Jalan setapak datar pegunungan meratus (Foto : Daftar Pustaka)
Kabar dari Kalimantan Selatan
Kalimantan Selatan merupakan salah satu dari Propinsi di Indonesia yang mempunyai daerah tertinggal karena lokasi yang terpencil dan belum mendapatkan akses transportasi memadai, sehingga menghambat distribusi pemerataan ekonomi, pendidikan dan pelayanan kesehatan yang layak Daerah-daerah terpencil tersebut tersebar hampir di semua kabupaten di Kalimantan Selatan dan totalnya mencapai 40% dari 1.858 desa yang ada.
Kampung Dayak Loksado (Foto : Daftar Pustaka)
Kesulitan akses transportasi di Kalimantan Selatan sebagian besar didominasi oleh belum adanya akses infrastruktur penghubung karena kondisi geografis yang memang tidak mendukung. Sebagian besar wilayah daratan Kalimantan Selatan mempunyai dua kontur geografis yang sama-sama menjadi hambatan serius dalam upaya pemerataan pembangunan, yaitu dominasi lahan basah dataran rendah berupa rawa-rawa lebak dengan intensitas kedalaman bervariasi yang mendominasi dengan luas penampang mencapai ribuan hektar (Hulu Sungai Utara dan sebagian Rantau) dan kontur alam pegunungan yang liar dengan hutan perawan plus medan ekstrem Pegunungan Meratus (Balangan, Hulu Sungai Tengah, Hulu Sungai Selatan, Banjar, Tanah Laut, Tanah Bumbu dan Kotabaru). Selain itu Kalimantan Selatan juga mempunyai banyak pulau kecil terpencil yang berpenghuni di wilayah laut Kotabaru dan Tanah Laut di perairan lepas pantai laut Jawa dan Selat Sulawesi yang sampai sekarang belum mempunyai akses penghubung regular dengan daerah induknya.
Kampung adat Dayak Meratus (Foto : Daftar Pustaka)
Momen yang masih hangat seperti yang dilangsir oleh berbagai media adalah upaya tim medis Kabupaten Hulu Sungai Tengah, dalam upayanya menyukseskan Pekan Imunisasi (PIN) Polio 2016. Tim medis yang terdiri dari enam orang perawat dan dua bidan desa yang tergabung dalam tim Daerah Terpencil (Dacil) dari Puskemsmas Hantakan harus menembus rimba belantara selama berhari-hari untuk memberikan imunisasi kepada masyarakat di pedalaman Pegunungan Meratus yang meliputi beberapa desa seperti Mancatur, Tamburasak, Aruhuyan, Bindang, Kaba, dan Desa Ambih.
Menjelajah pegunungan Meratus (Foto : Daftar Pustaka)
Untuk menembus medan yang sangat berat dan ekstrim di dalam rimba liar berupa tanjakan tebing yang curam, turunan yang licin dan terjal, sungai berarus kuat, jalan setapak berlumpur, titian jembatan yang dibangun hanya dengan sepotong papan plus basah karena guyuran hujan, tim DACIL tidak bisa menggunakan jenis alat transportasi apapun. Sepeda motor trail yang dibawa juga tidak bisa sepenuhnya membantu karena kombinasi ekstremnya alam pegunungan Meratus.
Hutan Pegunungan Meratus (Foto : Komeng)
Inilah Kalimantan! Surga yang setiap saat bisa menjadi
neraka bagi siapapun yang tidak siap berjibaku didalamnya! Memang, alam tidak
bisa dilawan, harus disikapi dengan cerdas dan yang paling relistis adalah
menunggu keseriusan pemerintah untuk membangun sarana dan prasarana
infrastruktur di daerah pedalaman
sesegera mungkin sesuai skala prioritasnya.
(Gambar : kemkes.go.id)
Program Nusantara Sehat
Berkaitan dengan Program Nusantara Sehat [mengadopsi sistem Pencerah Nusantara, inisiatif lintas sektoral yang di prakarsai Kantor Urusan Khusus Presiden untuk Millennium Development Goal (KUKP-RI MDGs)] yang di luncurkan oleh Kementerian Kesehatan untuk memperkuat pelayanan kesehatan primer (Fisik/infrastruktur, sarana/fasilitas dan SDM) terutama di daerah tertinggal, perbatasan serta kepulauan terpencil dengan meningkatkan jumlah, area sebaran, komposisi dan mutu tenaga medis dengan cara membentuk tim kerja yang melibatkan fungsi semua tenaga medis (dokter, bidan, perawat dan tenaga kesehatan lainnya), masyarakat, sukarelawan, pemerintah, swasta, lembaga swadaya masyarakat dan pemuda dengan prioritas kerja pada masalah kesehatan riil dalam masyarakat yang sangat mendesak seperti, kematian ibu dan anak, gizi buruk dan angka harapan hidup.
Pulau Kalimantan khususnya Kalimantan Selatan merupakan salah satu
target sasaran yang tepat untuk program tersebut. Harapannya, mekanisme program
ini kedepannya bisa menjadi katalisator yang efektif dan efisien untuk proses
penguatan pelayanan kesehatan primer, pemerataan ekonomi dan akses pendidikan
yang layak di Kalimantan Selatan, menuju visi butir-butir Pancasila sila ke-2, Kemanusiaan
yang adil dan beradab dan ke-5
Pancasila, Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Jika Aku Bagian Tim NUSANTARA SEHAT
Sejak kecil saya mempunyai cita-cita untuk keliling Indonesia! Ada dua hal yang melatarbelakangi cita-cita besar saya ini
(saya anggap besar karena ternyata masih sedikit lho orang yang benar-benar
punya cita-cita keliling Indonesia dan berhasil mewujudkannya!), yaitu
1. Darah yang mengalir di dalam tubuh saya.
Darah yang mengalir di dalam tubuh saya adalah miniatur dari Bhinneka Tunggal Ika karena terbentuk dari
beberapa sumber yang berbeda. Tidak hanya dua tapi lima sumber berbeda ada
Jawa, Tionghoa, Banjar, Palembang dan Manado. Nah lho….! Jangan berpikiran aneh-aneh ya….! Karena komposisi ini
terbentuk jika dirunut dari kakek buyut kedua orangtua saya. Sadar dengan
komposisi darah saya yang langka, membuat rasa penasaran terhadap ke-bhinneka-an
Indonesia semakin jadi dari hari ke-hari.
2. Saya Buta Warna
Kenyataan pahit dan menyakitkan, gagal melanjutkan pendidikan di Fakultas Kedokteran
(disaat satu kaki saya sudah menginjaknya), merupakan awal dari pemicu kedua
niat saya untuk keliling Indonesia.
Kegagalan saya masuk program pendidikan kedokteran, karena saya
mempunyai kelainan “buta warna”, yaitu kelainan pada mata dalam merespon warna
yang merupakan bawaan (terpaut sex) dari jalur ibu saya (carrier), tapi
ibu saya sendiri tidak buta warna.
Lantas apa hubungan buta warna dengan
keliling Indonesia?
Begini ceritanya!… Moment pahit ini sempat
memporak porandakan kehidupan saya selepas lulus SMA. Bagaimana tidak? Cita-cita yang sudah kubangun dan kuperjuangkan
sejak kecil, mimpi indah yang selalu kujaga sepanjang waktuku kini harus ku
akhiri justru ketika sebelah kakiku sudah menapaknya. Terlebih lagi, semua
berakhir oleh sebab yang sama sekali aku tidak tahu hal ihwal-nya….buta warna!
Sebagai manusia biasa, aku sangat terpukul dengan kenyataan ini. Jiwaku
merasakan goncangan yang begitu dahsyat, duniaku serasa telah berakhir (*).
Saya yakin, semua bisa membayangkan apa yang saat itu
saya rasakan!? Begitu juga dengan keluarga besar saya. Bukan hanya perasaan dan
uang yang telah kami korbankan, tapi ada satu lagi yang tidak kalah pentingnya yaitu “waktu”. Terlalu mahal biayanya untuk kembali memutar waktu untuk merevisi “cita-cita” baru! Sementara
untuk berpindah haluan kepada cita-cita yang lain, tentu juga bukan tidak
beresiko dan pasti bukan perkara yang mudah!
Saya telah “salah” memilih cita-cita! Karena takdir
sebagai penyandang kelainan buta warna plus (menurut saya) kelalaian
pemerintah dalam menjamin hak-hak warga negara yang menyandang buta warna,
karena ketiadaan akses informasi, perencanaan dan pemetaan potensi untuk
pendidikan anak-anak Indonesia sejak dini, khususnya tes buta warna!
Kalau boleh
berandai-andai, seandainya sistem pendidikan di Indonesia memberlakukan test buta warna sejak dini, tentu pengalaman
pahit yang saya alami dan saya yakin banyak yang lainnya akan berbeda akhir
ceritanya! Saya pasti sadar diri dan tidak akan memaksakan diri untuk membangun
cita-cita menjadi dokter, bila sejak dini saya mengetahui menyandang buta warna.
Sehingga energi yang ada bisa disalurkan lebih efektif untuk membangun harapan
dan cita-cita dibidang lain yang sesuai dengan statusnya sebagai penyandang buta
warna, dengan begitu kerugian material maupun nonmaterial bisa dihindari sejak
dini pula. Bagaimana pemerintah?
Test buta warna sejak dini untuk anak-anak Indonesia tidak hanya diperlukan oleh para orangtua sebagai
dasar untuk membantu merencanakan dan menentukan arah jalur pendidikan dan masa
depan yang sesuai dengan kondisi dan potensi yang dimilki oleh si anak, tapi sebenarnya
juga penting untuk pemerintah. sebagai dasar pemetaan potensi anak-anak Indonesia, generasi penerus yang kelak pasti akan menerima
estafet kelangsungan kehidupan bangsa dan Negara di masa mendatang dengan cara
yang lebih efektif dan efisien, sekaligus untuk menyusun blueprint jangka
panjang manajemen sumber daya manusia Indonesia.
Coba bayangkan!
Seandainya tiap tahun di Indonesia ada 1.000 saja generasi emas bangsa ini yang bernasib
sama saya, salah memilih cita-cita karena buta warna, tentu bangsa Indonesia rugi besar! kehilangan banyak generasi emas, generasi
potensial yang seharusnya kelak bisa diberdayakan dengan benar.
Berangkat dari sinilah! Muncul niatan saya untuk
keliling Indonesia mengkampanyekan pentingnya test buta warna sejak dini
kepada seluruh lapisan masyarakat, setelah berbagai upaya saya menulis berbagai
artikel tentang masalah ini di berbagai media belum mendapatkan respon positif
dari pihak-pihak terkait.
Harapan saya, mudah-mudahan melalui program NUSANTARA
SEHAT yang digagas oleh kementerian kesehatan ini, saya dan gagasan saya untuk mengkampanyekan
test buta warna sejak dini bisa menjadi bagian dari program ini.Insha Allah...Amin!
(*) petikan dari cerpen "Ternyata Cinta Tidak Buta (Warna)" karya kaekaha, sinopsis dari novel dengan tema sama
Artikel terkait :
3. Cerpen Ternyata Cinta Tidak Buta (Warna)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar