Jumat, 18 Juli 2014

Pegawai Negara Republik Indonesia



Walaupun selalu menjadi pro dan kontra, keputusan pemerintah kembali membuka kesempatan pencari kerja untuk mengikuti seleksi penerimaan calon pegawai negeri sipil (CPNS) tahun 2009 ini, dirasakan bak angin surga yang menyejukkan oleh beberapa kalangan. Mengingat begitu besarnya angka pengangguran (terdidik) di Indonesia, situasi ini memang sangat masuk akal. Di Kalimantan Selatan, euforia angin surga itu sudah mulai terlihat sesaat setelah libur Idul Fitri ditandai dengan membludaknya pencari kartu kuning (KTP-nya pencari kerja) yang menyerbu Dinas Tenaga Kerja dan pencari SKCK di Polres berbagai kota/kabupaten sesaat setelah Bpost memberitakan perihal CPNS 2009. Magnet bernama Pegawai Negeri Sipil atau PNS memang tidak akan pernah lekang oleh waktu, kehadirannya seperti gulaan yang manis dan harum yang selalu sanggup untuk mengundang siapapun untuk menghampiri dan berusaha untuk mengecapnya. Situasi ini cukup wajar, mengingat status PNS sekarang bisa dijadikan jaminan stabilitas hidup yang relatif bisa diandalkan. Dengan jam kerja yang relatif ”fleksibel”, gaji untuk golongan IIA nol dinas (setara SLTA) sebesar Rp. 1.151.700,- plus berbagai tunjangan yang masih mungkin diterima dalam bentuk uang ataupun natura lainnya. Coba bandingkan dengan sektor swasta, dengan jam kerja yang amat sangat ketat (bahkan dilapangan kecenderungannya melebihi waktu kerja normatif) 8 jam/hari, UMP Kalsel 2009 (hanya) Rp. 930.000,- yang dalam aplikasi riilnya belum tentu diberlakukan secara benar oleh semua perusahaan di wilayah Kalsel plus masih dan selalu dibayangi oleh PHK atau kemungkinan lain yang tidak bisa diprediksi. Gambaran ini memang membalik kenyataan situasi sepuluh tahun silam yang selalu mengidentikkan PNS terutama guru sebagai sosok yang selalu identik dengan pengabdian dan penderitaan khususnya secara ekonomi.
Berbicara tentang pegawai negeri, sebenarnya banyak hal menggelitik bahkan mengganjal yang mungkin selama ini terlewatkan sebegitu jauh dari perhatian kita. Sejatinya apa dan siapa sosok pegawai negeri  itu? Kenapa magnetnya begitu kuat? bahkan konon sanggup menembus batas-batas rasional dan berbagai norma kehidupan!.
Secara umum, selama ini kita terbiasa mengidentikkan pegawai negeri sama dengan pegawai negara atau aparaturnya negara kurang lebih begitu. Berangkat dari identikisasi tersebut sekaligus mengutip pendapat budayawan Emha Ainun Nadjib dalam naskah ”Bambang Gembelengan Alias Tak Ada Negara di Pasar Turi” (Kompas, 2008), secara filosofis antara negeri dan negara itu jauh berbeda. Negara jelas statusnya menurut konstitusi, tapi ”negeri” sangat tidak jelas. Kata negeri domain dari budaya bahkan sebenarnya bahasa puisi, sehingga konsekuensi logis-nya pegawai negeri (mestinya) tidak jelas posisinya dalam hukum? tapi di Indonesia baik dalam pemahaman konstitusi maupun di alam pikiran rakyat umumnya, hal itu belum atau tidak dibedakan! Hal ini mungkin sebanding dengan kata negara dan pemerintah yang selama ini kita pahami kurang lebih sama. Tenyata menurut  Pipit Rukhiyat Kartawijaya seorang negarawan yang juga pakar PEMILU Indonesia, ada pebedaan yang mendasar dan sangat serius antara negara dan pemerintah. Negara adalah aplikasi dari otoritas rakyat sedangkan pemerintah itu adalah pelaksana yang digaji untuk menjalankan otoritas rakyat
Memang benar, penggunaan kata negeri memang lebih banyak muncul dalam karya sastra seperti opera, teater, sajak, dongeng dan lain-lain dan sangat jarang terdengar atau mungkin memang tidak tepat bila digunakan sebagai kata untuk fungsi formal dan yuridis. Tidak ada penyebutan negeri Indonesia, negeri Amerika Serikat, negeri Afrika Selatan atau negeri Jerman yang ada adalah negeri impian, negeri dongeng, negeri diatas awan, negeri kurcaci dsb. Begitu pula sebaliknya tidak ada penyebutan negara kangguru, negara singa, negara matahari terbit, negara paramullah atau negara petro dollar yang ada adalah negara Libya, negara Suriname, negara Perancis, negara Pakistan dsb. Dari fakta diatas, penggunaan kata ”negeri” pada frase kata ”pegawai negeri” untuk menjelaskan statusnya sebagai pegawai yang dipekerjakan dan digaji oleh negara sepertinya memang tidak tepat. Kalau kita konsisten, seharusnya pegawai negara bukan pegawai negeri karena yang mempekerjakan dan menggaji mereka adalah negara bukan negeri.
Lantas siapa sebenarnya jatidiri pegawai negara (sampai detik ini masih disebut pegawai negeri) itu sebenarnya? Dalam Atmosfir demokrasi seperti yang dianut oleh Negara Kesatuan Republik Indonesia, dengan jargon dari rakyat, untuk rakyat dan oleh rakyat, maka suara rakyat adalah suara Tuhan. Posisi rakyat secara struktural adalah yang tertinggi, tapi jelas mustahil 220 juta orang Indonesia semuanya menempati posisi struktural tertinggi (baca ; presiden) maka selanjutnya diadakan pemilu untuk memilih wakil rakyat, kemudian para wakil rakyat itulah yang memilih dan memilah beberapa orang yang ”dibayar” untuk mengurusi semua yang diperlukan oleh rakyat dalam sebuah tatanan bernama negara. Pengurus keperluan rakyat ini diurutkan dari yang paling atas disebut Presiden sampai yang paling bawah Pak Lurah dan Pak Sekdes, merekalah yang disebut pegawai negara. Dari diskripsi diatas jelas siapa sebenarnya ”pegawai negara” itu! Presiden dan seluruh jajaran pejabat birokrat pada hakekatnya adalah abdi rakyat alias PRT atau ”pembantu rumah tangga” rakyat. Karena rakyat yang membayarnya, menyediakan kantor, rumah dinas, kendaraan dan semua kelengkapannya untuk menjalankan tugas termasuk biaya perjalanan dinas dan biaya asuransi diri. Semua pasti sepakat, yang membayar adalah bos dan yang dibayari adalah karyawan atau buruh. Rakyat yang membayari berarti juragan dan pegawai negara berarti buruh. Jadi, pejabat presiden, apalagi menteri yang  ”pembantu” presiden, gubernur, Bupati, camat sampai lurah bukanlah orang nomor satu di wilayah kerjanyanya masing-masing, yang nomor satu yang tertinggi adalah rakyat. Mereka para pejabat negara itu sejatinya adalah Pembantu Rumah Tangga penduduk diwilayahnya! Maka sudah seharusnya  rakyat dihormati! Rakyat tetap bisa hidup dan cari makan tanpa adanya lurah atau presiden sekalipun, tapi walikota atau gubernur bahkan presiden sekalipun ada dan bisa menjadi ada hanya karena ada rakyat!
Dengan bermain logika linier seperti diatas, jati diri PNS bisa dijelaskan posisi dan kedudukannya secara logis dan fair. Mudah-mudahan diskripsi sederhana ini bisa menjadi bahan perenungan dan pertimbangan bagi siapapun yang sudah atau masih ingin mengecap manisnya gulaan bernama Pegawai Negara Republik Indonesia yang ternyata menyimpan sejuta ironi dan beban pertanggung jawaban secara vertikal maupun horisontal yang cukup berat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar