Sejak Kesultanan Banjar berdiri di abad XVI yang
ditandai dengan masuk Islamnya Pangeran Samudra yang akhirnya mengakui dan
menetapkan Islam sebagai agama resmi kerajaan, pengaruh Islam terhadap
kehidupan sosial dan budaya masyarakat Banjar semakin kuat tanpa harus
berbenturan dengan tradisi dan budaya asal masyarakat yang banyak dipengaruhi
oleh budaya Hindu dan Buddha. Bahkan dalam perjalanannya, Islam telah menjadi
simbol dan identitas masyarakat Banjar sampai saat ini.
Tampak samping Masjid Jami Sungai Jingah
Salah satu bukti kuatnya implementasi ajaran Agama
Islam, sekaligus toleransi yang berujung pada munculnya akulturasi pada ruang
sosial budaya masyarakat Banjar adalah masih lestarinya keberadaan sekaligus
fungsi masjid-masjid tua di Banjarmasin dan daerah-daerah lain di Kalimantan
Selatan yang tetap mempertahankan desain arsitektur campuran/akulturasi, salah
satu di antaranya adalah Masjid Jami Banjarmasin yang dikenal dengan Masjid
Jami Sungai Jingah yang terletak di Jl. Mesjid Jami, Surgi Mufti, Banjarmasin
Utara, Kota Banjarmasin, Kalimantan Selatan.
Tarikh tahun pendirian Masjid di Kayu Penyangga Bedug
(Foto : Koleksi Pribadi)
Berbeda dengan masjid-masjid atau tempat ibadah Islam
di Indonesia secara umum yang biasanya mempunyai nama definitif dengan
mengadopsi dari kosakata bahasa arab, seperti Al Hidayah, Al AKbar, Al Mabrur
dll., sampai sekarang Masjid Jami Sungai Jingah tidak mempunyai catatan tentang
penamaan ini. Masyarakat Kota Banjarmasin dan catatan resmi pemerintah daerah
tetap mencatat nama masjid tua yang dibangun secara gotong-royong oleh
masyarakat ini dengan nama Masjid Jami Banjarmasin, tapi karena terletak di
daerah Sungai Jingah, masyarakat lebih mengenali dengan sebutan Masjid Jami
Sungai Jingah.
Kotak infaq kuno berbahan besi cor yang tertanam di
lantai pendopo pintu utama
(Foto : Koleksi Pribadi)
Berdasarkan catatan sejarah yang ada, salah satunya
tertulis dalam sebuah prasasti berbentuk plakat kuningan yang terletak di
samping mimbar “Tarikh didirikan Masjid asal adalah hari Sabtu, 17 Syawal tahun
1195 (tarikh tahun juga terdapat pada kayu penyangga bedug di pendopo pintu
masuk depan utama) H Sultan Tamdjidillah dan dicabut 11 Rajab tahun 1353
umurnya 157 Tahun 8 bulan 245 hari. Tarikh didirikan masjid baru hari Ahad 16
Zulhijjah 1352. Mufti H. Ahmad Kusasi”, diperkirakan Masjid Jami yang lama
didirikan pada tahun 1195 H (1777 M). Lokasi awal masjid ini adalah tepi Sungai
Martapura, namun pada tahun 1352 H (1934 M) masjid dipindahkan secara
gotong-royong ke lokasi yang sekarang di daerah surgi mufti.
Soko guru Masjid yang berusia ratusan tahun
(Foto :
Koleksi Pribadi)
Meskipun telah berusia ratusan tahun, secara fisik
masjid yang mempunyai desain arsitektur perpaduan/akulturasi beberapa budaya
antara lain Banjar, Jawa, dan beberapa sentuhan kolonial ini, sampai saat ini
tetap kokoh berdiri dengan ornamen-ornamen ukiran kuno khas Kesultanan Banjar
dan beberapa tambahan hiasan ornamen akulturasi beberapa budaya yang masuk
dalam skema budaya Banjar secara natural saat dilakukan pemugaran.
Kaki tiang soko guru utama yang penuh dengan ukiran
indah
(Foto : Koleksi Pribadi)
Sebagian besar bahan material kayu masjid ini adalah
terbuat dari batang kayu ulin atau kayu besi (Eusideroxylon zwageri),
kayu khas hutan Kalimantan yang terkenal sangat kuat. Di antaranya adalah semua
kerangka bangunan, tiang besar penyangga utama (tiang soko guru) yang berjumlah
17 buah, kusen semua pintu, gebyog utama atau rangkaian dinding dari kayu pada
samping kiri dan kanan mihrab, pendopo dan atap sirap. Khusus untuk tiang soko
guru, dari total 17 buah tiang yang melambangkan rakaat dalam sholat ini ada 1
tiang yang paling unik, tingginya mencapai 35 meter utuh tanpa sambungan, jika
dihitung dari pangkal tiang di atas permukaan lantai sampai ujung tiang yang
menempel pada bagian dalam kubah masjid. Posisi tiang yang juga terbuat dari
kayu ulin utuh ini menancap tepat di tengah-tengah ruangan masjid dari lantai
sampai atas.
Atap sirap Masjid Jami Sungai Jingah (Foto ; Koleksi
Pribadi)
Khusus untuk desain konstruksi atap yang tutupannya
terbuat dari material sirap (atap dari kayu ulin), masjid yang mampu menampung
hingga 5.000 jamaah ini mempunyai keunikan tersendiri, yaitu konstruksi atap
berundak dengan total 4 (empat) undakan seperti layaknya atap masjid-masjid tua
di Pulau Jawa tempo dulu.
Teras pendopo depan dengan pintu-pintu berdaun besar
berukir indah
(Foto : Koleksi Pribadi)
Keunikan lainnya, masjid ini juga mempunyai pendopo,
layaknya rumah-rumah priyayi atau bangsawan Jawa yang tersebar di 3 (tiga)
jalur pintu masuk utama yang bisa mengakses 38 pintu masuk masjid dari sebelah
kiri, kanan, dan depan masjid. Luas masjid bagian dalam adalah 40 x 40 m atau
1600 m2, sedangkan total luas area masjid jika dihitung dengan mihrab dan plaza
atau halaman di seputar masjid totalnya mencapai ± 2 Hektar.
Tampak pendopo pintu depan utama yang berangka tahun
1352 H
(Foto : Koleksi Pribadi)
Menurut KH. Husin Naparin, selaku ketua pengelola
Masjid Jami Sungai Jingah, sebagai salah satu masjid tertua di Banjarmasin
bahkan Kalimantan Selatan, Masjid Jami Sungai Jingah merupakan salah satu
landmark kebanggaan masyarakat Kota Banjarmasin dan Kalimantan Selatan. Sebagai
salah satu penanda peradaban Islam di Banjarmasin, Masjid Jami Sungai Jingah
tidak hanya berfungsi sebagai tempat ibadah semata, tapi telah menjadi pusat
sekaligus sumber inspirasi ghirah keislaman masyarakat Kota Banjarmasin dan
Kalimantan Selatan.
Bersama-sama dengan Masjid Sabilal Muhtadin dan
beberapa masjid besar lain di Kota Banjarmasin, Masjid Jami Sungai Jingah
merupakan pusat dakwah Islam yang punya peran besar dalam memperkuat ukhuwah
Islamiyah di antara umat Islam, tidak hanya di Kota Banjarmasin, tapi juga
seluruh Pulau Kalimantan.
Artikel ini menjadi headline Kompasiana pada tanggal 17 Maret 2016. Untuk membaca dan menjelajahi artikel lainnya, silahkan klik disini
Artikel terkait :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar