Jumat, 18 Juli 2014

(...mengenang kembali) Hikayat, ” Cicak dan Buaya”



Menjelang berakhirnya bulan Ramadhan 1430 H, Bangsa Indonesia kembali disuguhi drama kehidupan yang silih berganti tampil ”menawan” dalam pentas panggung sandiwara bertajuk hidup dalam kehidupan, yang masih fresh from the oven adalah pementasan fabel  dengan lakon Cicak dan Buaya atau tepatnya yang dianggap cicak dan yang merasa buaya yang ternyata membawa bola api panas dan menggelinding liar tak beraturan menerobos batas-batas logika dan etika, sungguh dramatik!. Drama bermula dari keberanian ”cicak” mengusik ”Buaya” yang lagi asyik berbasah-basah ria di habitatnya yang memang ”super basah” dan puncaknya saat ”cicak” dengan suksesnya menangkap bahkan memenjarakan mantan ”Jendral Buaya” yang memang terbukti bisa ber-metamorf menjadi ”tikus”. Celakanya keberanian ”cicak” ini tidak disikapi secara gentle bahkan dinilai oleh sebagian anggota ”Korps Buaya” sebagai upaya ”cicak” untuk meruntuhkan pamor dan eksistensi ”Korps Buaya” sebagai frontman dalam urusan penegakkan ”Hukum Rimba” di negeri ini dan akhirnya, perseteruan dimulai. Psy war terbuka antara keduanya di media massa, selalu syarat dengan luapan emosi sehingga sering lost control yang otomatis menunjukkan kegagalan me-manage ke-tidakdewasaan dan ke-tidakprofesionalan sebagi individu yang seharusnya memang dewasa dan profesional dalam berfikir, bersikap, berperilaku dan bertindak. Kondisi ini jelas menggelikan sekaligus memprihatinkan, apalagi kalau memandang latarbelakang ”ketokohan” yang mereka sandang selama ini. Pokoknya sekarang ini cicak dan buaya-lah yang menguasai rating pemberitaan media baik cetak maupun elektronik, entah sampai kapan!.  Begitulah dunia, semua serba mungkin, sekali lagi mungkin, mungkin dan mungkin! Mungkin juga disini buaya berpikir drama perseteruan dengan cicak yang ”notabene” memang kecil ini akan semakin meningkatkan ”citra” ke-besarannya! (Buaya dibilang besar karena faktor pembandingnya adalah ”cicak”, coba kalau faktor pembandingnya godzilla atau Dinosaurus pasti semua jadi terbalik!) atau jangan-jangan semua hanyalah sekedar games untuk menunjukkkan eksistensi, terutama eksistensi keberadaan naluri ke-buayaannya! Karena menjaga stabilitas eksistensi di dalam proses ber-kehidupan hukumnya adalah fardhu ain demi menjaga probabilitas keberlangsungan dan kelestarian hidup! Tapi bila benar, komunitas atau korps buaya tetap harus berhati-hati, karena bermain games itu layaknya candu yang mamabukkan, apalagi bila games bisa diatur dan dikendalikan untuk kepentingan dan keuntungan pribadi dan atau kelompok.sendiri. Terlebih lagi lawan bermain games adalah saudara yang ”ditakdirkan” memang lebih kecil! Seperti ”Cicak” (Sudah menjadi rahasia umum, semua yang tergolong kecil relatif mudah untuk diajak bermain-main bahkan juga untuk dipermainkan). Apabila benar bahwa ”cicak dan buaya” merupakan simbolisasi dari sebuah ukuran fisik (kecil dan besar) entah itu tubuh, badan, kekuasaan atau yang lainnya! Maka yang terjadi adalah praktik arogansi yang sembrono, karena terlalu naif mengukur segala sesuatu hanya berdasarkan wujud fisiknya saja. Faktanya dalam kehidupan nyata ukuran fisik tidak bisa dijadikan satu-satunya parameter untuk membaca fakta dan realitas materi (kekuatan) yang sebenarnya. Masih ingat sejarah Perang Khandaq atau Perang Parit! pasukan Islam yang jumlahnya hanya sepertiga dari pasukan musuh ternyata bisa menjugkirbalikkan perhitungan akal secara umum. Ini fakta! Ada faktor lain dalam kehidupan ini yang tidak terjangkau oleh akal dan pikiran kita yang mempunyai pengaruh aplikatif tidak kalah besar dibanding wujud fisik. Contoh lain yang lebih familiar, tentu anda masih ingat dengan permainan pingsutan atau suit  yaitu permainan tradisonal yang biasa dipakai untuk menentukan urutan dalam permainan!. Dalam permainan yang menggunakan jari-jemari sebagai alat, yaitu jari jempol dinisbatkan sebagai gajah (simbol besar dan kuat), telunjuk  sebagai manusia (simbol sedang) dan kelingking sebagai semut (simbol kecil) ini dalam aturan bakunya menentukan semut mati/kalah oleh manusia, manusia akan mati oleh gajah dan seperti lingkaran setan gajah justru mati dari semut!! Menakjubkan bukan?! Konsep permainan pingsutan diyakini bukan sebuah kebetulan belaka tapi memang ada pesan yang terkandung dibalik permainan ini,  khususnya pada anak-anak yang paling sering memainkannya  (hebatnya lagi, semua pasti pernah mengalami masa ana-anak dan mudah-mudahan lagi pernah bermain pingsutan )?! Pesan yang paling mudah untuk ditangkap adalah pesan moral untuk tidak mudah meremehkan apapun dan siapapun! Dan jangan pula melihat segala sesuatu dari bentuk dan ukuran fisiknya saja!!!
Cicak, kadal, tokek, mungkin bunglon, biawak, komodo dan buaya konon masih berkerabat satu sama lain yang artinya mereka masih sekeluarga dengan clan bernama reptil, atau lebih luas lagi keluarga sesama binatang. Coba, perhatikan secara visual (umum) bentuk badan dan cara mereka berjalan! Semuanya sama! Sama-sama ”merayap” hanya saja karena ukuran tubuh mereka berbeda-beda maka memungkinkan habitat mereka berbeda pula! Ukuran cicak paling besar tidak akan lebih besar dari buaya yang paling kecil atau bahkan buaya yang baru menetas sekalipun. Sungguh, perbandingan yang sangat kontras dan teramat timpang! Atau barangkali memang tidak layak untuk dibandingkan! (seharusnya, buaya malu kalau dibanding-bandingkan ”hanya” dengan cicak, mau ditaruh dimana harga diri ke-buayaannya). Tapi  semua sudah terlanjur, fabel Cicak dan Buaya saat ini sudah menjadi drama yang paling ditunggu sekuel­-nya oleh masyarakat penikmat dan pecinta drama di seluruh pelosok negeri. Cicak sebagi salah satu aktor utama tampil dengan sosok kecil, mungil dan ramping, makanya manuver pergerakan ”cicak” terlihat cerdas, efektif, efisien karena didukung kebiasaan mangkal ditempat yang strategis, diatas atau di samping mangsa bukan dibawah (juga bagian introspeksi dan strategi dalam mengantisipasi ancaman pemangsa). Selain itu ”cicak” bisa menclok alias hinggap disana-sini sekehendaknya, sehingga terkesan lebih cepat, akurat dan memuaskan (mungkin ini yang dinamakan profesional)! Habitat cicak kurang lebih sama dengan manusia, yaitu tempat yang relatif kering. Hanya sesekali dan seperlunya saja berbasah-basah ria. Kondisi ini berbanding terbalik dengan ”Buaya”, sebagai aktor utama berikutnya! dengan ukuran tubuh yang relatif ”jumbo” pergerakannya jelas lebih lamban sehingga kesan efektif dan efisien semakin jauh, kecuali bila berada di habitatnya sendiri yang dikenal ”super basah” seperti di muara laut, rawa dalam dan danau. Disitu ”buaya” memang bisa bergerak efektif dan mungkin efisien. Hanya saja, prasyarat habitat yang harus ”basah” inilah yang bikin repot! Karena tidak semua di wilayah ”Hukum Rimba” negeri ini punya tempat ”basah” yang layak untuk ”menghidupi” Buaya. Akibatnya sudah jelas, Eksklusifitas! keterbatasan itu membuat buaya tidak begitu dikenali oleh lingkungannya sendiri! Jangankan bercengkerama sekedar melihatpun harus dari balik pagar berjeruji besi, itupun kalau ada kesempatan! Karena hanya di tempat dan kalangan tertentu saja yang bisa dan diijinkan untuk ”memelihara” buaya, karena selain masalah habitat yang harus ”basah”, birokrasi legalnya sangat njelimet  dan biaya untuk ”pemeliharaan-nya tergolong sangat tinggi karena konon buaya sekarang  tidak hanya tergolong sebagai Carnivora (pemakan daging) saja tapi sudah banyak yang bermutasi menjadi Omnivora (pemakan segala). Ini jelas beda dengan cicak yang menjalani aktivitas hidupnya dari lahir sampai mati memang sudah berdampingan dengan manusia. Hebatnya lagi, tanpa dipeliharapun cicak akan berkembang biak dengan sendirinya alias mandiri!
Dengan segala kelebihan dan kekurangannya cicak dan buaya telah menjadi fenomena! Fenomena yang fenomenal dengan mengumbar ketidakharmonisan secara vulgar (yang sejujurnya cukup sadis dan sangat abnormal) dan eksplisit kepada seluruh negeri.. Sekarang giliran penonton untuk mengapresiasi pementasan fabel cicak dan buaya ini (untuk proses ini, tidak harus menunggu pementasan berakhir!), sebagai bagian penting dari sebuah komunikasi efektif dalam kerangka ber-demokrasi, kalau perlu kita bantu untuk menemukan ending yang berkualitas dan dapat dipertanggungjawabkan secara hukum, moral, logika bahkan secara budaya sebagai  bangsa timur yang beradap dan bermartabat. Perbedaan adalah berkah, sedangkan persamaan adalah anugerah! Perbedaan dan persamaan adalah wilayah yang dipisahkan oleh olah persepsi naluriah yang sifatnya sangat alamiah. Kepada yang dianggap cicak dan yang merasa buaya, mari kita kembali kepada fitrah kita menjadi manusia lumrah, manusia yang senantiasa memuliakan manusia lainnya sebagai sesama makhluk-Nya. Sungguh, negeri ini sangat membutuhkan kembalinya manusia-manusia berjiwa dan berhati besar, untuk meraih kembali kejayaan sebagai negeri beradab dan  bermartabat di muka bumi ini. 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar