”Bapak atau ibu polantas. Tolong
ditindak anak-anak SMP yang bawa sepeda motor. Jumat, 30 Oktober 2009 sekitar
pukul 11.00, anak-anak berbaju sasirangan biru berboncengan tiga orang tanpa
helm, ngebut. Nabrak pengendara sepeda, lalu lari arah tembus Jalan Sultan
Adam. Mereka pasti tidak ada SIM kan? Kok bisa bebas”. Demikian petikan SMS
dengan judul ”Bisa Bebas” dari pembaca Bpost dalam rubrik Layanan Publik hari
Rabu, 4 Nopember 2009. Sedangkan pada tanggal 5 Nopember 2009 pada rubrik yang
sama dengan judul ”Razia Anak-anak”, isinya kurang lebih sama dengan petikan
pesan pertama diatas, yaitu kekhawatiran masyarakat
sehubungan dengan semakin
banyaknya pengendara kendaraan bermotor
khususnya sepeda motor dibawah umur berkeliaran di jalan raya, khususnya di
Banjarmasin dan sekitarnya.
Membaca pesan terbuka yang
ditujukan kepada jajaran kepolisian khususnya unit lantas diatas, mengingatkan
penulis pada kliping berita BPost
edisi 8 Maret 2008 yang berjudul “Polantas
Diterjang Pengendara Motor” dimana diberitakan seorang petugas kepolisian
yang sedang bertugas di Jl. S.Parman ditabrak dengan sengaja oleh pengendara
sepeda motor sampai kaki kanannya patah, yang mengejutkan ternyata penabrak
polisi ini adalah seorang siswa Sekolah Menengah Pertama atau SMP yang mungkin
sedang panik karena terjebak dalam operasi rutin yang dilakukan oleh pihak
kepolisian. Ini fakta dan benar-benar terjadi! Patut kita pertanyakan
sebenarnya, bagaimana mungkin anak-anak dibawah umur (indikator dari baju
seragam yang dipakai) ini bisa mengendarai sepeda motor dengan bebas di jalan
raya?. Berita terbaru yang sangat menghebohkan, datang
dari Abdul Qadir Jaelani atau Dul anak dari musisi Ahmad Dhani yang mengalami
kecelakaan mobil di Tol Jagorawi tengah malam beberapa hari yang lalu, selain
menewaskan 6 (enam) orang, yang tak kalah mengejutkan adalah usia si Dul yang
baru13 (tiga belas) tahun. Bagaimana bisa, semua ini bisa terjadi? Anak yang
baru berusia 13 tahun, tengah malam bisa berkeliaran dengan mobil di jalan tol
Jagorawi? Di Banjarmasin, Coba
perhatikan waktu pagi (berangkat sekolah), siang/sore (pulang sekolah) atau mungkin
setiap saat, dengan mudah kita akan menemukan pengendara sepeda motor beseragam
sekolah berkeliaran di jalan raya. Kalau berseragam abu-abu putih mungkin kita
sudah biasa! Tapi kalau yang mengendarai sepeda motor itu berseragam biru putih
atau bahkan merah putih itu yang sangat luar biasa.
Memang, memiliki dan mengendarai
sepeda motor adalah hak masing-masing individu, tetapi untuk mengendarai di
jalan raya atau jalanan umum ada aturan hukumnya. Seperti yang kita ketahui dan
pahami selama ini, syarat utama mengendarai sepeda motor di jalanan umum secara hukum jelas, harus memiliki Surat Ijin Mengemudi
(SIM) yang diterbitkan oleh kepolisian, dimana untuk mendapatkannya ada
beberapa syarat dan tahapan proses yang harus dijalani. Syarat yang harus dipenuhi diantaranya adalah
usia, minimal 16 tahun (di UU terbaru direvisi jadi
17 tahun) untuk pemohon SIM C, 17 tahun SIM A dan 20 tahun untuk SIM B1/B2 (PP
No.44/93 Pasal 217 ayat 1). Berbicara usia, coba kita berkalkulasi. Secara umum
usia sekolah anak SD (seragam umum, warna merah putih) adalah 7 – 12 tahun,
artinya untuk mendapatkan SIM jelas belum bisa karena tidak memenuhi syarat.
Sedangkan untuk SMP (seragam umum, warna biru putih) 13 -
15 tahun, untuk SMA (seragam umum, abu-abu putih) 16 – 18 tahun.
Kesimpulannya, jangankan untuk anak SD dan SLTP, untuk anak SLTA yang baru kelas 1 (satu) - pun syarat umur
ini masih belum tentu terpenuhi yang artinya mereka belum berhak mengendarai
sepeda motor dan kendaraan bermotor
lainnya di
jalanan umum. Syarat selanjutnya adalah “tes
tulis” untuk mengetahui wawasan dan pengetahuan tentang ke-lalu lintasan
dan etika berkendaraan di jalan raya, setelah itu diteruskan dengan “tes praktik”, yaitu praktik
mengendarai sepeda motor baik melalui simulasi dalam arena test yang sudah
disediakan oleh pihak kepolisian maupun tes mengendarai di jalan raya yang
sebenarnya, dimana fungsi test ini adalah untuk mengukur sejauh mana kualitas skill,
wawasan, etika dan yang terpenting pemahaman terhadap semua aturan dan
peraturan lalulintas dalam mengendarai kendaraan bermotor, khususnya sepeda motor.
Pertanyaanya sekarang, apakah
pengendara sepeda motor dibawah umur yang sering terlihat
melenggang di jalanan umum di Banjarmasin ini sudah melalui tahapan-tahapan
diatas sebelum mereka memutuskan untuk mengendarai sepeda motornya di jalan
raya? Logikanya pasti tidak!! (Hipotesa ini didukung oleh surat terbuka seorang
ibu kepada kepolisian melalui ”Layanan Publik”-nya BPost Sabtu, 15 Agustus 2009
lalu yang intinya memohon dibuatkan dispensasi pembuatan SIM masal untuk anak
SMA kelas 1 yang masih dibawah 16 tahun dan syukurnya surat itu ditanggapi
dengan cerdas dan tepat oleh pihak kepolisian
beberapa hari kemudian di rubrik dan media yang sama) Karena dari screening administratif
(umur), mereka sudah dipastikan gugur karena belum memenuhi syarat ketentuan
usia 16 tahun ( pengendara seragam biru putih dan merah putih), kecuali ada
manipulasi data oleh pemohon pada saat mengajukan aplikasi permohonan
penerbitan SIM di kepolisian. Kalaupun ada kemungkinan “main mata” dengan oknum
petugas kepolisian dalam menerbitkan SIM, pastinya pihak kepolisian juga tidak
akan ceroboh dengan meloloskan anak SD
atau SLTP untuk mendapatkan SIM. Lantas? Apapun alasannya, tidak ada satupun
pembenaran yang membolehkan anak- anak dibawah umur untuk mengendarai kendaraan bermotor
di jalan raya.
Memang, kalau kita berbicara skill dalam mengendarai sepeda
motor, umur bukanlah satu-satunya
parameter, hal ini bisa kita lihat pada event balapan gokart, roadrace,
grasstrack atau motocross dimana dengan mudah
kita mendapati anak-anak dibawah umur dengan tangkas dan lincahnya
menunggangi mobil atau sepeda motor. Boleh
jadi skill mereka mengendarai mobil atau sepeda motor diatas kemampuan orang dewasa umumnya. Tapi ingat!!! mereka mengendarai
sepeda motor di tempat khusus (baca : sirkuit) bukan di jalanan umum, sehingga memungkinkan untuk tidak bersentuhan dengan hukum. Disamping itu, kesiapan mental
dan psikis
anak-anak ini untuk berinteraksi secara benar di
jalanan raya masih sangat diragukan. Kliping berita BPost edisi 8 Maret 2008
diatas, semakin memperkuat hipotesa bahwa untuk berinteraksi di jalanan
tidak cukup hanya berbekal skill
mengendarai kendaraan bermotor saja! Tapi juga memerlukan kesiapan mental dan
psikis yang memadai. Insiden dalam berita tersebut secara jelas menunjukkan
belum siapnya mental dan psikis si-penabrak untuk berinteraksi lebih jauh di
jalanan, apalagi jika harus berurusan dengan hukum (baca : Kepolisian),
sehingga dalam merespon sesuatu yang dianggap masalah anak-anak cenderung mengedepankan jiwa kanak-kanaknya yang
pragmatis, spontan, insidental dan cenderung emosional tidak berpikir logis dan komprehensif. Situasi ini bila tidak “disentuh” secara benar dan proporsional justeru akan membahayakan mereka dan semua individu yang
ada dalam lingkaran interaksi yang si anak, tentunya ini akan merugikan
banyak fihak.
Banyaknya pengendara kendaraan bermotor di jalan raya
yang terindikasi dibawah umur, adalah indikasi sebuah
penyimpangan, keteledoran dan kelalaian yang harus
segera disikapi dengan benar oleh semua pihak yang berwenang dan berkepentingan,
selain jelas melanggar hukum juga sangat
beresiko besar karena membahayakan diri sendiri
dan pengguna jalan raya lainnya. Disini diperlukan kontrol dan ketegasan ekstra
dari orang tua di rumah, lingkungan sosial dan tentunya pihak berwajib (kepolisian) dilapangan,
karena keberadaan regulasi (Undang-undang lalu lintas, Peraturan pemerintah,
dll) yang sudah ada masih belum mampu menjadi “alat” yang ampuh untuk
pencegahan preventif kepentingan dimaksud. Untuk para orang
tua, disadari atau tidak dengan memberikan ijin
putra-putrinya mengendarai sepeda motor apalagi dijalan raya jelas telah menjerumuskan putra-putrinya dalam bahaya
fragmentasi jalanan yang semestinya belum saatnya mereka hadapi.
Untuk kontrol masyarakat, memang harus diakui, kecenderungan individualistis
yang semakin menjadi-jadi dalam masyarakat urban sekarang ini, menyebabkan
minimnya interaksi sosial dalam lingkungan masing-masing sehingga mengakibatkan
terjadinya proses pembiaran terhadap berbagai penyimpangan nilai dan perilaku
sosial yang terjadi dan ujung-ujungnya, kontrol sosial jadi lemah bahkan bisa
jadi tidak ada sama sekali. Sementara itu, untuk pihak berwajib selaku pemegang
otoritas dalam pengaturan lalulintas jalan
raya harus tegas, cermat, cepat tanggap dan terus membangun kreatifitas guna menciptakan terobosan-terobosan inovatif yang
efektif dan efisien untuk memberikan edukasi
ke-lalulintasan secara
tepatguna kepada seluruh lapisan masyarakat demi terciptanya
interaksi berlalulintas yang aman, nyaman, tertib dan teratur. Jangan sampai
ada lagi korban berjatuhan di jalan raya hanya
karena semakin “mengecilnya pengendara kendaraan bermotor di jalan raya”!!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar