"Djulak Larau" aka Drs. Mukhlis Maman (Gambar : facebook Mukhlis Maman)
Awal perjumpaan saya dengan “Djulak Larau”
nama panggung dari budayawan dan seniman Banjar yang dikenal serba
bisa Drs Mukhlis Maman, sekitar pertengahan tahun 2000-an. Diawali
ketika kami sama-sama mengisi beberapa program acara budaya di Radio
NIRWANA FM, Banjarmasin, yaitu jaringan radio swasta terbesar di di
Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah. Di Radio dengan tagline “Radionya
Urang Banjar” yang saat itu begitu getol menampilkan tema budaya dalam
berbagai programnya itu, beliau dengan beberapa rekan main di acara
budaya “Warung Bubuhan” yang secara reguler ditayangkan TVRI Kalimantan
Selatan sampai sekarang, seperti Bang Irwan, Bang Ariel dan Bang Sukur
secara reguler membawakan tema acara budaya Banjar dengan konsep semi
dialog dalam acara surung sintak dan Lanting Kai,
sedangkan saya saat itu mengisi acara dengan latar belakang tema budaya
Jawa dengan konsep yang kurang lebih sama dalam acara Tombo Kangen. Khusus pada hari Minggu, dalam acara Dialog Budaya yang
berkonsep dialog interaktif dengan pendengar, beberapa kali kami sempat
berpasangan untuk mengisi acara yang lebih banyak mengungkap dan
mengangkat tema kekayaan, keberagaman dan keunikan budaya dari hasil akulturasi budaya masyarakat di seputar Kota Banjarmasin dan Kalimantan Selatan yang secara riil memang sangat heterogen alias multi etnis. Dari beberapa kali bertemu dan berdiskusi baik on air maupun off air saya baru menyadari bagaimana pola dan cara kerja dedikasi sidin (beliau ; Bhs Banjar) terhadap seni dan budaya Banjar yang sangat luar biasa.
Ada satu pernyataan sidin saat kami membawakan salah satu acara dialog budaya, secara live atau on air di
Radio NIRWANA yang sampai sekarang masih saya ingat diluar kepala.
Pernyataan yang saya terjemahkan sebagai konsep berkesenian sidin
ini, begitu menginspirasi pendengar dan gerak langkah serta pola pikir
saya dalam menjalani kehidupan, "berkesenian itu jangan asal mengikuti
arus, kita harus punya ciri (tredemark) sendiri agar karya kita
lebih mudah dikenali orang dan tidak membosankan, sehingga akan awet
dan abadi. Contoh : Kalau kebanyakan pencipta lagu Banjar lebih banyak
mencipta lagu Banjar dengan tema sungai, karena Banjarmasin dan
Kalimantan Selatan identik dengan sungai dan budaya sungai, tapi kalau
aku tidak! Aku lebih suka membuat lagu Banjar dengan tema gunung, bukit
atau sawah yang hijau. Mungkin sedikit tidak lazim, tapi jangan salah
obyek itu juga ada di Kalimantan Selatan! Jadi tidak melenceng dari
fakta tentang Kalimantan Selatan sendiri"
"Djulak Larau” yang juga Pamong Budaya Madya ini dikenal sebagai budayawan Banjar sekaligus seniman multitalent. Dalam
aktifitas berkesenian, beliau dikenal sebagai penyair, koreografer,
sutradara, komedian, musisi, pencipta lagu dan banyak lagi yang lainnya.
Selain sebagai pelaku seni, sidin juga tercatat sebagai salah satu penulis dokumentasi seni dan budaya Banjar yang cukup produktif. Beberapa buku karya sidin yang kesemuanya mengangkat tema budaya Banjar, seperti Wayang Gung kalimantan Selatan (2012), Gamelan Banjar Kalimantan Selatan (2007) dan Topeng Banjar di Barikin
(2012) sampai sekarang masih menjadi rujukan bagi semua pihak yang
ingin mempelajari eksotisnya seluk beluk berbagai seni dan tradisi
Banjar.
"Djulak Larau" dan rekan-rekan (Gambar : facebook Mukhlis Maman)
Era globalisasi menghadirkan revolusi
teknologi, khususnya teknologi informasi dengan berbagai produk
turunannya yang telah berhasil melipat dimensi ruang dan waktu menjadi
semakin linier tanpa sekat dan batas, menyebabkan munculnya era dunia
baru yang ditandai dengan mulai bergesernya tata budaya masyarakat
dunia, khususnya negara-negara berkembang seperti Indonesia. Derasnya
arus informasi global tidak hanya menambah wawasan dan pengetahuan
secara umum, tapi juga mulai merubah pola pikir, sikap, perilaku, gaya
hidup dan etika sosial yang secara perlahan tapi pasti juga akan merubah
tata nilai dan tata laku budaya masyarakat. Banyaknya asset seni dan
budaya bangsa dari berbagai suku di Indonesia yang mulai punah,
ditengarai sebagai salah satu bukti riilnya. Di Kalimantan Selatan
sendiri, kesenian tari, teater rakyat dan sastra tutur yang dulu pernah
merajai panggung hiburan rakyat seperti tari baksa kambang, japin,
dammar ulan, wayang gong, wayang kulit banjar, mamanda, mamanda tubau,
bapandung, balamut dan madihin sekarang sudah sangat jarang bahkan tidak
ada yang memainkannya. Bisa jadi orang Banjar generasi sekarang justeru
asing mendengar nama-namanya.
Kehadiran sosok-sosok dedikatif seperti “Djulak Larau” dan kawan-kawan dalam lingkungan masyarakat yang sedang mengalami euphoria transisi
budaya yang sekarang sedang membius sebagian besar masyarakat
Indonesia, termasuk Kalimantan Selatan akibat serbuan aneka budaya pop
yang terlihat lebih renyah, simple dan menggoda merupakan
hembusan angin segar sekaligus setetes harapan bagi eksistensi seni
budaya khas daerah Kalimantan Selatan.
Alat musik Unggut (Gambar : facebook Mukhlis Maman)
Berbagai usaha dan upaya pelestarian seni budaya khas suku Banjar telah dilakukan oleh seniman serba bisa yang juga jagau (jago
: Bhs.Banjar) dalam bermain catur ini. Bersama-sama dengan rekan-rekan
seperjuangan di markas “Taman Budaya Kalimantan Selatan’, yang sudah
dianggap sebagai rumah kedua bagi sidin lahir ide-ide kreatif
dan konsep “format” menuju titik ideal untuk melestarikan dan merawat
seni tradisi dan budaya Banjar. Salah satunya adalah melalui karya
tulisan dokumenter tentang seni dan budaya. Karya tulisan sidin tidak
hanya dalam bentuk buku seperti tersebut diatas, tapi juga dalam bentuk
artikel yang tersebar di berbagai media baik cetak maupun online. Selain itu, sidin
juga aktif menjadi pengisi acara bertema budaya di TVRI Kalimantan
Selatan, baik yang berkonsep drama seperti dalam acara “warung bubuhan”
maupun dialog interaktif.
"Djulak Larau" memainkan "tartar" (Gambar : facebook Mukhlis Maman)
Di luar itu, sidin juga sering
berbagi pengetahuan dan pemahaman tentang budaya Banjar dengan menjadi
pembicara dalam berbagai seminar dan sarasehan budaya baik tingkat lokal
maupun nasional, menjadi koreografer sekaligus pengajar tari di
beberapa sanggar seni Banjar. Khusus untuk yang satu ini sidin juga masih sering turun untuk melakukan pentas seni baik di tingkat lokal maupun nasional dan yang paling menarik adalah upaya sidin untuk melestarikan beberapa alat musik tradisional Kalimantan Selatan yang sudah lama terkubur dan terlindas jaman seperti kuriding. Melalui tangan dingin sidin
alat musik khas Indonesia yang di Kalimantan Selatan telah lama hilang
dan tenggelam oleh waktu itu, sekarang mulai mewabah lagi di kalangan
anak muda Banjarmasin. Begitu juga dengan alat musik unggut, alat musik khas pedalaman Kalimantan Selatan yang mirip dengan panting ini kembali diperkenalkan sidin kepada masyarakat Kalimantan Selatan dan yang paling baru, sidin kembali berimprovisasi dengan menciptakan alat musik baru kombinasi antara gitar dan tarbang (terbang/rebana ; bhs. Banjar) yang dinamai sidin “tartar” alias singkatan dari gitar dan tarbang.
Seorang Djulak Larau alias
Drs Mukhlis Maman dan semua rekan yang aktif menggerakkan seni tradisi
dan buadaya Banjar di Taman Budaya Kalimantan Selatan tentu tidak bisa
sendirian berjuang mempertahankan eksistensi seni tradisi dan budaya
Banjar. Peran sidin dan rekan-rekan sebagai katalisator pelestarian seni tradisi dan budaya Banjar harus mendapat support dari semua elemen masyarakat Banjar. Apalagi kalau melihat banyaknya seni tradisi dan budaya Banjar yang memerlukan langkah restrukturisasi dan reaktualisasi karena
keberadaanya yang terancam punah. Idealnya, untuk menjaga dan merawat
kelestarian seni tradisi dan Budaya Banjar harus bersifat kolektif.
Artinya, kelestarian seni tradisi dan Budaya Banjar harus menjadi
tanggung jawab semua masyarakat Banjar.
Artikel pertama kali di publikasikan do Indonesiana.Tempo.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar