Banjarmasin, Ibukota Kalimantan Selatan selama
ini dikenal luas dengan julukan “Kota 1000 Sungai”. Seperti layaknya kebiasaan
orang Indonesia khususnya orang Jawa, kata bilangan 1000 (seribu) disini
bermakna banyak, kurang lebih sama
seperti makna pada istilah kepulauan seribu, gedung lawang sewu, atau air
terjun cemoro sewu dan grojogan sewu yang semuanya memakai kata bilangan 1000
untuk menggambarkan kata banyak, baik untuk jumlah maupun ukuran tinggi atau
panjang. Jadi, makna julukan Kota 1000 Sungai, secara umum dipahami sebagai
kota yang dialiri oleh banyak sungai. Walaupun data resmi dari dinas terkait,
jumlah DAS sungai kecil maupun besar yang membelah Kota Banjarmasin sebenarnya
tidak sampai 1000 sungai.
Mungkin bagi yang belum pernah mengunjungi Kota
Banjarmasin akan membayangkan Banjarmasin seperti Kota Venezia di Italia yang
kotanya di belah oleh kanal-kanal besar dan kecil yang bisa di lewati oleh
perahu-perahu berbagai ukuran, tergantung ukuran kanalnya!?
Tapi sayang, Kota Banjarmasin memang bukan Kota
Venezia dan Indonesia juga bukan Italia yang begitu peduli dan sadar akan
potensi besar yang dimiliki oleh alam lingkungannya. Eksistensi fungsi dari sebagian besar sungai-sungai
di Kota Banjarmasin, saat ini sudah sangat jauh terdegradasi, tidak lagi utuh
dan normal seperti dulu lagi. Hal ini
tarjadi seiring dengan melesatnya jumlah penduduk yang otomatis membutuhkan
ruang untuk tempat tinggal dan mobilisasi warga plus konsep tataruang kota yang belum berpihak pada keseimbangan
alam, khususnya kelestarian sungai. Sekarang ini banyak sungai yang telah
berubah fungsi bahkan ada juga yang mati atau hilang baik secara fisik maupun
fungsi. Walaupun belakangan, upaya normalisasi sungai sudah mulai tampak dilakukan,
tapi keseriusan dan kesungguhan untuk membangun kembali konstruksi budaya
sungai milik suku Banjar dan masyarakat Kota Banjarmasin oleh para pemangku
kebijakan dirasa masih kurang maksimal. Kalau di era tahun 80-an, rumah masih
banyak yang menghadap ke sungai, sekarang hampir semua membelakanginya dan
lebih memilih menghadap ke jalanan ber- aspal. Kalau dulu sungai di depan rumah
bisa dilewati jukung atau kelotok penjual kerajinan tangan, sayur-sayuran dan
berbagai buah-buahan hutan dari daerah pedalaman yang setiap hari menjajakan
dagangannya, sekarang jangan berharap bisa melihat itu semua. Seperti kata
pepatah, memiliki anugrah alam yang sempurna adalah sebuah keniscayaan bagi
bumi Indonesia, termasuk Kota Banjarmasin, tapi untuk menjaga dan merawat
kesempurnaan itulah yang sangat sulit untuk dilakukan. Terkesan klise memang, tapi memang inilah adanya!
Jangan sampai anak cucu kita kelak hanya mendengarkan dongeng-nya saja akan
kejayaan dan keunikan budaya perairan darat, budaya sungai milik Suku Banjar
dan Masyarakat Kota Banjarmasin semuanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar