Menjelang
berakhirnya bulan Ramadhan 1430 H, Bangsa Indonesia kembali disuguhi drama
kehidupan yang silih berganti tampil ”menawan” dalam pentas panggung sandiwara
bertajuk hidup dalam kehidupan, yang masih fresh
from the oven adalah pementasan fabel dengan lakon Cicak dan Buaya atau
tepatnya yang dianggap cicak dan yang merasa buaya yang ternyata
membawa bola api panas dan menggelinding liar tak beraturan menerobos
batas-batas logika dan etika, sungguh dramatik!. Drama bermula dari keberanian
”cicak” mengusik ”Buaya” yang lagi asyik berbasah-basah ria di habitatnya yang
memang ”super basah” dan puncaknya saat ”cicak” dengan suksesnya menangkap
bahkan memenjarakan mantan ”Jendral Buaya” yang memang terbukti bisa ber-metamorf menjadi ”tikus”. Celakanya
keberanian ”cicak” ini tidak disikapi secara gentle bahkan dinilai oleh sebagian anggota ”Korps Buaya” sebagai
upaya ”cicak” untuk meruntuhkan pamor dan eksistensi ”Korps Buaya” sebagai frontman dalam urusan penegakkan ”Hukum
Rimba” di negeri ini dan akhirnya, perseteruan dimulai. Psy war terbuka antara keduanya di media massa, selalu syarat
dengan luapan emosi sehingga sering lost
control yang otomatis menunjukkan kegagalan me-manage ke-tidakdewasaan dan ke-tidakprofesionalan sebagi individu
yang seharusnya memang dewasa dan profesional dalam berfikir, bersikap,
berperilaku dan bertindak. Kondisi ini jelas menggelikan sekaligus memprihatinkan,
apalagi kalau memandang latarbelakang ”ketokohan” yang mereka sandang selama
ini. Pokoknya sekarang ini cicak dan buaya-lah yang menguasai rating pemberitaan media baik cetak
maupun elektronik, entah sampai kapan!.
Begitulah dunia, semua serba mungkin, sekali lagi mungkin, mungkin dan
mungkin! Mungkin juga disini buaya berpikir drama perseteruan dengan cicak yang
”notabene” memang kecil ini akan semakin meningkatkan ”citra” ke-besarannya!
(Buaya dibilang besar karena faktor pembandingnya adalah ”cicak”, coba kalau
faktor pembandingnya godzilla atau Dinosaurus
pasti semua jadi terbalik!) atau jangan-jangan semua hanyalah sekedar games untuk menunjukkkan eksistensi,
terutama eksistensi keberadaan naluri ke-buayaannya! Karena menjaga stabilitas
eksistensi di dalam proses ber-kehidupan hukumnya adalah fardhu ain demi menjaga probabilitas
keberlangsungan dan kelestarian hidup! Tapi bila benar, komunitas atau korps
buaya tetap harus berhati-hati, karena bermain games itu layaknya candu yang mamabukkan, apalagi bila games bisa diatur dan dikendalikan untuk
kepentingan dan keuntungan pribadi dan atau kelompok.sendiri. Terlebih lagi
lawan bermain games adalah saudara
yang ”ditakdirkan” memang lebih kecil! Seperti ”Cicak” (Sudah menjadi rahasia
umum, semua yang tergolong kecil relatif mudah untuk diajak bermain-main bahkan
juga untuk dipermainkan). Apabila benar bahwa ”cicak dan buaya” merupakan
simbolisasi dari sebuah ukuran fisik (kecil dan besar) entah itu tubuh, badan,
kekuasaan atau yang lainnya! Maka yang terjadi adalah praktik arogansi yang sembrono, karena terlalu naif mengukur segala sesuatu hanya berdasarkan
wujud fisiknya saja. Faktanya dalam kehidupan nyata ukuran fisik tidak bisa
dijadikan satu-satunya parameter untuk membaca fakta dan realitas materi
(kekuatan) yang sebenarnya. Masih ingat sejarah Perang Khandaq atau Perang
Parit! pasukan Islam yang jumlahnya hanya sepertiga dari pasukan musuh ternyata
bisa menjugkirbalikkan perhitungan akal secara umum. Ini fakta! Ada faktor lain
dalam kehidupan ini yang tidak terjangkau oleh akal dan pikiran kita yang mempunyai
pengaruh aplikatif tidak kalah besar dibanding wujud fisik. Contoh lain yang
lebih familiar, tentu anda masih
ingat dengan permainan pingsutan atau
suit yaitu permainan tradisonal yang biasa
dipakai untuk menentukan urutan dalam permainan!. Dalam permainan yang menggunakan jari-jemari sebagai alat, yaitu
jari jempol dinisbatkan sebagai gajah (simbol besar dan kuat), telunjuk sebagai manusia (simbol sedang) dan
kelingking sebagai semut (simbol kecil) ini dalam aturan bakunya menentukan
semut mati/kalah oleh manusia, manusia akan mati oleh gajah dan seperti
lingkaran setan gajah justru mati dari semut!! Menakjubkan bukan?! Konsep
permainan pingsutan diyakini bukan
sebuah kebetulan belaka tapi memang ada pesan yang terkandung dibalik permainan
ini, khususnya pada anak-anak yang
paling sering memainkannya (hebatnya
lagi, semua pasti pernah mengalami masa ana-anak dan mudah-mudahan lagi pernah
bermain pingsutan )?! Pesan yang
paling mudah untuk ditangkap adalah pesan moral untuk tidak mudah meremehkan apapun
dan siapapun! Dan jangan pula melihat segala sesuatu dari bentuk dan ukuran
fisiknya saja!!!
Cicak,
kadal, tokek, mungkin bunglon, biawak, komodo dan buaya konon masih berkerabat
satu sama lain yang artinya mereka masih sekeluarga dengan clan bernama reptil, atau
lebih luas lagi keluarga sesama binatang.
Coba, perhatikan secara visual (umum) bentuk badan dan cara mereka berjalan!
Semuanya sama! Sama-sama ”merayap” hanya saja karena ukuran tubuh mereka
berbeda-beda maka memungkinkan habitat mereka berbeda pula! Ukuran cicak paling
besar tidak akan lebih besar dari buaya yang paling kecil atau bahkan buaya
yang baru menetas sekalipun. Sungguh, perbandingan yang sangat kontras dan
teramat timpang! Atau barangkali memang tidak layak untuk dibandingkan!
(seharusnya, buaya malu kalau dibanding-bandingkan ”hanya” dengan cicak, mau
ditaruh dimana harga diri ke-buayaannya). Tapi semua sudah terlanjur, fabel Cicak dan Buaya saat ini sudah menjadi drama yang
paling ditunggu sekuel-nya oleh
masyarakat penikmat dan pecinta drama di seluruh pelosok negeri. Cicak sebagi
salah satu aktor utama tampil dengan sosok kecil, mungil dan ramping, makanya
manuver pergerakan ”cicak” terlihat cerdas, efektif, efisien karena didukung
kebiasaan mangkal ditempat yang
strategis, diatas atau di samping mangsa bukan dibawah (juga bagian introspeksi
dan strategi dalam mengantisipasi ancaman pemangsa). Selain itu ”cicak” bisa menclok alias hinggap disana-sini
sekehendaknya, sehingga terkesan lebih cepat, akurat dan memuaskan (mungkin ini
yang dinamakan profesional)! Habitat
cicak kurang lebih sama dengan manusia, yaitu tempat yang relatif kering. Hanya
sesekali dan seperlunya saja berbasah-basah ria. Kondisi ini berbanding
terbalik dengan ”Buaya”, sebagai aktor utama berikutnya! dengan ukuran tubuh
yang relatif ”jumbo” pergerakannya jelas lebih lamban sehingga kesan efektif
dan efisien semakin jauh, kecuali bila berada di habitatnya sendiri yang
dikenal ”super basah” seperti di muara laut, rawa dalam dan danau. Disitu ”buaya”
memang bisa bergerak efektif dan mungkin efisien. Hanya saja, prasyarat habitat
yang harus ”basah” inilah yang bikin repot! Karena tidak semua di wilayah ”Hukum
Rimba” negeri ini punya tempat ”basah” yang layak untuk ”menghidupi” Buaya.
Akibatnya sudah jelas, Eksklusifitas!
keterbatasan itu membuat buaya tidak begitu dikenali oleh lingkungannya sendiri!
Jangankan bercengkerama sekedar melihatpun harus dari balik pagar berjeruji
besi, itupun kalau ada kesempatan! Karena hanya di tempat dan kalangan tertentu
saja yang bisa dan diijinkan untuk ”memelihara” buaya, karena selain masalah
habitat yang harus ”basah”, birokrasi legalnya sangat njelimet dan biaya untuk
”pemeliharaan-nya” tergolong sangat tinggi karena konon buaya
sekarang tidak hanya tergolong sebagai Carnivora (pemakan daging) saja tapi
sudah banyak yang bermutasi menjadi Omnivora
(pemakan segala). Ini jelas beda dengan cicak yang menjalani aktivitas hidupnya
dari lahir sampai mati memang sudah berdampingan dengan manusia. Hebatnya lagi,
tanpa dipeliharapun cicak akan berkembang biak dengan sendirinya alias mandiri!
Dengan
segala kelebihan dan kekurangannya cicak dan buaya telah menjadi fenomena!
Fenomena yang fenomenal dengan mengumbar ketidakharmonisan secara vulgar (yang sejujurnya cukup sadis dan sangat
abnormal) dan eksplisit kepada seluruh negeri.. Sekarang giliran penonton untuk
mengapresiasi pementasan fabel cicak
dan buaya ini (untuk proses ini, tidak harus menunggu pementasan berakhir!), sebagai bagian penting dari sebuah
komunikasi efektif dalam kerangka ber-demokrasi, kalau perlu kita bantu untuk
menemukan ending yang berkualitas dan
dapat dipertanggungjawabkan secara hukum, moral, logika bahkan secara budaya
sebagai bangsa timur yang beradap dan bermartabat.
Perbedaan adalah berkah, sedangkan persamaan adalah anugerah! Perbedaan dan
persamaan adalah wilayah yang dipisahkan oleh olah persepsi naluriah yang
sifatnya sangat alamiah. Kepada yang
dianggap cicak dan yang merasa
buaya, mari kita kembali kepada fitrah kita menjadi manusia lumrah, manusia
yang senantiasa memuliakan manusia lainnya sebagai sesama makhluk-Nya. Sungguh,
negeri ini sangat membutuhkan kembalinya manusia-manusia berjiwa dan berhati
besar, untuk meraih kembali kejayaan sebagai negeri beradab dan bermartabat di muka bumi ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar