau
jambore music rock tanah air. Puncaknya, kami pernah didaulat oleh salah satu
EO ternama untuk menjadi band pembuka tur konser PAS Band di daerahku sekaligus
ditawari masuk dapur rekaman.
Selama 3 tahun belajar di SMA, aku merasakan
perubahan besar dalam diriku. Dengan berbagai romantikanya, berangsur aku
menjadi sosok yang openminded, optimis,
dan bersemangat. Aku sudah bisa melupakan semua masa laluku! Bahkan aku sendiri
telah lupa kalau punya kelainan “gagap bicara”, walaupun kelainan itu tidak akan
pernah bisa hilang. Bahkan sekarang aku juga nyambi sebagai penyiar radio sawasta di kotaku.
Akhirnya
hari yang kutunggu datang juga. Di penghujung masa SMA, aku mendapat kabar
baik. Aku diterima di Fakultas Kedokteran salah satu universitas ternama di
Jawa Timur, tanpa tes (tulis)! Dengan linangan air mata bahagia, aku langsung bersujud
dan melampiaskan rasa syukurku kepada Sang Maha Pencipta di tempatku berdiri
saat itu, di halaman sekolah. Aku merasakan nikmat yang luar biasa indahnya. Rupanya
Tuhan memang menghendaki keberhasilanku. Tuhan telah adil kepadaku!?
Dengan
berbekal keyakinan penuh aku berangkat sendirian untuk menjalani prosesi daftar
ulang mahasiswa baru. Semua lancar, sampai akhirnya aku menjalani pemeriksaan
kesehatan. Diluar dugaanku, ternyata sekali lagi Tuhan berkehendak lain. Tim
dokter yang memeriksaku menyatakan bahwa aku tidak bisa melanjutkan studi di
Fakultas Kedokteran, aku dinyatakan mengidap kelainan “buta warna”. Seketika
tubuhku lunglai seperti tak bertulang, mata minusku
nanar semakin tidak jelas melihat. Sekali lagi aku harus merasakan pahitnya
sebuah kegagalan oleh sebab yang aku tidak tahu asal muasalnya. Semuanya blank……….
Belajar
dari pengalaman-pengalaman sebelumnya, tidap perlu waktu lama bagiku untuk
proses recovery. Aku tidak boleh
berlama-lama larut dalam kegundahan dan kegelisahan. Aku harus segera menentukan
dan memutuskan jalan terbaik untuk meraih kesuksesanku. Akhirnya aku memilih
melanjutkan kuliah di Universitas yang sama, hanya saja di fakultas yang
berbeda. Sesuai ketentuan yang disarankan oleh pihak universitas, aku
disarankan untuk mengalihkan pilihan ke fakultas non eksakta alias fakultas
ilmu sosial, tanpa tes! Langsung di terima!
Akhirnya
aku memilih Ilmu manajamen di Fakultas Ekonomi sebagai titik awal untuk meretas kesuksesanku dimasa yang akan datang dan
ternyata disinilah aku bertemu dan menemukan konsep adil dan keadilan yang
sesungguhnya. Konsep adil dan keadilan yang haq
dan mutlak milik Tuhan. Bukan konsep adil dan keadilan nisbi yang hanya
berdasar pada keterbatasan akal dan persepsi kita. Aku memang gagal meraih
cita-cita besarku untuk menjadi dokter sesuai keinginanku dari kecil, tapi ternyata
Tuhan telah mempersiapkan kesuksesanku yang lain dengan cara dan jalan yang
lain juga. Tuhan tidak memberi yang kita inginkan, tapi Tuhan memberi yang kita
butuhkan. Subhanallah!
bisa juga dibaca di Blog Tetap Semangat
bisa juga dibaca di Blog Tetap Semangat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar