Walaupun
selalu menjadi pro dan kontra, keputusan pemerintah kembali membuka kesempatan
pencari kerja untuk mengikuti seleksi penerimaan calon pegawai negeri sipil
(CPNS) tahun 2009 ini, dirasakan bak angin surga yang menyejukkan oleh beberapa
kalangan. Mengingat begitu besarnya angka pengangguran (terdidik) di Indonesia,
situasi ini memang sangat masuk akal. Di Kalimantan Selatan, euforia angin surga itu sudah mulai
terlihat sesaat setelah libur Idul Fitri ditandai dengan membludaknya pencari
kartu kuning (KTP-nya pencari kerja) yang menyerbu Dinas Tenaga Kerja dan
pencari SKCK di Polres berbagai kota/kabupaten sesaat setelah Bpost memberitakan perihal CPNS 2009.
Magnet bernama Pegawai Negeri Sipil atau PNS memang tidak akan pernah lekang
oleh waktu, kehadirannya seperti gulaan
yang manis dan harum yang selalu sanggup untuk mengundang siapapun untuk
menghampiri dan berusaha untuk mengecapnya. Situasi ini cukup wajar, mengingat
status PNS sekarang bisa dijadikan jaminan stabilitas hidup yang relatif bisa
diandalkan. Dengan jam kerja yang relatif ”fleksibel”, gaji untuk golongan IIA
nol dinas (setara SLTA) sebesar Rp. 1.151.700,- plus berbagai tunjangan yang masih mungkin diterima dalam bentuk
uang ataupun natura lainnya. Coba
bandingkan dengan sektor swasta, dengan jam kerja yang amat sangat ketat
(bahkan dilapangan kecenderungannya melebihi waktu kerja normatif) 8 jam/hari,
UMP Kalsel 2009 (hanya) Rp. 930.000,- yang dalam aplikasi riilnya belum tentu
diberlakukan secara benar oleh semua perusahaan di wilayah Kalsel plus masih dan selalu dibayangi oleh PHK
atau kemungkinan lain yang tidak bisa diprediksi. Gambaran ini memang membalik
kenyataan situasi sepuluh tahun silam yang selalu mengidentikkan PNS terutama
guru sebagai sosok yang selalu identik dengan pengabdian dan penderitaan
khususnya secara ekonomi.
Berbicara
tentang pegawai negeri, sebenarnya banyak hal menggelitik bahkan mengganjal
yang mungkin selama ini terlewatkan sebegitu jauh dari perhatian kita. Sejatinya
apa dan siapa sosok pegawai negeri itu?
Kenapa magnetnya begitu kuat? bahkan konon sanggup menembus batas-batas
rasional dan berbagai norma kehidupan!.
Secara
umum, selama ini kita terbiasa mengidentikkan pegawai negeri sama dengan
pegawai negara atau aparaturnya negara kurang lebih begitu. Berangkat dari identikisasi tersebut sekaligus mengutip
pendapat budayawan Emha Ainun Nadjib dalam naskah ”Bambang Gembelengan Alias
Tak Ada Negara di Pasar Turi” (Kompas, 2008), secara filosofis antara negeri
dan negara itu jauh berbeda. Negara jelas statusnya menurut konstitusi, tapi
”negeri” sangat tidak jelas. Kata negeri domain dari budaya bahkan sebenarnya bahasa
puisi, sehingga konsekuensi logis-nya pegawai negeri (mestinya) tidak jelas
posisinya dalam hukum? tapi di Indonesia baik dalam pemahaman konstitusi maupun
di alam pikiran rakyat umumnya, hal itu belum atau tidak dibedakan! Hal ini
mungkin sebanding dengan kata negara dan pemerintah yang selama ini kita pahami
kurang lebih sama. Tenyata menurut Pipit
Rukhiyat Kartawijaya seorang negarawan yang juga pakar PEMILU Indonesia, ada
pebedaan yang mendasar dan sangat serius antara negara dan pemerintah. Negara
adalah aplikasi dari otoritas rakyat sedangkan pemerintah itu adalah pelaksana yang
digaji untuk menjalankan otoritas rakyat
Memang
benar, penggunaan kata negeri memang lebih banyak muncul dalam karya sastra
seperti opera, teater, sajak, dongeng dan lain-lain dan sangat jarang terdengar
atau mungkin memang tidak tepat bila digunakan sebagai kata untuk fungsi formal
dan yuridis. Tidak ada penyebutan negeri Indonesia, negeri Amerika Serikat,
negeri Afrika Selatan atau negeri Jerman yang ada adalah negeri impian, negeri
dongeng, negeri diatas awan, negeri kurcaci dsb. Begitu pula sebaliknya tidak
ada penyebutan negara kangguru, negara singa, negara matahari terbit, negara
paramullah atau negara petro dollar yang ada adalah negara Libya, negara
Suriname, negara Perancis, negara Pakistan dsb. Dari fakta diatas, penggunaan
kata ”negeri” pada frase kata ”pegawai negeri” untuk menjelaskan statusnya
sebagai pegawai yang dipekerjakan dan digaji oleh negara sepertinya memang tidak
tepat. Kalau kita konsisten, seharusnya pegawai negara bukan pegawai negeri karena
yang mempekerjakan dan menggaji mereka adalah negara bukan negeri.
Lantas
siapa sebenarnya jatidiri pegawai negara (sampai detik ini masih disebut
pegawai negeri) itu sebenarnya? Dalam Atmosfir demokrasi seperti yang dianut
oleh Negara Kesatuan Republik Indonesia, dengan jargon dari rakyat, untuk
rakyat dan oleh rakyat, maka suara rakyat adalah suara Tuhan. Posisi rakyat
secara struktural adalah yang tertinggi, tapi jelas mustahil 220 juta orang
Indonesia semuanya menempati posisi struktural tertinggi (baca ; presiden) maka
selanjutnya diadakan pemilu untuk memilih wakil rakyat, kemudian para wakil
rakyat itulah yang memilih dan memilah beberapa orang yang ”dibayar” untuk
mengurusi semua yang diperlukan oleh rakyat dalam sebuah tatanan bernama negara.
Pengurus keperluan rakyat ini diurutkan dari yang paling atas disebut Presiden
sampai yang paling bawah Pak Lurah dan Pak Sekdes, merekalah yang disebut
pegawai negara. Dari diskripsi diatas jelas siapa sebenarnya ”pegawai negara”
itu! Presiden dan seluruh jajaran pejabat birokrat pada hakekatnya adalah abdi rakyat
alias PRT atau ”pembantu rumah tangga” rakyat. Karena rakyat yang membayarnya,
menyediakan kantor, rumah dinas, kendaraan dan semua kelengkapannya untuk
menjalankan tugas termasuk biaya perjalanan dinas dan biaya asuransi diri. Semua
pasti sepakat, yang membayar adalah bos dan yang dibayari adalah karyawan atau
buruh. Rakyat yang membayari berarti juragan dan pegawai negara berarti buruh. Jadi,
pejabat presiden, apalagi menteri yang ”pembantu” presiden, gubernur, Bupati, camat
sampai lurah bukanlah orang nomor satu di wilayah kerjanyanya masing-masing,
yang nomor satu yang tertinggi adalah rakyat. Mereka para pejabat negara itu
sejatinya adalah Pembantu Rumah Tangga penduduk diwilayahnya! Maka sudah
seharusnya rakyat dihormati! Rakyat
tetap bisa hidup dan cari makan tanpa adanya lurah atau presiden sekalipun,
tapi walikota atau gubernur bahkan presiden sekalipun ada dan bisa menjadi ada
hanya karena ada rakyat!
Dengan
bermain logika linier seperti diatas, jati diri PNS bisa dijelaskan posisi dan
kedudukannya secara logis dan fair.
Mudah-mudahan diskripsi sederhana ini bisa menjadi bahan perenungan dan pertimbangan
bagi siapapun yang sudah atau masih ingin mengecap manisnya gulaan bernama Pegawai Negara Republik
Indonesia yang ternyata menyimpan sejuta ironi dan beban pertanggung jawaban
secara vertikal maupun horisontal yang cukup berat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar